Share

3. Curahan Ringan

Chika masih diam di tempatnya, merasakan sedikitnya buliran air yang mengenai mata. Maniknya bergerak pada tangan Dirga lainnya yang terulur untuknya. Lantas salah satu tangan gadis itu bergerak menerima uluran tangan Dirga. Namun, saat dia telah merasakan kekuatan laki-laki itu, Chika justru menariknya. Bukan hanya payung, tetapi Dirga juga jatuh tepat di sebelah gadis itu.

"Akh!" rintih Dirga.

Sikunya adalah yang pertama mengenai tanah, pun payung tersebut juga jatuh dalam keadaan terbalik. Dan secara tiba-tiba, Chika memukul salah satu lengan Dirga.

"Ngapain ke sini? Mau ngeledek gue?!" tanya Chika dengan nada suara kesalnya.

"Ck," Dirga berdecak ringan, seolah tak setuju dengan perkataan tersebut. "Seburuk itu pikiran lo," dia menjeda kalimatnya, mengusap wajahnya yang penuh dengan air. "Gue ke sini mau nolongin lo," pungkasnya.

Hanya hening yang ada diantara keduanya, hanya suara derasnya hujan yang merangsak indera pendengarannya. Chika menarik nafasnya panjang saat terlarut suasana bersama dengan Dirga di sebelahnya. Dirinya melirik singkat sebelum membuka suaranya.

"Bokap gue narapidana," kata Chika secara mendadak.

Detik itu juga Dirga mematung usai mendengarnya. Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa, bahkan hanya sekedar melirik pun tak bisa dia lakukan.

"Orang yang terpidana, berarti narapidana, 'kan? Lucunya—"

"Mau berapa lama kita di sini? Semakin dingin," Dirga menyela perkataan Chika.

Pribadi itu langsung bangkit dan mengulurkan tangannya guna membantu Chika untuk berdiri. Pun akhirnya Dirga sukses mengajak gadis itu untuk pulang—sekaligus menghentikan kesedihan Chika.

Hendak mengambil payung, Chika mendengus disertai dengan senyuman miring ketika melihat payung Dirga telah terisi oleh air hujan. Sedangkan pemiliknya hanya mematung dengan bibir yang sedikit terbuka—tercengang. Lantas diangkatnya payung tersebut hingga seluruh air tumpah sebelum dia bawa. Dirga tak akan menggunakannya.

Dengan sisa hujan yang ada, mereka sudah tak memikirkan sebasah apa tubuh dan pakaian saat ini. Namun, ketika keduanya telah menginjak pelataran rumah, Chika langsung bergegas mengambil seluruh pakaiannya yang basah.

"Gue lupa kalau punya baju di jemuran," kata Chika yang terdengar cukup panik.

Dirga yang berdiri di depan rumah gadis itu menunjuk ember yang dia ingat jelas diletakkan di teras. "Maaf, gue cuma nyelamatin yang di ember,"

Ekspresi Chika mendadak berubah saat seseorang datang. Menarik perhatian Dirga untuk melihat siapa sosok yang membuat Chika begitu. Dirga hanya bisa menyapa ringan kala presensi ibunda Chika telah berdiri di sana. Dan detik berikutnya, terdengar suara gebrakan pintu ketika Chika masuk.

"Dirga, makasih udah bawa Chika pulang. Cepet mandi, biar nggak sakit," tutur ibunda Chika.

"Iya, tante," balas Dirga.

Di dalam rumah, Chika kembali membawa pakaiannya yang kehujanan untuk dicuci ulang. Gadis itu benar-benar mengabaikan ibunya yang memperhatikan seluruh pergerakannya. Kendati dia menyadari hal ini tidak seharusnya terjadi.

Pasalnya, seluruh kalimat ibunya benar-benar membuat Chika sakit hati. Sang ibu terlanjur membenci ayahnya, lantaran rasa kecewa yang dirasakan saat itu. Bahkan dia mendiami ibunya sampai beberapa hari setelahnya. Dan selama itu juga Chika tak pernah menyentuh apa yang dimasak oleh sang ibu.

"Chika, makan dulu," kata sang ibu saat melihat putrinya yang hendak pergi.

Seakan angin yang lewat, Chika mengabaikan perkataan ibunya. Gadis itu tetap melangkah keluar meninggalkan rumahnya. Tujuannya hari ini adalah menemui Dimas karena ada hal yang dia perlukan di sana.

Ekspresi yang terpasang di wajahnya saat ini cukup menjelaskan bagaimana seriusnya Chika ketika melangkah ke dalam rumah Dimas. Duduk berhadapan dengan temannya itu sebelum berujar.

"Beberapa hari lagi, kita mulai jalanin rencana," katanya.

Dimas hanya diam seraya mendengarkan perkataan temannya itu. Sampai-sampai membuat Chika menoleh ke arahnya.

"Iya, gue denger, kok," kata Dimas.

"Oh iya, sekalian tolong siapin uang buat bayar gucinya. Gue udah dikabarin mereka," ujar Chika lagi yang langsung diangguki oleh Dimas.

Suasana kembali hening, Chika masih terfokus dengan layar tabletnya. Sedangkan Dimas hanya memperhatikan gadis itu dengan kedua tangan di depan tubuh. Dia terlihat gugup saat memainkan jari-jarinya. Namun, laki-laki itu memberanikan diri untuk bersuara.

"Lo lagi ada masalah?" tanya Dimas.

Pertanyaan itu mengejutkan Chika, hingga membuat tubuhnya seakan membeku. Pandangannya tak beralih dalam beberapa detik, lantas gadis itu menatap Dimas dengan wajah datarnya. "Emang kelihatan, ya?"

Sempat merasa takut jika Chika akan tersinggung, justru reaksinya ini membuat Dimas menarik senyuman miringnya. "Sedikit," jawab Dimas.

"Ah, masalah kecil, kok,"

Entah kenapa, Dimas sedikit merasa kecewa saat Chika hanya memberikan jawaban seperti itu. Apalagi ketika melihat temannya itu duduk di lapangan bersama seseorang yang tidak dia kenal dengan hujan deras yang membasahi mereka. Pemandangan itu justru terlihat lebih dalam daripada yang Dimas lihat sendiri.

"Terus, kenapa waktu itu lo hujan-hujanan? Dan siapa yang ada di sebelah lo,"

Paham kemana arah pembicaraan Dimas, Chika hanya tersenyum tipis sebelum menjawabnya. "Dia tetangga gue. Dan dia orang yang tau kalau gue penipu. Ini semua gara-gara rasa penasaran lo waktu kita makan bareng. Ternyata dia ada di sana juga," gadis itu menghela nafasnya saat mengingat kembali hal yang membuatnya kesal. "Gue nggak bisa ngehindar, karena harus ngabulin permintaannya dia sebagai gantinya," jelasnya.

"Dia cuma mau manfaatin lo,"

"Iya, gue juga tau soal itu. Tapi, masalahnya dia tetangga gue. Nggak gampang buat dihindarin,"

Chika menghela nafasnya, pasalnya beban yang ia bawa saat ini sangat melelahkan baginya. Namun, semua ini baru dimulai, belum ada separuh jalan. Maniknya terpejam singkat sebelum akhirnya dari berdiri, berniat untuk pergi.

Baru beberapa langkah dari pintu, Dimas menghentikan langkah gadis itu dengan kabar yang ia dapatkan kemarin.

"Bokap lo sakit,"

Chika terdiam, mendengar Dimas membahas ayahnya membuat Chika teringat masalah dengan ibunya kemarin. Tapi, ini soal kesehatan sang ayah, yang mana membuatnya bimbang.

"Harusnya lo dateng ke sana. Tanyain kabarnya," kata Dimas yang hanya melihat punggung Chika. "Sampai sekarang, dia masih dapet kecaman dari orang-orang. Nggak ada yang bisa dia ajak ngomong, nggak ada satupun yang bisa dia percaya. Cuma lo satu-satunya harapan besar buat bokap lo sendiri. Sebentar aja," tutur Dimas.

Semakin terdiam lebih lama, gadis itu sampai mengepalkan kedua tangannya. Dia benar-benar dilanda kebingungan mendapat kabar ayahnya yang sakit. Lantas Chika menoleh sekilas ke arah Dimas sebelum kembali membawa tungkainya pergi.

Laki-laki itu melihat Chika yang telah menjauh dari rumahnya. Dirinya masih berada di depan pintu seraya merasakan posisinya sebagai Chika. "Seharusnya, bukan lo yang balas dendam ke mereka. Tapi lo lakuin demi ngerinanin hukuman bokap lo," gumamnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status