Share

Kesialan Berlanjut

Sampai di gudang, api memang sudah bisa dipadamkan namun bangunan itu sudah hangus. Tidak ada satupun barang yang bisa diselamatkan.

“Pihak kepolisan akan memeriksa lebih lanjut penyebab kebakaran, Pak,” ujar Heru.

Kuhela napas panjang, “Urus semuanya. Kalau memang ada unsur kesengajaan dari orang, pastikan orang itu mendapatkan hukuman yang berat.”

“Baik, Pak.”

Aku melangkah meninggalkan tempat itu, berlama-lama di sini malah membuatku semakin merana. Meratapi nasib gedung dan isinya yang hangus dilalap si jago merah.

Sampai di rumah entah pukul berapa karena ponselku mati total. Bahkan di sekitaran perumahan saja sudah sepi.

“Sayang, buka pagarnya,” ucapku sambil menekan bell.

Dari dalam Nilam pasti mendengar suaraku.

Apa mungkin dia sudah tidur, apalagi kondisi kesehatannya kurang bagus. Apa dia tidak mendengar bell bunyi? Tanganku sampai gatal karena digigit nyamuk.

Kembali kutekan bel berharap Nilam segera keluar.

Aku bisa bernapas lega mendengar pintu terbuka, namun senyumku hilang saat Mbak Dilla yang keluar dan berjalan menghampiri.

“Mau apa kamu di depan rumah orang malam-malam begini? Mengganggu saja,” ujar Mbak Dilla dengan ketus.

“Mbak, tidak usah bercanda. Buka pagarnya, aku sudah lelah dan ingin istirahat.”

Mbak Dilla mencebik, “Istirahat sana di rumah istri barumu. Jangan pernah datang ke sini lagi apalagi mengusik Nilam.”

Aku terdiam sejenak sebelum ingatan sola apa yang terjadi kini memenuhi benak. Aku sampai lupa jika tadi pagi aku menikahi Laras.

Bahkan soal Nilam yang mengusirku dari rumah kembali membayang di pelupuk mata. Aku ingin sekali mengetahui kondisi Nilam namun sayang dia sama sekali tidak mengangkat panggilan bahkan pesanku saja tidak dibalas.

“Sudah ingat sekarang? Jadi pergilah! Jangan ganggu orang yang sedang istirahat,” usir Mbak Dilla.

Dengan kasar aku mengusap wajah, “Mbak, aku benar-benar lelah. Izinkan aku di sini sampai besok, aku baru saja mendapatkan kabar buruk soal gedungku yang terbakar,” ungkapku berharap Mbak Dilla iba.

“Itu bukan urusanku. Pergi sana atau aku panggil satpam komplek untuk mengusirmu. Nanti kau yang akan malu sendiri.”

Aku memang tidak pernah bisa menang melawan Mbak Dilla. Tidak ada cara lain, jadi harus mengalah.

Meski sangat lelah, aku kembali ke hotel. Jarak dari sini lumayan jauh. Belum lagi perjalanan pulang pergi ke gedung yang jaraknya dua jam lebih.

Aku tidak memiliki rumah lain selain rumah yang kini ditempati Nilam, itu pun sertifikat atas nama Nilam karena aku yang memberikan untuknya. Jadi aku sendiri belum memiliki rumah. Dan berpikir ulang untuk membeli rumah karena kerugian yang sepertinya bisa jadi lebih besar dari perkiraan. Lebih baik berhemat saja untuk beberapa waktu ke depan.

***

“Mas kamu dari mana saja sih? Aku khawatir tahu. Jangan-jangan kamu malah berencana menginap di rumah Mbak Nilam ya?”

Baru saja membukakan pintu, Laras terus mengoceh.

“Bisa diam tidak? Kepalaku rasanya mau pecah mendengarmu terus mengoceh begini.”

Laras mendelik, “Kamu itu kenapa sih, Mas? Kenapa marah padaku. Harusnya aku yang marah karena dibiarkan menunggu sangat lama di hotel dan parahnya kamu menurunkan aku di jalan. Suami macam apa kamu itu.”

“Diam atau aku pergi!” ancamku.

Laras mengatupkan bibirnya, “Pergi mandi, Mas. Kamu sangat berkeringat.” Suaranya mulai lembut.

Tanpa membalas perkataannya aku melangkah masuk ke kamar mandi, hanya membasuh muka dan kembali ke kamar.

Laras sudah menunggu, dia memakai pakaian dinas yang tempo hari dibelinya. Tapi untuk sekarang sama sekali tidak ada hasrat untuk menyentuhnya.

Hanya ada masalah yang memenuhi benakku.

“Mas, kenapa tidak mandi?” Dengan manja Laras merengek, bergelayut di lenganku.

“Aku capek, Ras. Mau tidur!” Kuhempaskan tangannya.

Lelah hati, fisik dan pikiran. Aku ingin sekali tidur hanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.

“Mas, ini malam pertama kita loh. Kamu mau langsung tidur?” Laras kembali merengek sambil memasang wajah cemberut.

“Kamu mengerti tidak hah? Aku bilang aku capek. Kamu jangan membuatku semakin pusing dengan bertingkah kekanakan begini,” bentakku.

Mungkin biasanya aku senang melihat Laras bersikap manja tapi kali ini aku malah muak melihatnya.

“Mas, kenapa kamu bentak aku?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

“Dengar ya, Laras. Aku baru saja mengalami musibah, gudang milikku kebakaran. Jangan membuatku tambah pusing.”

Laras terbelalak, “A-apa? Kebakaran? Kenapa bisa, Mas. Lalu bagaimana nanti, kamu dapat penghasilan dari mana? Kamu janji ‘kan akan memberikan uang bulanan tiga puluh juta. Terus nasib bulan madu kita?”

Aku melongo, “Dalam keadaan aku mendapatkan musibah kau hanya mengingat uang dan bulan madu? Aku tidak habis pikir dengan isi otakmu. Nilam tidak pernah-”

“Tidak usah bawa-bawa namanya saat bersamaku, Mas!” potongnya.

“Kenapa? Kau harus mencontoh Nilam. Tidak pernah sekalipun dia mementingkan soal apa yang kau ributkan itu. Saat aku dalam masalah Nilam pasti menguatkan aku, di-”

“Ya sudah. Kembali sana padanya! Tidak usah membanding-bandingkan segala.”

“Oh begitu ya. Kau ingin aku kembali pada Nilam? Aku juga memang merasa lebih baik jika bersama Nilam, dia tidak pernah membuatku pusing karena ulahnya, tidak sepertimu yang banyak mau!”

Aku turun dari ranjang dan menyambar kunci mobil dan ponsel di atas nakas.

Perdebatan tidak bisa dihindarkan.

Laras tampak kaget melihat aku beranjak, “Mas ... kamu mau kemana? Jangan tinggalkan aku, aku ... tadi ... hanya terbawa emosi.” Dia menahan tanganku.

“Jangan ganggu aku!” Kuhempaskan tangannya dan keluar dari kamar itu.

Istirahat satu kamar dengannya yang ada bukan tenang malah rusuh.

Ini namanya malam pertama penuh derita, tidak ada yang namanya malam pertama saling merajut cinta.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
aduuh TALAK aja mas takutnya dia bawa penyakit kelamin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status