"Makasih, udah ngurus motor Chika,"Ditengah-tengah keadaan langit yang tampak menimbang untuk menumpahkan atau menghilangkan hasil penguapan air laut itu, Dimas menoleh mendapati suara yang menyambangi indera pendengarannya. Tubuh yang semula membungkuk melihat bagian dalam motor Chika, seketika ditegakkan bersamaan dengan berkacak pinggang sebagai bentuk sambutan.Wajah angkuh Dimas berhadapan dengan air muka tenang yang dibawa Dirga dalam jaraknya. Cukup mengejutkan menerima tamu tak diundang dengan balutan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuhnya."Di sini nggak buka tempat les," kata Dimas.Salah satu sudut Dirga terangkat, seakan tergelitik dengan kalimat yang baru saja mengudara. "Gue cuma mau ngambil motor Chika," katanya seraya mengeluarkan tangan dari kedua saku celananya.Tangannya dia letakkan pada motor tepat di sebelahnya, sedangkan satunya lagi dia letakkan di atas pinggang. Tatapannya lurus ke arah Dimas yang sedari tadi masih setia dengan posisinya. Dengan sua
Dirga tahu, setiap keberuntungan itu datangnya tidak setiap hari. Barangkali mereka juga memiliki tanggal yang telah terjadwal rapi untuk menghampirinya. Namun, disaat setiap rentetan angka dan formula yang tercetak di atas kertas itu memusingkannya, Dirga mendadak membutuhkan keberuntungannya. Tidak bisakah mereka datang lebih awal dari yang dijadwalkan? Keadaan Dirga begitu darurat sampai semua bulir-bulir keringat keluar dari pori-pori.Padahal, dia sangat begitu yakin telah mempelajari rumus-rumus yang sebelumnya cukup mudah untuk bisa dia selesaikan. Hanya saja, sesuatu yang tercampur secara berlebihan di dalam pikirannya ini justru mengacaukannya.Tepat setelah keluar dari kamar Chika, secara mendadak ibunda Chika menarik lengannya sampai ke halaman belakang rumah. Hal yang membuatnya bingung itu justru mengejutkannya, sampai butuh waktu beberapa detik untuk jantungnya berdekat kembali ketika diajak mengobrol."Tante sedikit dengar apa yang kamu dan Chika bicarakan. Tapi, maksud
"Dirga, pengen burger,"Itu adalah permintaan yang lolos dari mulut Chika ketika dia hanya melihat Dirga berkutat dengan buku-buku pelajaran di ruang tamu rumahnya. Butuh waktu lama untuk mengajukan permintaan itu setelah bergelut dengan pemikirannya lantaran tak ingin mengganggu waktu belajar pribadi itu. Namun, keinginannya tak mampu Chika pendam lebih lama lagi sampai pada akhirnya mengalihkan atensi Dirga dari buku sainsnya.Tanpa menolehkan kepala, Dirga menyambar ponsel yang diletakkan di sebelah tasnya guna membuka aplikasi pesan antar. Dia menyerahkan ponselnya pada gadis itu, membiarkannya memilih apa yang ingin dimasukkan kedalam saluran pencernaannya."Lo mau yang ukuran apa?" tanya Chika."Samain aja nggak apa-apa,"Gadis itu paham, dan tentunya juga langsung melakukan pembayaran dengan menggunakan saldo laki-laki itu. Dalam hati berkata, ada bagusnya ketika Dirga memilih untuk belajar di rumahnya—kendati tak ada hubungannya dengan dirinya yang hanya sebatas adik kelas.Di
Bentangan cakrawala sore hari ini menampilkan semburat jingga yang mampu menarik banyak orang untuk tenggelam pada perasaan tenang dan damai. Seorang laki-laki yang tampak menenteng tas selempang milik gadis terkasihnya itu tak bisa berhenti melepas senyumnya ketika menyaksikan bagaimana tenangnya wajah sang gadis yang tertutup rapat dengan seutas senyuman. Dia menikmati kehidupannya yang terasa begitu damai sembari menyerap energi baik dari lingkungannya."Ternyata begini ya, hidup tenang tanpa adanya masalah," kata sang gadis."Ketenangan dalam kehidupan itu salah satu kebahagiaan yang nggak bisa diukir maupun dibayar dengan apapun," balas sang laki-laki yang turut duduk bersebelahan dengan sang kekasih. "Cukup jalanin pagi dengan minuman hangat dan sepotong roti, menghirup udara pagi. Seperti itu salah satu ketenangan dan kedamaiannya," imbuhnya.Laki-laki itu juga tak bisa membuang pemandangan indah langit sore ini. Dia merasakan bagaimana sebelah tangannya dirangkul begitu kuat o
Mungkin Chika harus mempertanyakan langsung pada yang bersangkutan perihal sikapnya yang mendadak dingin. Terlebih ketika ia ditinggal usai Dirga memarkirkan motor. Kalau tidak Chika panggil, mungkin laki-laki itu akan membiarkannya membusuk tanpa berniat membantu."Temenin jalan. Gue nggak percaya diri," kata Chika.Dengan helaan nafas terberatnya, Dirga menurut dan berdiri di belakang gadis itu dengan langkah yang begitu lambat. "Nggak bakal selesai kalau begini," ucapnya lirih.Langkah lambat yang Chika lakukan saat ini bukanlah pilihan yang dia ambil. Beruntung satu minggu memiliki waktu istirahat di rumah membuat keadaannya jauh lebih baik dari sebelumnya. Ya, walau hari ini dia harus menggunakan kruk saat berjalan ke kelasnya sendiri. Dan masih beruntung juga, lantaran Dirga mau berangkat bersama. Hanya saja, hal yang baru dia dapati bukanlah kehendaknya.Dirga menggendongnya yang nyaris menjatuhkan kruk, membawa keduanya dengan langkah yang lebih cepat untuk tiba di tujuan. Kua
Satu hari telah dilewati oleh para murid di sekolah, dan tepat setelah adanya bel pertanda pulang, mereka berbondong-bondong untuk sekolah meninggalkan tempat mencari ilmu ini. Namun, Chika hanya bisa berdiam diri di tempat duduknya dengan rasa takut yang masih menyambangi diri.Gadis itu berhenti menggigit kuku ibu jarinya ketika bosan Dirga masih terus menempel kuat di kepala. Dia sampai mengabaikan tawaran bantuan dari teman sebangkunya."Chik," panggil Dirga.Respon gadis itu langsung kuat untuk menoleh ke arah Dirga yang berlari kecil menghampirinya. Dia juga seakan bisa mengambil banyak oksigen setelah laki-laki itu turut duduk di sebelahnya dengan raut wajah yang tak jauh berbeda. Secara kontan dia memegang tangan Dirga yang cukup untuk menghangatkan tangan dinginnya."Kita bahas di luar. Ayo, sekarang pulang, dan tolong bersikap biasa aja," perintah Dirga.Dirga menggendong Chika di belakang tubuhnya supaya mereka berdua bisa segera meninggalkan sekolah ini. Dan di belakang tu
Terdapat perubahan yang cukup jelas sejak beberapa hari lalu. Sesuatu yang hampir tidak pernah dilihat sebelumnya, seperti banyak diam dan melamun. Pun Dirga juga tak memiliki banyak keberanian untuk berbicara pada gadis itu. Belakangan ini, tugasnya memang hanya seperti mengantar-jemput Chika.Semilir angin yang menerbangkan tiap helai rambut Chika sama sekali tak mempengaruhi gadis itu untuk terus menatap danau di depannya. Ini salah satu bentuk syukur Dirga ketika gadis itu memintanya untuk diantar ke sebuah danau. Barangkali memang Chika bosan hanya melakukan kegiatan yang sama setiap harinya setelah hari itu."Dirga," panggil Chika untuk kali pertamanya. "Gimana kalau tiba-tiba gue masuk penjara?" tanyanya.Mendengar pertanyaan itu kontan membuat tolehan kepala Dirga terasa berat beriringan dengan rasa keterkejutan. Pandangannya langsung terarah pada pupil Chika yang terlihat adanya getaran putus asa. Dirga bertanya-tanya, jawaban apa yang ingin Chika dengar atas pertanyaannya ba
Ibu jari yang semula tampak cantik dan bersih kini berubah tidak beraturan usai digigit dengan begitu tak sabaran sembari menunggu kabar dari seseorang yang sangat dia percaya. Kedua maniknya terus diletakkan pada layar ponsel yang masih gelap. Sudah berkali-kali dia menyalakannya, barangkali Chika sempat melewatkannya. Hanya saja, sudah lebih dari dua puluh menit Dirga tak kunjung menghubunginya.Rasanya seperti kekurangan pasokan oksigen menantikan ponselnya menyala dengan sebuah pesan yang bertengger pada notifikasi. Ingin sekali dia mendatangi ruang pengawas guna menyaksikannya secara langsung."Dirga mana, sih?! Kok nggak ngehubungin gue?!"Giginya terus menggigit bibir bawahnya, salah satu kakinya terus bergerak gugup. Hingga menit ke tiga puluh, akhirnya dia mendapati pesan dari laki-laki itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Chika segera membuka pesannya, namun kedua alisnya langsung tertekuk bersamaan usai membaca pesan Dirga."Videonya kehapus? Kok bisa?"Chika terus bert