Bahkan hewan memiliki batas kesabarannya ketika diganggu oleh makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya. Namun, agaknya Dirga patut mendapat penghargaan karena kesabarannya yang tak ada habisnya. Entah seberapa banyak cercaan ayahnya yang diterima baik oleh rungunya perihal hal yang dia lakukan, Dirga masih tetap menganggap laki-laki itu sebagai seorang ayah.Satu tamparan keras yang dilayangkan pada pipi kirinya tak membuat Dirga mendongak dan membalas tatapan sang ayah. Alasannya cukup dan hanya satu yang membuat ayahnya berlaku sedemikian. Dengan ponsel ayahnya yang menampilkan balapan terakhirnya beberapa waktu lalu ditunjukkan pada Dirga."Masih balapan lagi?! Kamu mau bunuh diri ikutan olahraga gini, ha?!"Sebenarnya, bukan Dirga tak bisa membalas perkataan ayahnya perihal bagaimana dia bisa senang dan bahagia dengan pilihannya menjadi pembalap, hanya saja sang ayah tak mau tahu soal itu. Ayahnya selalu menganggap, jika balapan adalah olahraga yang hanya sedang mempertaruhkan nyawa
Saat akhirnya tiba di bengkel, Chika tengah memperhatikan motornya dari kejauhan seraya kedua tangan yang berusaha membuka kunci helm. Entahlah, maniknya terpaku kepada motornya yang ternyata baru saja disentuh oleh montir."Chik, lepas dulu helmnya,"Suara berat Dirga terdengar merangsak ke dalam rungunya, namun setiap pergerakannya langsung terhenti ketika kedua maniknya menangkap Dirga yang telah melepas helmnya. Maniknya mengerjap beberapa kali, dan secara mendadak gadis itu seperti mengalami sesak nafas.Potongan rambut laki-laki itu sukses membuatnya mematung. Pasalnya, sejak tadi dia tak memperhatikan bagaimana tampan—eh, rapinya rambut Dirga yang baru saja dipangkas. Rupanya itu juga mengubah tampilannya. Entahlah, Chika bahkan sulit mendeskripsikan apa yang dia lihat saat ini. Mendadak seluruh jarinya tak dapat digerakkan, sampai membuat Dirga turun tangan guna membuka helmnya."Kenapa, sih?" tanya Dirga lagi.Jari telunjuknya tampak bergerak acak dengan bibir yang sedikit te
Bermodalkan laptop yang dia bawa dari rumah dan flashdisk yang diberikan Dimas, gadis itu meletakkan seluruh fokusnya. Tangan dan otaknya bekerja sama dalam menyusun rencana yang lebih rapi. Dengan sedikit bantuan yang diberikan Dirga kala itu, juga ia cantumkan dalam susunan rencana tersebut.Manik hitam dengan kilauan cantiknya itu beberapa kali menyipit ketika Dimas tengah meretas beberapa sistem yang mereka butuhkan. Memang, dalam urusan ini hanya Dimas yang bisa dia andalkan dalam sekelebat pikiran."Gue pikir, lo bakal ngelupain rencana ini," kata Dimas tanpa memalingkan wajah.Tangan yang terlipat di depan dada, dan kaki yang bertumpu membuat Chika merasa begitu rileks setelah dia akhirnya mendapatkan waktu luangnya. Mungkin memang begitu yang dipikirkan Dimas, namun pada kenyataannya hampir setiap malam Chika selalu memikirkan rencana yang harus dia lakukan dengan tuntas. Lantas dengan satu hembusan nafas yang keluar, dia berkata."Kalau gue lupain, yang ada bokap gue nggak be
Dirga baru saja meletakkan motornya di depan rumah, pribadi itu juga ingin meletakkan penat tubuh dan peningnya kepala setelah beberapa jam mengerjakan soal ujian. Pasti menyenangkan hal yang sudah terbayang dalam angannya. Bahkan, tepat setelah helmnya diletakkan nyaman pada tangki bensin, Dirga mulai meregangkan otot tangan dan punggungnya dengan sedikit erangan.Tangannya menarik kunci motor, lantas membawa langkahnya memijak anak tangga pertama pada teras rumah. Namun, atensinya teralihkan saat melihat tetangganya tampak terburu mengunci pintu rumah sampai benda tersebut jatuh ke lantai."Tante, mau kemana?" tanya Dirga."Ke klinik, Chika kecelakaan," ucap ibunda Chika.Bagaikan sebuah satu amunisi yang ditembakkan hingga menembus dadanya, jantungnya menyebarkan rasa panas ke sekujur tubuh. Maniknya terbelalak, serta bibir yang sedikit terbuka karena terkejut mendengar kabar tersebut. "Tante, saya ikut!" kata Dirga yang membatalkan niatannya untuk masuk ke dalam rumah.Pikiran ya
"Makasih, udah ngurus motor Chika,"Ditengah-tengah keadaan langit yang tampak menimbang untuk menumpahkan atau menghilangkan hasil penguapan air laut itu, Dimas menoleh mendapati suara yang menyambangi indera pendengarannya. Tubuh yang semula membungkuk melihat bagian dalam motor Chika, seketika ditegakkan bersamaan dengan berkacak pinggang sebagai bentuk sambutan.Wajah angkuh Dimas berhadapan dengan air muka tenang yang dibawa Dirga dalam jaraknya. Cukup mengejutkan menerima tamu tak diundang dengan balutan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuhnya."Di sini nggak buka tempat les," kata Dimas.Salah satu sudut Dirga terangkat, seakan tergelitik dengan kalimat yang baru saja mengudara. "Gue cuma mau ngambil motor Chika," katanya seraya mengeluarkan tangan dari kedua saku celananya.Tangannya dia letakkan pada motor tepat di sebelahnya, sedangkan satunya lagi dia letakkan di atas pinggang. Tatapannya lurus ke arah Dimas yang sedari tadi masih setia dengan posisinya. Dengan sua
Dirga tahu, setiap keberuntungan itu datangnya tidak setiap hari. Barangkali mereka juga memiliki tanggal yang telah terjadwal rapi untuk menghampirinya. Namun, disaat setiap rentetan angka dan formula yang tercetak di atas kertas itu memusingkannya, Dirga mendadak membutuhkan keberuntungannya. Tidak bisakah mereka datang lebih awal dari yang dijadwalkan? Keadaan Dirga begitu darurat sampai semua bulir-bulir keringat keluar dari pori-pori.Padahal, dia sangat begitu yakin telah mempelajari rumus-rumus yang sebelumnya cukup mudah untuk bisa dia selesaikan. Hanya saja, sesuatu yang tercampur secara berlebihan di dalam pikirannya ini justru mengacaukannya.Tepat setelah keluar dari kamar Chika, secara mendadak ibunda Chika menarik lengannya sampai ke halaman belakang rumah. Hal yang membuatnya bingung itu justru mengejutkannya, sampai butuh waktu beberapa detik untuk jantungnya berdekat kembali ketika diajak mengobrol."Tante sedikit dengar apa yang kamu dan Chika bicarakan. Tapi, maksud
"Dirga, pengen burger,"Itu adalah permintaan yang lolos dari mulut Chika ketika dia hanya melihat Dirga berkutat dengan buku-buku pelajaran di ruang tamu rumahnya. Butuh waktu lama untuk mengajukan permintaan itu setelah bergelut dengan pemikirannya lantaran tak ingin mengganggu waktu belajar pribadi itu. Namun, keinginannya tak mampu Chika pendam lebih lama lagi sampai pada akhirnya mengalihkan atensi Dirga dari buku sainsnya.Tanpa menolehkan kepala, Dirga menyambar ponsel yang diletakkan di sebelah tasnya guna membuka aplikasi pesan antar. Dia menyerahkan ponselnya pada gadis itu, membiarkannya memilih apa yang ingin dimasukkan kedalam saluran pencernaannya."Lo mau yang ukuran apa?" tanya Chika."Samain aja nggak apa-apa,"Gadis itu paham, dan tentunya juga langsung melakukan pembayaran dengan menggunakan saldo laki-laki itu. Dalam hati berkata, ada bagusnya ketika Dirga memilih untuk belajar di rumahnya—kendati tak ada hubungannya dengan dirinya yang hanya sebatas adik kelas.Di
Bentangan cakrawala sore hari ini menampilkan semburat jingga yang mampu menarik banyak orang untuk tenggelam pada perasaan tenang dan damai. Seorang laki-laki yang tampak menenteng tas selempang milik gadis terkasihnya itu tak bisa berhenti melepas senyumnya ketika menyaksikan bagaimana tenangnya wajah sang gadis yang tertutup rapat dengan seutas senyuman. Dia menikmati kehidupannya yang terasa begitu damai sembari menyerap energi baik dari lingkungannya."Ternyata begini ya, hidup tenang tanpa adanya masalah," kata sang gadis."Ketenangan dalam kehidupan itu salah satu kebahagiaan yang nggak bisa diukir maupun dibayar dengan apapun," balas sang laki-laki yang turut duduk bersebelahan dengan sang kekasih. "Cukup jalanin pagi dengan minuman hangat dan sepotong roti, menghirup udara pagi. Seperti itu salah satu ketenangan dan kedamaiannya," imbuhnya.Laki-laki itu juga tak bisa membuang pemandangan indah langit sore ini. Dia merasakan bagaimana sebelah tangannya dirangkul begitu kuat o