Mataku mendelik menatapnya, dengan cepat dia mengalihkan langsung kepada Alta sambil mengedipkan sebelah matanya kepada gadis kecil itu."Siap Om dokter," Alta tersenyum manis sambil membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Ada-ada saja tingkah mereka. Sejak kapan mereka terlihat akrab seperti itu?.Pagi-pagi sekali Mas Rafi datang hanya sekedar untuk menyapaku. Dia bilang entah kenapa tiba-tiba saja rindu dan ingin bertemu. Wajahku bersemu merah mendengar ucapannya.Teringat juga soal ancaman Viona tempo hari. Bagaimana kalau Viona tiba-tiba muncul dan mengatakan hal yang bukan-bukan padanya. Apakah nantinya Mas Rafi akan percaya begitu saja dan lantas akan marah kepadaku?Kenapa juga aku harus berurusan dengan dokter Indra di saat-saat seperti ini. Semoga nantinya tidak akan menambah masalah lagi dan memperkeruh suasana hubunganku dengan Mas Rafi.Kulihat pagi ini dokter Indra baru saja membuka pintu kliniknya. Sepertinya suster yang kemarin belum datang. Karena biasa
"Mas selalu percaya, kok. Hanya saja... ""Hanya saja apa?" aku sedikit takut mendengar ucapannya yang sedikit ragu-ragu itu. Kenapa tidak langsung dia ucapkan saja."Hanya saja Mas tidak percaya pada si dokter duda itu!" dia setengah berbisik di telingaku. Membuat aku terkejut dan sedikit tersipu dengan bibirnya yang hampir menyentuh telingaku itu. Kemudian dia kembali mengacak-acak rambutku."Mas Rafi tahu dari mana kalau dokter Indra itu seorang duda?" aku memberanikan diri bertanya. Ah, untuk apa juga aku bertanya. Bukankah Mas Rafi seperti mafia, yang punya banyak mata-mata untuk mengetahui segala sesuatu yang membuatnya penasaran. Pastilah dia sudah menyelidiki latar belakang tetanggaku itu, sesaat setelah mendengar ceritaku waktu itu.Aku tertunduk diam, tak berani lagi bertanya. Mungkinpun dia lebih banyak tahu ketimbang aku perihal duda yang ditinggal mati istrinya tersebut."Tahu begini, Mas tidak mau menjual ruko itu padanya!" keluhnya lagi. Namun tetap saja dia berbicara d
Aku bersiap-siap untuk mengantar Alta ke sekolah. Gegas aku langsung masuk ke mobil tanpa mendongak ke atas, lantai dua klinik dokter Indra. Kini aku tahu bahwa setiap pagi dia pasti memperhatikan kegiatan kami dari atas sana. Alta sudah tak nampak murung lagi sejak berkonsultasi dengan dokter Indra. Sepertinya mereka cocok dan sangat akrab. Aku tak boleh terlalu membiarkan situasi seperti ini terus terjadi. Jangan sampai Alta semakin terikat dengannya dan terus minta untuk selalu di antar ke sana. Aku mencium kedua pipi dan kening gadis mungilku ini saat telah sampai di pintu gerbang sekolah.Bergegas aku masuk ke mobil dan menuju tempat yang telah di sepakati. Sengaja aku memakai masker wajah agar tak mudah dikenali. Aku menunggu di meja yang letaknya cukup strategis. Tak lama Mbak Lusi muncul. Dia melihatku kemudian mengangguk. Dia duduk tepat di belakang kursiku. Kami duduk saling memunggungi agar pembicaraan mereka mudah untuk aku dengarkan. Kulihat Viona muncul dari pintu ka
"Tapi Mbak sudah berjanji. Aku membutuhkan Alta secepatnya. Kalau begitu besok Mbak bawa saja dia ke rumahku. Bilang kalau Mbak ingin menginap bersamanya. Orang tua Mas Ilham akan segera datang. Dan mereka sama sekali tidak tahu perihal hak asuh Alta yang sampai jatuh ke tangan Naya. Jelas-jelas dia bukan Ibu kandungnya.""Maaf, Viona. Aku tidak bisa melakukannya.""Tapi aku butuh uang, Mbak. Malah Mas Ilham di penjara tidak meninggalkan apa-apa. Tinggalpun masih menumpang di rumah peninggalan mantan suamiku. Kalau begini, aku jadi menyesal menikah dengannya.""Itu salah kamu sendiri." Aku bangkit dan menunjukkan diri kepada mereka berdua. "Naya? Kamu?" dia terperangah heran."Kenapa? Kamu terkejut karena aku sudah mendengar semua kebusukan kamu?"Viona secara bergantian melihat ke arahku dan Mbak Lusi. "Kalian bekerja sama untuk menjebakku? Kurang ajar kalian ya. Berani-beraninya mempermainkan aku.""Aku juga sudah merekam semua rencana yang ingin kamu lakukan untuk membohongi oran
Gara-gara Mas Rafi juga mereka kehilangan rumah dan harus segera pindah dari sana. Belum lagi saat ini dia sering melihat Mas Rafi datang mengunjungiku. Tidaklah salah apa yang dia dengar dari Ayahnya itu. Aku jelas bersedih mendengar semua ini, tapi di sisi lain aku ikut senang karena sudah terjalin kedekatan diantara Ibu dan anak itu. Setidaknya kini Alta mau berterus terang dan berbagi cerita dengan wanita yang benar-benar tulus menyayanginya."Kamu kenapa, Nay? Kok melamun?" tegur Mas Rafi saat mobil sudah berhenti. "Eh, tidak kok, Mas. Nay tidak melamun. Kita sudah sampai, ya?" jawabku tergugup. "Tidak melamun kok malah tidak sadar mobil sudah berhenti dari tadi," ledeknya. "Masa iya? Sudah lama ya?"Mas Rafi tertawa kecil. "Tidak kok. Kita baru saja sampai.""Tuh, kan. Mas Rafi suka sekali menggoda Nay," rajukku. Dia kembali tertawa sambil mengusap lembut rambutku. Lagi-lagi kami memasuki restoran mewah untuk makan malam. Padahal sudah sering kukatakan bahwa aku lebih suka
Mobil melaju membelah jalanan yang penuh dengan kemacetan. Aku memandangi lampu-lampu kendaraan yang menyilaukan mata saat memandangnya. Teringat kembali, saat Mas rafi mengeluarkan kotak kecil dan meletakkannya di atas meja."Apa ini, Mas?" Kusentuh kotak mungil itu dan mengangkatnya."I..itu buat kamu, Nay," jawabnya gugup.Aku memandang dan memegangnya sepintas, lalu kembali meletakkan benda itu di atas meja, berharap jika itu memang untukku.Andaipun saat ini pikiranku benar, Bukankah Mas Rafi sendiri yang akan memasangkannya seperti di film-film romantis yang pernah aku tonton? Lantas, kenapa diberikan sama kotak-kotaknya segala?"Kenapa dikembalikan lagi, Nay? Apa kamu tidak mau menerimanya?" Dia terlihat gugup dan bahkan sangat gugup. Dahinya sedikit berkeringat, padahal saat itu udara sangat dingin karena ace ruangan masih menyala."Bukannya Nay tidak mau menerima, Mas, tapikan Nay belum tau apa isi kotak itu," jawabku beralasan.Bukannya aku tidak bisa menebak apa yang ada di
Apalagi, Mas Ilham adalah laki-laki pertama yang berani mengungkapkan perasaan sekaligus memintaku untuk menikah dengannya tanpa berlama-lama. Tidakkah dulu dia terlihat serius dan benar-benar takut kehilanganku?Aku tersenyum manakala teringat akan hal itu. Apakah apa yang ku alami dan ku rasakan saat itu sedang dirasakan Mas rafi saat ini? Entahlah, yang ku tahu saat itu aku benar-benar gugup.Kulihat Mas Rafi berjalan terburu-buru dari kejauhan sambil berkali-kali mengelap mukanya dengan tisu yang mungkin dia bawa dari toilet. Kulihat jam yang melekat ditanganku sudah pukul sembilan. Ya ampun, ternyata baru ku sadari Mas Rafi sudah setengah jam ada di sana."Mas kenapa? Apa Mas diare?" Tanyaku berbasa basi."Tidak Nay, Mas tidak apa apa, kok," sahutnya "Mas kelamaan, ya? Kalo begitu kita pulang saja, ya. Nanti kemalaman, tidak enak sama Bapak dan Ibu di rumah."Dasar Mas Rafi. Pantas saja sampai saat ini kamu belum menikah, ternyata mentalnya hanya sampai seperti ini. Lalu bagaiman
"Nay..., Mas... ""Iya, Mas. Nay mau," sahutku sebelum Mas Rafi meneruskan kata-katanya.Terlihat senyum mengembang dari bibirnya. Raut wajah kecewa tadi kini berubah sudah. Gurat kebahagiaan terpancar dari wajah tampannya."Benar, kamu mau?" dia meyakinkan."Iya, Mas," sahutku membalas senyumannya. Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Kemudian meraih jemariku dan menyematkan cincin bertahtakan permata berwarna putih itu.Apa ini yang dinamakan berlian? Mengingat seumur-umur Mas Ilham tak pernah membelikanku barang seperti ini. Bahkan saat terakhir kali aku morotin uangnya, perhiasan yang kubeli hanya emas biasa berwarna kuning.Kini cincin itu mengikat sempurna di jari manisku. Matanya berkilauan diterpa cahaya bulan yang kini tengah bersinar terang tepat di atas kami. Mas Rafi kemudian menggenggam erat jemariku tadi."Terima kasih ya, sayang," ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. Kamipun larut dalam pandangan satu sama lain."Ehem... ehem...," suara dokter Indra lagi-lagi mem