Wajah-wajah itu terlihat tegang ketika menunggu kesadaran Kinan. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Entah bagaimana kebenarannya. Sementara acara besok harus tetap terlaksana. Kalau memang benar bukan Bayu yang menghamili Kinan, lalu siapa? Itulah yang berkecamuk di pikiran masing-masing. Hingga Iyan mengabaikan panggilan dari pengacara yang menangani Rudi.Gema adzan Maghrib terdengar di seantero kampung, membuat para lelaki bangkit dari tempatnya, mereka beriringan menuju musholla terdekat. Sementara para wanita memilih berjamaah di rumah. Selepas salam Miranti segera bangkit setelah terdengar rintihan putrinya. Sementara Farida dan Vina masih melanjutkan dzikirnya.Semua berkumpul di ruang tengah setelah kembali dari jamaah, termasuk Kinan. Namun, wanita yang tengah hamil muda itu masih bungkam."Kinan, katakan yang sebenarnya jangan takut, Kin," Iyan setelah tak ada yang membuka suara.Butiran bening itu lolos begitu saja melewati kelopak mata yang terlihat membengkak."
"Kalau begitu, kita pindah saja ke sini, Pak. Kinan itu anak kita satu-satunya. Bagaimana bisa kita lepas tangan begitu saja?" pinta Miranti, wanita itu benar-benar terpukul dengan musibah yang menimpa putrinya."Kita akan bicarakan nanti, belum tentu yang Kinan bicarakan adalah kebenaran, bisa saja dia berbohong atas apa yang terjadi dengannya," kilah Bowo."Pak!" seru Miranti, wanita sepantaran Farida itu tidak terima dengan ucapan suaminya."Kalau itu keinginan Kinan. Kita pulang sekarang!" titahnya penuh tekanan."Bapak kok jadi seperti itu? Kapan Bapak bisa percaya sama anak sendiri? Oh ... mungkin karena ini, Kinan tak ingin berbagi masalahnya. Percuma, Bapak takkan mempercayainya. Aku kecewa sama Bapak!" Setelah berubah Miranti pun bangkit, dia segera meninggalkan suaminya dan berlari ke belakang, ke tempat Kinan berada."Mas!" panggil Handoko setelah Bowo bangkit dan hendak melangkah ke arah yang sama dengan istrinya. Bowo menoleh, ayahnya Kinan itu terlihat sangat ramah, namp
"Ayah!" seru Alif memecah keheningan, bocah yang tengah duduk di sebelah Iyan itu pun bergegas bangkit, tanpa ragu dia berlari menyongsong lelaki yang berdiri tertegun di ambang pintu. Seketika semua mata tertuju mantan suami Ambar tersebut dengan penuh tanya."Ayah ...!" seru Alif sekali lagi, bocah lima tahun lebih empat bulan itu kegirangan. Melihat putranya mendekat, Rudi pun berlutut kemudian merentangkan kedua tangannya. "Ayah!" Lagi, Alif menyebut kata yang sudah lama tak terucap dari bibir mungilnya. Bocah yang belum jadi sekolah itu benar-benar bahagia bisa bertemu dengan lelaki yang telah mengukir raganya tersebut. Sementara Ambar hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan perasaan campur aduk. Namun, yang pasti rasa terkejut lebih besar dari rasa bahagianya saat ini.Di sisi lain, Rahayu yang duduk berdampingan dengan Farida tak langsung bangkit, mata senja itu mengembun melihat kehadiran sang putra yang kini tengah melepas rindu dengan cucunya."Dia ... dia putraku?" tany
"Apa yang terjadi dengan kakak saya, Suster?" tanya Sumi sambil terus mengikuti langkah seorang perawat ketika mereka berpapasan di koridor rumah sakit, sesekali tangannya menarik wanita yang memakai seragam putih tersebut. Malam hari, lorong rumah sakit itu terlihat menakutkan. Namun, itu tak jadi alasan untuk seorang perawat menunda tanggung jawabnya."Tolong jangan menghalangi kami berkerja, Mbak. Nanti ada dokter yang menjelaskan kondisi pasien ini," sahut perempuan satunya dengan ketus karena merasa terganggu dengan sikap Sumi.Sumi sendiri terlihat tegang, ketika seorang perawat menghubunginya dan mengatakan kalau Santi mengamuk dan melukai Mina, wanita setengah baya itu sudah tak sadarkan diri ketika mereka sampai di ruangan Santi. "Katakan dulu apa yang terjadi dengan Kakak saya, Suster?" Sumi masih bersikeras bertanya karena melihat Santi didorong di kursi roda dengan tangan diikat, rasa khawatirnya semakin menjadi ketika melihat kondisi kakaknya yang sangat berantakan."Su
Malam itu rumah yang tadinya sepi menjadi gaduh akibat kedatangan Alif. Bocah bermata bulat dengan bulu lentik itu merajuk ingin tidur bersama dengan bundanya. Ambar tak habis pikir, kenapa putranya bisa seperti itu, karena biasanya dia juga tidur sendiri. Sementara Iyan seperti mati gaya, lelaki yang biasanya selalu bisa mengatasi masalah itu terlihat bingung, tak tahu harus berbuat atau berkata apa."Kakak mau tidur sama Bunda? Kenapa, Kak? Bukannya Kakak sudah terbiasa tidur sendiri?" tanya Ambar setelah mengajak Alif duduk di sofa. Sementara yang lainnya hanya berdiri sambil menatap heran pada Ambar yang masih memakai mukenah. Termasuk Rudi yang mengantarkan Alif."Kan tadi Alif tidur sama Ayah." Bocah berambut ikal itu menoleh pada Rudi, "terus Alif ingat sama Bunda, karena dulu kita kan sering tidur bertiga," sahut Alif dengan polosnya. Ambar menghela napas mendengar penuturan sang buah hati, begitu juga dengan orang-orang yang ada di tempat itu, termasuk Rudi. Lelaki yang dulu
Sementara di dalam kamar, Iyan dan Ambar tak bisa berbuat lebih, mereka hanya berbaring di sisi kiri dan kanan Alif sambil saling menatap, untuk saat ini bocah lelaki itu yang menguasai ranjang. "Maaf ...," ucap Ambar dengan suara yang hampir tak terdengar. "Ok," sahut Iyan tanpa suara, lelaki itu hanya menggerakkan bibirnya kemudian tersenyum. Setelah cukup lama saling pandang, Iyan memberanikan diri, tangan kanannya terulur lalu membelai rambut hitam milik Ambar. Bundanya Alif itu tersipu malu, tetapi dia begitu menikmatinya, hingga keduanya sama-sama terlelap.Pagi adalah waktu yang sibuk bagi setiap ibu rumah tangga, begitu juga dengan Ambar. Setelah selesai melaksanakan kewajiban dua rekaat, bundanya Alif itu langsung menyibukkan diri di dapur. Sementara para lelaki penghuni rumah itu masih belum kembali dari musolah. Aroma kopi dan teh melati yang menguar di seluruh ruangan membuat Vina keluar dari kamarnya dan melangkah ke dapur."Ih, pengantin baru rajin amat," godanya pada
"Ada apa? Siapa yang meninggal, Sumi?" tanya Haris dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Di KTP-nya, lelaki itu beragama Islam, walaupun kenyataan dia jarang atau hampir tidak pernah melakukan perintah Tuhannya. Namun, dia tahu dan paham untuk apa kalimat yang diucapkan Sumi tadi. Walaupun sebenarnya kalimat itu tak hanya untuk berita kematian, karena sejatinya disaat kita tengah mengalami hal buruk dan kesialan, kita bisa juga mengucapkannya."Aku-aku ... mau ke rumah sakit sekarang," balas Sumi. Wanita itu memungut ponselnya yang tergeletak di lantai tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang masih bergulung selimut itu. Setelah mengamati dan memastikan jika benda pintar miliknya itu baik-baik saja, Sumi pun meletakkannya kembali di meja, kemudian dengan langkah tergesa dia menuju ke kamar mandi. Setelah bayangan Sumi tak lagi terlihat, dengan malas Haris bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di tepi ranjang lalu membuat gerakan peregangan otot. Sumi yang baru saja keluar dari ka
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya membuat Ambar berjingkat. Setelah bisa menguasai keterkejutannya Ambar pun membalas ucapan suaminya. "Ndak usah .... " Bundanya Alif itu menjeda kalimatnya, wanita itu bingung harus memanggil Iyan dengan sebutan apa."Kenapa diam?" tanya Iyan dengan suara rendah. Lelaki itu semakin mendekat dan itu semakin membuat Ambar gugup."Em ....""Bingung mau manggil aku dengan sebutan apa?" tanya Iyan, tatapannya semakin fokus pada sang istri.Ambar tersenyum kemudian mengangguk. "Susah kah?" tanya Iyan lagi. Karena merasa didesak akhirnya Ambar memberanikan diri mengangkat wajahnya."Sebenarnya ndak susah, cuma canggung aja. Tiba-tiba saja kita sudah menikah," balasnya. Tatapan mereka bertemu, keduanya seoalah enggan mengalihkannya, Iyan dan Ambar saling jatuh cinta."Senyamannya kamu, kalau aku ... Em, boleh nggak kalau aku manggilnya 'Dek'?" Akhirnya kalimat sakti itu keluar juga dari bibir lelaki jangkung tersebut. "Bunda ....!" Seruan Alif membuat mer