Barangkali perkataannya beberapa waktu lalu menyakiti hati Dirga, sampai membuat laki-laki itu tampak abai setiap harinya. Chika dibuat diam dan memandang dari kejauhan semua aktivitas laki-laki itu. Bahkan, Chika hanya bisa memandang singkat melalui jendela kamarnya.Seperti saat ini, usai membuka jendela kamarnya, Dirga langsung duduk di depan meja belajar dan memandangi tumpukan buku yang berkaitan dengan ujiannya. Berada di tingkat akhir, membuat Dirga harus meletakkan seluruh fokusnya pada materi."Cuek banget, sekarang," gumam Chika yang memandang dari kejauhan—tepatnya, dari atas ranjang.Chika yang melipat pakaiannya sedikit kasar, kesal dengan apa yang dia hadapi saat ini. Atau mungkin lebih tepatnya, dia tak rela dengan situasi hubungan keduanya. Baru dia tahu rasanya saling berdiam dengan Dirga. Pun Chika sadar jika situasi ini terjadi karena kesalahannya. Biasanya, Dirga yang dia diami.Gadis itu menghela nafasnya cukup panjang, pandangannya bahkan seketika kosong usai pak
Baru beberapa menit yang lalu Chika telah meninggalkan jendela kamar Dirga yang masih terbuka lebar dan menampilkan laki-laki itu yang masih berkutat dengan buku-bukunya. Namun, gadis itu kembali muncul ke permukaan jendela kamarnya, menatap Dirga dari kejauhan.Nafasnya terbuang kasar, dia meletakkan dagunya pada tumpukan dua tempurung tangannya di jendela. Entah kenapa, Chika merasa jika tahun pelajaran kali ini terasa lebih cepat dari sebelumnya. Padahal, tadinya dia masih melihat Dirga banyak bermain atau pergi ke sirkuit secara diam-diam."Berarti kalau dia lulus, gue sendirian lagi?" tanyanya pada diri sendiri.Mengingat jika nanti Dirga akan kuliah dan mengharuskan laki-laki itu tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya, dengan dirinya, membuat Chika merasa sedikit tidak rela.Dia menjentikkan jarinya, saat sesuatu menyambangi kepalanya. Lantas mendesis beberapa kali sampai laki-laki itu menoleh. "Buka hp lo," katanya.Sedikit menekuk alis, Dirga turun dari kursinya menuju ran
Dirga tidak tahu, jika menatap wajah Chika dari dekat nyatanya lebih berbahaya daripada melihat pemandangan alam dari ujung tebing. Matahari yang mulai turun juga semakin membuat penerangan pada wajah Chika berkurang, namun mampu menghadirkan efek temaram lembut."Nggak bisa nahan apa?" tanya Chika.Tatapan lekat itu sukses terbuyarkan usai pertanyaan Chika. Tubuhnya bergerak ke belakang, bersandar pada batang pohon yang berdiri kokoh, lantas melipat kedua tangannya di depan dada. "Rasa penasaran gue," sejenak dia menjeda kalimatnya. "Ujian gue masih lama. Tapi, lo malah minta sesuatu sekarang," katanya lagi disertai dengan hembusan nafas panjang."Ya, biar lo penasaran," jawabnya dengan kekehan.Tidak menimpali lebih jauh, Dirga justru mengalihkan pandangannya ke lain arah. Dia diam-diam menarik tipis salah satu sudut bibirnya yang dia yakini tak akan disadari oleh Chika.Penantian yang semakin lama terasa membosankan itu telah berakhir, setelah Chika menepuk-nepuk lengan Dirga saat
Andai saja pembunuhan tidak diatur dalam undang-undang, mungkin Chika sudah menggunakan salah satu gunting di atas meja untuk menggunting urat nadi Dirga saat ini. Terlihat tak memiliki beban, Dirga justru tersenyum ketika melihat dirinya dari pantulan cermin."Mas, dibotakin aja. Sampai kulit kepalanya terlepas, juga nggak apa-apa," kata Chika."Jangan, dong. Nanti helm yang aku pakai jadi longgar," kata Dirga.Sedangkan laki-laki yang kini memegang kedua bahu Dirga hanya bisa terkekeh melihat interaksi keduanya. Rasanya lucu, tak pernah mendapati pelanggan yang harus berdiskusi dengan kekasihnya untuk mendapat penampilan yang terbaik dengan cara interaksi mereka yang menyeramkan. Bahkan, pelanggan dan pemangkas yang lain juga turut terkekeh."Kayak gimana aja deh, mas. Yang bagus dan rapi buat anak SMA," kata Dirga.Dirga masih menatap Chika yang juga tengah menatapnya. Gadis itu melemparkan tatapan mematikan pada laki-laki itu. Namun, Dirga sendiri hanya memberikan senyuman tipisny
Bahkan hewan memiliki batas kesabarannya ketika diganggu oleh makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya. Namun, agaknya Dirga patut mendapat penghargaan karena kesabarannya yang tak ada habisnya. Entah seberapa banyak cercaan ayahnya yang diterima baik oleh rungunya perihal hal yang dia lakukan, Dirga masih tetap menganggap laki-laki itu sebagai seorang ayah.Satu tamparan keras yang dilayangkan pada pipi kirinya tak membuat Dirga mendongak dan membalas tatapan sang ayah. Alasannya cukup dan hanya satu yang membuat ayahnya berlaku sedemikian. Dengan ponsel ayahnya yang menampilkan balapan terakhirnya beberapa waktu lalu ditunjukkan pada Dirga."Masih balapan lagi?! Kamu mau bunuh diri ikutan olahraga gini, ha?!"Sebenarnya, bukan Dirga tak bisa membalas perkataan ayahnya perihal bagaimana dia bisa senang dan bahagia dengan pilihannya menjadi pembalap, hanya saja sang ayah tak mau tahu soal itu. Ayahnya selalu menganggap, jika balapan adalah olahraga yang hanya sedang mempertaruhkan nyawa
Saat akhirnya tiba di bengkel, Chika tengah memperhatikan motornya dari kejauhan seraya kedua tangan yang berusaha membuka kunci helm. Entahlah, maniknya terpaku kepada motornya yang ternyata baru saja disentuh oleh montir."Chik, lepas dulu helmnya,"Suara berat Dirga terdengar merangsak ke dalam rungunya, namun setiap pergerakannya langsung terhenti ketika kedua maniknya menangkap Dirga yang telah melepas helmnya. Maniknya mengerjap beberapa kali, dan secara mendadak gadis itu seperti mengalami sesak nafas.Potongan rambut laki-laki itu sukses membuatnya mematung. Pasalnya, sejak tadi dia tak memperhatikan bagaimana tampan—eh, rapinya rambut Dirga yang baru saja dipangkas. Rupanya itu juga mengubah tampilannya. Entahlah, Chika bahkan sulit mendeskripsikan apa yang dia lihat saat ini. Mendadak seluruh jarinya tak dapat digerakkan, sampai membuat Dirga turun tangan guna membuka helmnya."Kenapa, sih?" tanya Dirga lagi.Jari telunjuknya tampak bergerak acak dengan bibir yang sedikit te
Bermodalkan laptop yang dia bawa dari rumah dan flashdisk yang diberikan Dimas, gadis itu meletakkan seluruh fokusnya. Tangan dan otaknya bekerja sama dalam menyusun rencana yang lebih rapi. Dengan sedikit bantuan yang diberikan Dirga kala itu, juga ia cantumkan dalam susunan rencana tersebut.Manik hitam dengan kilauan cantiknya itu beberapa kali menyipit ketika Dimas tengah meretas beberapa sistem yang mereka butuhkan. Memang, dalam urusan ini hanya Dimas yang bisa dia andalkan dalam sekelebat pikiran."Gue pikir, lo bakal ngelupain rencana ini," kata Dimas tanpa memalingkan wajah.Tangan yang terlipat di depan dada, dan kaki yang bertumpu membuat Chika merasa begitu rileks setelah dia akhirnya mendapatkan waktu luangnya. Mungkin memang begitu yang dipikirkan Dimas, namun pada kenyataannya hampir setiap malam Chika selalu memikirkan rencana yang harus dia lakukan dengan tuntas. Lantas dengan satu hembusan nafas yang keluar, dia berkata."Kalau gue lupain, yang ada bokap gue nggak be
Dirga baru saja meletakkan motornya di depan rumah, pribadi itu juga ingin meletakkan penat tubuh dan peningnya kepala setelah beberapa jam mengerjakan soal ujian. Pasti menyenangkan hal yang sudah terbayang dalam angannya. Bahkan, tepat setelah helmnya diletakkan nyaman pada tangki bensin, Dirga mulai meregangkan otot tangan dan punggungnya dengan sedikit erangan.Tangannya menarik kunci motor, lantas membawa langkahnya memijak anak tangga pertama pada teras rumah. Namun, atensinya teralihkan saat melihat tetangganya tampak terburu mengunci pintu rumah sampai benda tersebut jatuh ke lantai."Tante, mau kemana?" tanya Dirga."Ke klinik, Chika kecelakaan," ucap ibunda Chika.Bagaikan sebuah satu amunisi yang ditembakkan hingga menembus dadanya, jantungnya menyebarkan rasa panas ke sekujur tubuh. Maniknya terbelalak, serta bibir yang sedikit terbuka karena terkejut mendengar kabar tersebut. "Tante, saya ikut!" kata Dirga yang membatalkan niatannya untuk masuk ke dalam rumah.Pikiran ya