"Maaf, suaraku tadi meninggi. Aku hanya kesal dengan sikapmu yang acuh tak acuh dengan usahaku. Aku lakukan ini untuk membiayai putriku juga 'kan." Radit berusaha merendahkan suaranya. Ia tidak ingin Dila semakin membencinya. Cara tersebut ia lakukan agar Dila tidak menjauhinya. Ia berharap Dila masih memiliki rasa untuknya."Aku sudah tidak peduli dengan itu. Perihal bonusmu dari perusahaan, tempatmu bekerja bukan urusanku. Sebaiknya, kau pergi sekarang dari sini. Aku khawatir putriku melihat pertengkaran ini." Dila tahu ucapan Radit hanya alibi, pasalnya lelaki itu belum pernah mengirim biaya hidup atau kebutuhan sekolah untuk putrinya. Selama ini, Dila sendiri yang meng-cover biaya kebutuhan putrinya. Dila tidak mempermasalahkan itu. Baginya, ia sudah bersyukur bila berpisah dengan lelaki itu, daripada harus menahan sakit hati yang berkepanjangan."Dengar, aku ayah dari putrimu. Jadi, kamu tidak berhak mengusirku seperti ini," bentak Radit. Ia mulai naik pitam karena Dila terkesan
Serly tidak peduli, justru melenggang pergi dan meninggalkan wanita itu marah-marah sendiri. “Ka-mu ….” Matanya membulat. “Serly ….” Santi tidak percaya dengan sikap mantunya tersebut. Meninggalkannya begitu saja. “Sialan wanita itu! Tunggu saja balasanku nanti,” ucapnya geram.Serly memasuki kamar dan mendapati Radit sedang berbaring. Ia pun mendekat dan duduk di sebelah lelaki itu. “Bang … Bang Radit!” Serly menegur suaminya dengan suara pelan. “Hmm ….”“Besokkan gajian, aku minta ditambahin dikit, ya. Keperluanku lumayan banyak untuk minggu depan,” ucapnya dengan nada lembut.“Lihat aja besok. Ibu juga minta ditambahin.”“Ibu! Emangnya untuk kebutuhan apa?”Mendengar ibu mertuanya meminta hal yang sama, Serli menjadi naik darah. “Wanita peot itu kenapa selalu membuat masalah?” batinnya.Dia pun berdiri kemudian pergi, meninggalkan Radit sendiri tanpa melanjutkan pembicaraan mereka.Setelah beberapa menit mengganti pakaian, Serli keluar dari rumah. Ia pun melangkah menuju taksi y
“Aduh, lepaskan! Kau hampir saja membuatku terjatuh,” bentak Dila sambil menatap kesal.Lelaki itu semakin berani dan tidak memedulikan akibat dari perlakuannya terhadap wanita di sampingnya. “Kau tidak menghargai pelanggan yang datang ke kedaimu. Bisakah kau lupakan dulu masalah kita. Aku hanya ingin bersantai sambil meminum kopi di sini.”“Tapi, masalahnya kedai akan tutup. Kami tidak beroperasi di malam hari. Apa kau tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan?”Dila sudah tak bisa lagi menahan amarahnya, karena lelaki itu seakan tidak peduli dengan apa yang baru saja diucapkannya. Radit bersikap santai saja seakan tidak ada yang terjadi. “Kalau gitu, aku ingin menemui putriku. Ke mana Syifa dan Nisya? Abang udah lama gak ketemu dengan mereka, apalagi Nisya. Bagaimana rupanya sekarang?” Radit tiba-tiba saja teringat dengan putrinya yang bungsu. Hampir sekitar empat atau lima bulanan, dia belum bertemu dengan putrinya tersebut. Dia sangat merindukan mereka berdua, apalagi yang
“Bu-kan … bukan seperti itu maksud Ibu, Dit.” Radit menoleh ke belakang. “Trus, apa maksudnya semua yang Ibu katakan tadi?” “Hu-huhu, sepertinya Ibu sudah tidak berguna lagi di rumah ini. Putra yang ibu banggakan membentakku. Huhuhu ….” Bu Santi terisak. Ia tidak menyangka bahwa putranya membentak dirinya. “Ibu memintamu untuk kebaikanmu juga.” Radit membalikkan badan, melirik ke arah ibunya. Ia menyesal telah berkata keras ke ibunya. Ia tidak menyangka saja, ibunya tidak bisa berkata yang baik, malah memintanya untuk bercerai. Ia masih kesal dengan ucapan tersebut. Namun, dia juga menyesal membuat ibunya menangis. Benar-benar dilema. “Arrghh! Bukan terpuruk, tetapi justru membuatku hancur.” Ia mengacak rambutnya dan pergi dari kamar ibunya. Pantas saja ibunya mengatakan penting dan tidak ingin berbincang-bincang di luar, ternyata yang ingin diucapkannya agar tidak didengar oleh Serli. Radit pun masuk ke kamar dan menutup pintu dengan kasar.“Gila! Wanita tua itu ternyata berbahay
Kedua Security itu segera menundukan badan, memberi hormat kepada wanita tersebut kemudian membukakan jalan agar segera berlalu. Mereka merasa bersalah dan hampir saja melakukan kesalahan kepada tamu. Serli kebingungan dengan sikap kedua security di depannya. “Apa yang kalian lakukan?” “Dia memang tamu di acara ini, Nona.”“Tamu? Apa kalian yakin? Mungkin saja undangannya palsu,” sergah Serli masih tidak puas karena Dila dibiarkan melenggang begitu saja. “Sebaiknya anda tidak ceroboh dan bersikap sewenang-wenang terhadap tamu di sini.”“Apa! Hei, berani sekali kalian menasehatiku seperti itu. Apa kalian tidak tau siapa aku, hah?”Kedua security itu berlalu, meninggalkan Serli untuk melanjutkan tugas mereka. Serli kembali menuju toilet. Perasaan kesalnya semakin memuncak, kedua security menasehatinya seakan mencemooh, selain itu dendamnya juga belum terbalaskan kepada Dila. Tadinya ia merasa seakan mendapatkan sebuah kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada wanita itu. ***“
“Mereka baik-baik saja dan sangat terawat dalam pengasuhanku,” jawab Dila dengan sarkastis.Herjunot semakin yakin ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja terjadi di antara mereka. Ibu Santi tidak tahu harus mengatakan apalagi mendengar jawaban Dila.“Oh ya, Mas. Aku harus pergi dulu. Terima kasih atas semua jamuannya di acara anda. Saya sangat tersanjung atas undangannya.” Dila pamit untuk segera pergi.“Tidak perlu mengatakan seperti itu. Okay, mari aku temani sampai ke loby. Kalau begitu, kita pulang bareng aja, bagaimana?” Lelaki berbadan tegap tersebut menawarkan bantuan ke Dila. Mereka berjalan bersama hingga ke lobby, sambil mengobrol.“Terima kasih, Mas, atas tawarannya. Lain waktu aja. Kebetulan supir saya sudah menunggu di mobil.”“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa!” “Sampai jumpa kembali.”Ia masih berdiri menatap Dila yang telah memasuki mobil, hingga menghilang dari pandangannya. Herjunot berbelok menuju mobilnya. Namun kemudian, ia menghentikan langkah kakinya dan
“Kau pikir, kau siapa berani mengatur-atur hidupku? Dengar, sebaiknya kau pergi sekarang juga. Aku muak melihatmu setiap saat muncul tanpa permisi.” Radit cukup kesal dengan wanita di depannya. Wanita itu sangat keras hati dan dingin. Ia tidak pernah melihat wanita itu bersikap demikian padanya. Dulu, Dila sangat ramah dan pengertian, tapi semua telah berubah. “Oh, ya, aku hampir lupa ingin mengatakan sesuatu padamu.”“Aku tidak ingin mendengar ucapanmu itu. Silakan pergi sekarang juga atau kau ingin aku meneriakimu di sini?” ancam Dila dengan tatapan tajam. Radit seketika menoleh sekeliling. Beberapa warga telah beraktivitas di pagi hari. Ia bisa bayangkan bagaimana tetangga akan melihatnya dan memperlakukannya jika Dila meneriakinya. Ia menggerutu di dalam hati berulang kali. Dila tidak mudah ia taklukkan seperti dulu. Padahal sudah berbagai cara ia lakukan agar wanita itu luluh, dengan cara lembut dan paksaan pun tetap saja tidak berhasil. Wanita itu memiliki pendirian yang kua
Herjunot masih menoleh ke Radit dan menunggu jawaban lelaki itu. Radit tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya. Ia benar-benar bingung. Ingin melarikan diri pun sepertinya tidak mungkin. Apalagi yang menanyainya bosnya sendiri. “Iya, Bos. Kami mengenalnya ….”“Mmm ….” Herjunot masih menatap Radit, menunggu jawaban lain.Radit sedikit salah tingkah. Ia pun segera meraih ponsel di dalam saku celananya. Ia seolah menerima panggilan telepon. “Halo, Iya, Yang. Sebentar lagi. Baru saja selesai, nih.” Ia memasukkan kembali ponsel miliknya. “Maaf, Bos. Saya harus pergi.”Herjunot merasa ada sesuatu yang disembunyikan lelaki itu. Ia pun keluar dari toilet menuju tempat duduknya. Sebenarnya, Ia sudah menyadari kedatangan Radit dan istrinya. Suara mereka sangat jelas dan terdengar di telinganya ketika keduanya bersenda gurau di belakangnya. Saat itu ia masih asyik bercerita dengan Dila. “Maaf membuatmu menunggu lama.”“Gak apa, Mas.” Mereka kembali melanjutkan obrolan dan diskusi y