Tidak ingin mempermalukan istrinya dengan mendatangi, Adnan memilih untuk pulang. Rasa lelahnya semakin terasa karena melihat istrinya bersama laki-laki lain. Ia memang percaya pada Lea tapi tetap saja cemburu saat wanitanya dirangkul lelaki lain.Sampai di apartemen, Adnan menghempaskan tubuhnya di sofa.“Ayah sudah pulang.” Jelita keluar dari dapur membawa air es, ia merasa sering haus dan ingin yang segar.Melihat sang ayah tampak kelelahan, ia menyerahkan gelas yang terisi penuh pada ayahnya.“Minum, Yah.”“Terima kasih.” Tenggorokan Adnan yang terasa kering sekarang lebih baik setelah dialiri air es.“Kamu sendirian? Bik Marni mana?”“Tadi aku minta buat pulang karena ibu juga lagi di jalan pulang.”Adnan mengangguk lalu menghabiskan setengah air sisanya.“Ayah cari kerja dimana? Kenapa sampai keringetan begini, bajunya juga kotor.” Jelita memperhatikan kondisi sang ayah sangat berbeda dari saat tadi berangkat mencari pekerjaan.“Cari kerja sekitaran sini saja kok. Ya sudah, ayah
“Selamat ya, Mas. Akhirnya kamu mendapatkan pendamping baru. Kamu sudah bebas sekarang, tidak perlu lagi mengurus aku yang berpenyakitan.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar suara Nilam. Darimana dia tahu kalau aku sudah menikah lagi?“Sa-sayang. Apa maksudmu? Mas tidak mengerti.” Aku langsung menutup pintu kamar pengantin dan mengunci dari dalam, jangan sampai ada yang tiba-tiba masuk.“Jangan lupa ambil barang-barangmu di rumah. Aku tidak mau ada satupun barangmu yang tertinggal.”“Nil-”Tut ....Sambungan telepon langsung terputus sebelum aku selesai bicara.“Argh!”Kenapa Nilam bisa tahu soal pernikahan ini? Orang tuaku saja tidak tahu.Dia pasti akan menerima setelah kujelaskan. Aku tidak ingin kehilangannya, aku sangat mencintai Nilam.Kusambar kunci mobil tanpa memperdulikan mereka yang meneriaki ku. Saat ini aku hanya ingin mendatangi Nilam, takut jika dia berbuat hal konyol.Mobil milik Nilam masih terparkir di pekarangan rumah. Aku langsung turun, berlari men
Dengan perasaan tidak karuan, aku membelah jalan kota menuju rumah sakit. Aku takut sekali Nilam kembali drop.Kini aku sudah berdiri di depan ruangan yang disebutkan oleh Mbak Dilla, dengan cepat menerobos masuk. Keningku berkerut karena bukan Nilam yang kulihat melainkan ibu yang terbaring lemah di ranjang dengan mata tertutup rapat.“Ibu ….”“Ini ulahmu, Bagas!” ujar Mbak Dilla dengan tatapan tajam.“Kenapa aku, Mbak? Ini Ibu kenapa bisa di rumah sakit begini?”Ibu jarang sekali sakit, kalau pun sakit tidak pernah sampai dilarikan ke rumah sakit seperti ini.Mbak Dilla mencebik, “Masih tidak sadar?” Dia mengambil amplop dan melemparkannya padaku, “kau itu laki-laki macam apa hah? Istri sakit malah menikah lagi?” bentaknya.“Nilam-”“Bukan Nilam yang mengatakannya tapi ada yang mengirimkan foto-foto itu ke rumah,” potong Mbak Dilla, “aku tidak bisa menjadi tameng saat Ibu marah padamu nanti, karena kau pantas untuk itu!”Mataku terbelalak melihat foto-foto pernikahanku dan Laras yan
Sampai di gudang, api memang sudah bisa dipadamkan namun bangunan itu sudah hangus. Tidak ada satupun barang yang bisa diselamatkan.“Pihak kepolisan akan memeriksa lebih lanjut penyebab kebakaran, Pak,” ujar Heru.Kuhela napas panjang, “Urus semuanya. Kalau memang ada unsur kesengajaan dari orang, pastikan orang itu mendapatkan hukuman yang berat.”“Baik, Pak.”Aku melangkah meninggalkan tempat itu, berlama-lama di sini malah membuatku semakin merana. Meratapi nasib gedung dan isinya yang hangus dilalap si jago merah.Sampai di rumah entah pukul berapa karena ponselku mati total. Bahkan di sekitaran perumahan saja sudah sepi.“Sayang, buka pagarnya,” ucapku sambil menekan bell.Dari dalam Nilam pasti mendengar suaraku.Apa mungkin dia sudah tidur, apalagi kondisi kesehatannya kurang bagus. Apa dia tidak mendengar bell bunyi? Tanganku sampai gatal karena digigit nyamuk.Kembali kutekan bel berharap Nilam segera keluar.Aku bisa bernapas lega mendengar pintu terbuka, namun senyumku hil
Kuhempaskan tubuh di ranjang, memandang nyalang pada langit-langit kamar.Aku masih di hotel hanya saja memesan kamar lain. Untuk malam ini ingin sendiri dan tidak mau diganggu oleh siapapun apalagi Laras.Dia bukannya simpati padaku malah sibuk memikirkan dirinya sendiri.Aku jadi merindukan Nilam, menginginkan dia ada di sampingku saat situasi seperti ini. Karena dia yang paling mengerti, tidak pernah merecoki saat aku ada masalah. Selalu setia mendengar keluhan yang aku ceritakan.Tidak pernah sekalipun Nilam protes dengan nafkah yang aku berikan saat dulu kami susah, berapapun itu dia terima dengan penuh senyuman. Bahkan selama menjadi istriku, tidak pernah kudengar sekalipun dia mengeluh dengan kondisi kami yang saat itu terpuruk.Sengaja aku memberikan nafkah hanya tiga puluh juta pada Laras, aku tidak bodoh. Aku tidak mau dia menghamburkan uang yang susah payah kukumpulkan. Berbeda saat dengan Nilam, aku menyerahkan semua kartu debit dan kartu kredit padanya. Aku percaya karena
“Dokter, sudah masuk jam praktek ‘kan?”Mbak Dilla tiba-tiba datang.“Iya. Mari, Bu Nilam.” Dokter itu tersenyum puas sambil menatapku.“Awas!” Mbak Dilla menarik tanganku agar tidak menghalangi jalan Nilam.Tanpa peduli padaku Nilam berjalan mengikuti dokter itu.“Mbak, kenapa membiarkan Nilam berduaan dengan dokter itu?” tanyaku kesal.“Apa urusanmu? Nilam itu mengobrol dengan dokternya, memang apa salahnya?” balas Mbak Dilla sengit.“Dia itu hanya mau mendekati Nilam, Mbak. Aku akan carikan dokter lain yang tidak genit.”“Apa pedulimu? Tidak usah ikut campur urusan Nilam. Kamu itu sudah bukan suaminya, jadi tidak perlu repot mengurus dia. Sampai kamu ikuti Nilam, awas saja!” Mbak Dilla mengaucngkan jari telunjuknya padaku sebelum beranjak pergi.“Aish! Kenapa malah keluargaku sendiri menyudutkan begini,” geramku.Niat hati ingin bertemu dan mengetahui kondisi Nilam, malah berujung seperti ini.Keluargaku sangat menyayangi Nilam. Apalagi Nilam hanya sebatangkara setelah neneknya men
“Kamu jangan menjanjikan apapun ke orang apalagi pakai nama aku!”“Ya maaf, Mas. Memang kamu tidak mau membuat ibu dan bapak senang? Hanya mobil loh, Mas. Uang kamu itu pasti banyak.”Aku menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Sepertinya aku harus pastikan jika Laras bukan wanita yang matre, belum satu bulan menikah malah minta dibelikan mobil untuk orang tuanya. Nanti apa lagi?Banyak uang bukan berarti aku suka menghamburkannya. Nilam bahkan menyarankan aku untuk berinvestasi daripada harus membeli sesuatu yang tidak penting. Laras malah sebaliknya, dia merongrong.“Lebih baik sekarang cari tempat tinggal dulu saja. Memang kamu mau tetap di sini?” Langsung kualihkan pembicaraan.“Tapi aku yang pilih ya, Mas.” Senyumnya kembali merekah.“Iya. Aku ada rekomendasi tempat tinggal dari temanku.”Jangan harap aku akan membawamu tinggal di apartemen mewah seperti yang ad adalam benakmu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menerima jika tinggal di tempat sederhana atau tidak.Tidak
POV Nilam[Nilam. Maaf, tapi kamu harus tahu ini.]Tanganku gemetar, mata sudah memanas membuat buliran air mata tak bisa lagi kutahan. Pulang dari rumah sakit malah aku mendapatkan kejutan tak terduga.Foto pernikahan Mas Bagas dan selingkuhannya sudah sangat menegaskan. Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan.Memaksanya untuk bertahan hanya akan menyiksaku. Apapun alasan dia selingkuh tetap tidak bisa dibenarkan. Aku lebih baik mundur dan mempertahankan kewarasan daripada bertahan dengan menahan luka yang dalam. Aku tidak akan sanggup.Sekarang aku tahu, alasan dia menjatuhkan talak. Aku kira karena memang dia sedang dalam masalah makanya emosinya tidak mampu dikontrol namun ternyata ada wanita lain yang kini membuat kesetiaannya luntur.Tidak ada yang kumiliki lagi sekarang.Aku beranjak meraih fotoku bersama nenek yang berada di nakas. Kusentuh bingkai foto itu dengan lembut, “Dulu Nilam ditinggalkan ibu dan ayah lalu nenek juga ikut meninggalkan Nilam. Sekarang ... Mas Bagas jug