"Kamu masih di sini?" tanyaku dingin. Rasanya masih enggan bersikap seperti biasa padanya. "Bundaaa, kok Bunda marah sama Om Bule?" Aku terkejut dengan pertanyaan Giska. Apa yang sudah dikatakan Pras pada putriku? "Giska jangan makan es krim terlalu banyak. Nanti batuk, Sayang!" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan pada Giska. "Nggak kok, Bunda. Ini tadi juga habisinnya berdua sama Om Bule. Ya kan, Om?" Giska menggandeng Pras dengan manja. Pras tersenyum pada putriku. "Giska sekarang belajar dulu. Om mau bicara dengan Bunda!" pinta Pras yang langsung disetujui oleh Giska. Tak lama kemudian Giska sudah berlari menuju kamarnya. "Pulanglah, Pras. Aku tidak apa-apa. Jika kamu masih ingin menanyakan tentang foto itu, sebaiknya kamu tanyakan langsung pada Levin." ucapku seraya berlalu dari hadapannya. Aku melangkah ke dapur. Mungkin dengan minum segelas susu hangat, perasaanku akan menjadi lebih baik. "Sini aku buatkan!" Tiba-tiba Pras muncul dari belakangku dan meraih gelas dan sen
[ Makasih, Ra. Udah mau kasih Gue kesempatan. Salam dari Ibu dan adik-adik Gue] Aku membaca pesan dari Dido saat baru hendak berangkat ke kantor. Pagi ini banyak sekali pekerjaan yang harus Aku tangani langsung. Keanu hari ini aku tugaskan memimpin rapat di perusahaan Arief. "Mobil sudah siap, Bu Sera!" Pak Yono menghampiriku dan membawakan tas kerjaku ke dalam mobil. Setelah mencium Pangeran, aku melangkah dan masuk ke dalam mobil. Sementara Giska sudah berangkat ke sekolah sejak pagi. Pagi ini Dido akan datang kembali ke kantorku. Dia akan menjalani beberapa proses interview dan test. Semoga saja kesempatan yang aku berikan ini tidak ia sia-siakan lagi. "Pak Yono, Bagaimana keadaan keluarga Dido sekarang, Pak?" "Mereka masih numpang di salah satu family kami, Bu Sera. Sebenarnya tidak ada yang bisa menerima mereka, karena sanak family kami juga bukan orang berada. Rumah kami pas-pasan buat keluarga sendiri saja." "Bagaimana dengan ibunya Dido, Pak?" "Ibunya Dido sakit-sak
"Serani, Serani. Mau nagapain kamu datang ke sini? Mau cari Tirta? Gatel banget ya, Kamu nggak malu ngejar-ngejar cowok. Dasar janda gatel!" "Jaga bicaramu, Grace! Aku bukan wanita yang terus-terusan dekati laki-laki, padahal sudah jelas-jelas ditolak," sahutku. Wajah Grace merah padam karena sindiranku. "Hati-hati kalau bicara, Sera! Kamu ini sekarang ada di rumah mertuaku. Mungkin Papa mertuaku juga akan mengusirmu nanti jika tau siapa kamu sebenarnya. Dia pasti lebih setuju Tirta dengan Grace, bukan dengan janda anak dua seperti Kamu!" Tante Sarah tampak sangat emosi. Aku menarik napas panjang. Sebaiknya Aku tidak meladeni dua wanita ini. Hanya buang-buang energi saja. Tante Sarah dan Grace melangkah lebih dulu masuk ke dalam rumah mewah itu. Sementara Aku masih menunggu Levin di sini. Tak lama kemudian Levin datang dan mengajakku masuk. "Levin, maaf, apakah Pras juga hadir di acara makan malam ini?" tanyaku penasaran. " Maaf Sera, Aku tidak tau siapa saja yang diundang
"Mari Serani, Aku perkenalkan pada semua keluargaku!" Levin membawaku berkeliling. "Serani, bukankah kita pernah ketemu di puncak? Kamu temannya Tirta, kan?" Tiba-tiba Om Roy menghampiriku. "Iya, Om. Apa kabar, Om Roy?" sapaku sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Wah, wah. Saya nggak nyangka ternyata kamu seorang CEO. Waktu itu kami pikir .... ah sudah, sudah. Ayo mari kita makan! Levin, bawa Serani makan. Ini sudah jam makan malam, loh!" Om Roy tersenyum ramah padaku. "Baik, Mas. Ayo Sera! Kita duduk di meja yang itu gabung dengan Ayah. Tadi Ayah bilang mau berbincang--bincang denganmu." Aku mengikuti langkah Levin sambil melihat sekeliling. Di mana, Pras? Kenapa aku nggak lihat dia lagi? "Ayo Serani. Silakan duduk!" Ayah Levin mempersilakan Aku untuk duduk di sampingnya. "Terimakasih, Pak!" Levin duduk di hadapanku. Beberapa pelayan mulai menghidangkan menu makan malam di meja kami. Ternyata meja ini lebih spesial. Karena semua serba dilayani. Sementara ada mej
"Pras, lepas!" Aku menarik tanganku setelah kami keluar dari ruangan besar tempat acara tadi. "Maaf, nanti Aku lepasin. Sekarang biarkan seperti ini dulu." Pras malah semakin erat menggenggam jemariku. Kami terus melangkah melewati lorong menuju pintu keluar. "Tirta, mana Grace?" Tiba-tiba tante Sarah menghadang langkah kami. Sekarang aku mengerti kenapa Pras belum melepaskan tanganku. "Grace ada di dalam bersama Kakek Sion dan Levin," sahut Pras santai. Tatapan mata Tante Sarah tertuju pada gengaman tangan Pras di tanganku. Sorot matanya tajam. Wanita itu mendengkus kasar. "Bukannya tadi sama kamu? Kok kamu main tinggal-tinggal aja anak tante?" Wanita paruh baya itu nampak sangat kesal. Ia sempat melirikku dengan tatapan sinis. "Anak tante itu nggak akan hilang. Ini kan rumah kakeknya." Pras tertawa kecil. "Tante baru akan bicara pada Kakek Sion tentang kelanjutan hubunganmu dan Grace. Ini kok malah gandengan sama perempuan lain!" gerutu wanita cantik yang malam ini menggunaka
"Aku akan menikahimu!" "Haaah?" Aku nyaris berteriak histeris dan sontak membekap mulutku sendiri. Detak jantungku berpacu dengan cepat. Apa Aku nggak salah dengar? Apa aku hanya berhalusinasi? "Maksudnya?" tanyaku bingung. Bukankah dua orang yang menikah itu harus saling mencintai? Tapi ... Pras tidak pernah mengatakan hal itu padaku. Namun, sikapnya selama ini mampu menciptakan debaran-debaran indah di hatiku. Pras menghela.napaa panjang dengan pelan. "Dengan menikahimu .., gosip itu akan hilang dengan sendirinya. Mereka tidak akan berpikir buruk lagi tentangmu." ujar Pras masih dengan posisi menghadap ke arahku. Tatapan matanya pun masih lekat pada netraku. Seketika hatiku mencelos saat mendengar alasannya. "Ooh, jadi Kamu mau nikahi Aku cuma untuk menghapus gosip!" Aku kembali menghempaskan punggungku pada sandaran jok. Kini pandanganku kembali ke luar jendela. Tiba-tiba saja ada rasa sesak yang menggelayuti dada ini. Sebisa mungkin Aku menahan agar air mata yang tiba-tib
"Prass, apa yang kamu lakukan?" Pras tersentak saat sedang berdiri di depan lukisan wajahku yang terpampang di dinding ruang kerja.. Aku sempat melihat ia menempelkan bibirnya di lukiisan itu. Seolah-olah ia sedang mencium wajahku. Pras sontak gugup. Wajahnya memerah karena malu. Dia pasti sudah berimajinasi tentang diriku. Astaga, Pras! "Ah, nggak apa-apa. Tadi aku seperti mencium aroma wangi di ruangan ini. Aku pikir dari lukisan ini," kilahnya terlihat panik. Aku melangkah masuk sambil tersemyum. "Halaah, modus! Bilang aja kamu lagi berkhayal sedang cium aku tadi," tebakku asal dengan maksud meledeknya.. Namun tiba-tiba Pras mendekatiku dan mendesakku hingga ke dinding. Kedua tangannya berada di samping tubuhku. Kini tubuhku berada dalam kurungan kedua tangan kokohnya. "Prass, Kamu marah? Aku cuma becanda, kok. Nggak beneran!" protesku saat melihat tatapan tajamnya. Pria bule di depanku itu tak menjawab. Pandangannya masih intens menatap netraku. "Prass ...!" lirihku denga
Tirta Prasetya "Elara, jadwal ulang meeting pagi ini. Aku akan ke kantor Serani sekarang." "Tapi, Pak Tirta--" "Kerjakan saja perintahku! Ada hal penting yang harus Aku lakukan di sana." Aku mulai mengenakan jas dan meraih kunci mobil, lalu melangkah keluar tanpa menghiraukan tatapan kecewa dari Elara. Pagi ini aku memang kembali ke kantor Serani. Hari ini ada acara di sekolah Giska. Sera mungkin akan lebih siang datang ke kantor. Hal ini aku manfaatkan untuk bicara dengan Dido. Menurut kepala HRD, Dido mulai masuk kerja hari ini. Setelah perjalanan satu jam, akhirnya aku tiba di Gunawan Corp.. Hampir semua karyawan di sanasudah mengenalku. Mereka tak pernah melaranglku untuk masuk bahkan ke ruang pribadi Sera. "Silakan masuk Pak Tirta tapi Bu Sera sedang tidak ditempat." ujar sekretaris Sera. "Baiklah.Tolong panggil kepala HRD ke sini!"pintaku seraya melangkah masuk ke dalam ruangan Sera. Lalu aku menjatuhkan tubuhku di kursi kebesaran yang ada di balik meja kerjanya. "Sela