Chika masih diam di tempatnya, merasakan sedikitnya buliran air yang mengenai mata. Maniknya bergerak pada tangan Dirga lainnya yang terulur untuknya. Lantas salah satu tangan gadis itu bergerak menerima uluran tangan Dirga. Namun, saat dia telah merasakan kekuatan laki-laki itu, Chika justru menariknya. Bukan hanya payung, tetapi Dirga juga jatuh tepat di sebelah gadis itu.
"Akh!" rintih Dirga.Sikunya adalah yang pertama mengenai tanah, pun payung tersebut juga jatuh dalam keadaan terbalik. Dan secara tiba-tiba, Chika memukul salah satu lengan Dirga."Ngapain ke sini? Mau ngeledek gue?!" tanya Chika dengan nada suara kesalnya."Ck," Dirga berdecak ringan, seolah tak setuju dengan perkataan tersebut. "Seburuk itu pikiran lo," dia menjeda kalimatnya, mengusap wajahnya yang penuh dengan air. "Gue ke sini mau nolongin lo," pungkasnya.Hanya hening yang ada diantara keduanya, hanya suara derasnya hujan yang merangsak indera pendengarannya. Chika menarik nafasnya panjang saat terlarut suasana bersama dengan Dirga di sebelahnya. Dirinya melirik singkat sebelum membuka suaranya."Bokap gue narapidana," kata Chika secara mendadak.Detik itu juga Dirga mematung usai mendengarnya. Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa, bahkan hanya sekedar melirik pun tak bisa dia lakukan."Orang yang terpidana, berarti narapidana, 'kan? Lucunya—""Mau berapa lama kita di sini? Semakin dingin," Dirga menyela perkataan Chika.Pribadi itu langsung bangkit dan mengulurkan tangannya guna membantu Chika untuk berdiri. Pun akhirnya Dirga sukses mengajak gadis itu untuk pulang—sekaligus menghentikan kesedihan Chika.Hendak mengambil payung, Chika mendengus disertai dengan senyuman miring ketika melihat payung Dirga telah terisi oleh air hujan. Sedangkan pemiliknya hanya mematung dengan bibir yang sedikit terbuka—tercengang. Lantas diangkatnya payung tersebut hingga seluruh air tumpah sebelum dia bawa. Dirga tak akan menggunakannya.Dengan sisa hujan yang ada, mereka sudah tak memikirkan sebasah apa tubuh dan pakaian saat ini. Namun, ketika keduanya telah menginjak pelataran rumah, Chika langsung bergegas mengambil seluruh pakaiannya yang basah."Gue lupa kalau punya baju di jemuran," kata Chika yang terdengar cukup panik.Dirga yang berdiri di depan rumah gadis itu menunjuk ember yang dia ingat jelas diletakkan di teras. "Maaf, gue cuma nyelamatin yang di ember,"Ekspresi Chika mendadak berubah saat seseorang datang. Menarik perhatian Dirga untuk melihat siapa sosok yang membuat Chika begitu. Dirga hanya bisa menyapa ringan kala presensi ibunda Chika telah berdiri di sana. Dan detik berikutnya, terdengar suara gebrakan pintu ketika Chika masuk."Dirga, makasih udah bawa Chika pulang. Cepet mandi, biar nggak sakit," tutur ibunda Chika."Iya, tante," balas Dirga.Di dalam rumah, Chika kembali membawa pakaiannya yang kehujanan untuk dicuci ulang. Gadis itu benar-benar mengabaikan ibunya yang memperhatikan seluruh pergerakannya. Kendati dia menyadari hal ini tidak seharusnya terjadi.Pasalnya, seluruh kalimat ibunya benar-benar membuat Chika sakit hati. Sang ibu terlanjur membenci ayahnya, lantaran rasa kecewa yang dirasakan saat itu. Bahkan dia mendiami ibunya sampai beberapa hari setelahnya. Dan selama itu juga Chika tak pernah menyentuh apa yang dimasak oleh sang ibu."Chika, makan dulu," kata sang ibu saat melihat putrinya yang hendak pergi.Seakan angin yang lewat, Chika mengabaikan perkataan ibunya. Gadis itu tetap melangkah keluar meninggalkan rumahnya. Tujuannya hari ini adalah menemui Dimas karena ada hal yang dia perlukan di sana.Ekspresi yang terpasang di wajahnya saat ini cukup menjelaskan bagaimana seriusnya Chika ketika melangkah ke dalam rumah Dimas. Duduk berhadapan dengan temannya itu sebelum berujar."Beberapa hari lagi, kita mulai jalanin rencana," katanya.Dimas hanya diam seraya mendengarkan perkataan temannya itu. Sampai-sampai membuat Chika menoleh ke arahnya."Iya, gue denger, kok," kata Dimas."Oh iya, sekalian tolong siapin uang buat bayar gucinya. Gue udah dikabarin mereka," ujar Chika lagi yang langsung diangguki oleh Dimas.Suasana kembali hening, Chika masih terfokus dengan layar tabletnya. Sedangkan Dimas hanya memperhatikan gadis itu dengan kedua tangan di depan tubuh. Dia terlihat gugup saat memainkan jari-jarinya. Namun, laki-laki itu memberanikan diri untuk bersuara."Lo lagi ada masalah?" tanya Dimas.Pertanyaan itu mengejutkan Chika, hingga membuat tubuhnya seakan membeku. Pandangannya tak beralih dalam beberapa detik, lantas gadis itu menatap Dimas dengan wajah datarnya. "Emang kelihatan, ya?"Sempat merasa takut jika Chika akan tersinggung, justru reaksinya ini membuat Dimas menarik senyuman miringnya. "Sedikit," jawab Dimas."Ah, masalah kecil, kok,"Entah kenapa, Dimas sedikit merasa kecewa saat Chika hanya memberikan jawaban seperti itu. Apalagi ketika melihat temannya itu duduk di lapangan bersama seseorang yang tidak dia kenal dengan hujan deras yang membasahi mereka. Pemandangan itu justru terlihat lebih dalam daripada yang Dimas lihat sendiri."Terus, kenapa waktu itu lo hujan-hujanan? Dan siapa yang ada di sebelah lo,"Paham kemana arah pembicaraan Dimas, Chika hanya tersenyum tipis sebelum menjawabnya. "Dia tetangga gue. Dan dia orang yang tau kalau gue penipu. Ini semua gara-gara rasa penasaran lo waktu kita makan bareng. Ternyata dia ada di sana juga," gadis itu menghela nafasnya saat mengingat kembali hal yang membuatnya kesal. "Gue nggak bisa ngehindar, karena harus ngabulin permintaannya dia sebagai gantinya," jelasnya."Dia cuma mau manfaatin lo,""Iya, gue juga tau soal itu. Tapi, masalahnya dia tetangga gue. Nggak gampang buat dihindarin,"Chika menghela nafasnya, pasalnya beban yang ia bawa saat ini sangat melelahkan baginya. Namun, semua ini baru dimulai, belum ada separuh jalan. Maniknya terpejam singkat sebelum akhirnya dari berdiri, berniat untuk pergi.Baru beberapa langkah dari pintu, Dimas menghentikan langkah gadis itu dengan kabar yang ia dapatkan kemarin."Bokap lo sakit,"Chika terdiam, mendengar Dimas membahas ayahnya membuat Chika teringat masalah dengan ibunya kemarin. Tapi, ini soal kesehatan sang ayah, yang mana membuatnya bimbang."Harusnya lo dateng ke sana. Tanyain kabarnya," kata Dimas yang hanya melihat punggung Chika. "Sampai sekarang, dia masih dapet kecaman dari orang-orang. Nggak ada yang bisa dia ajak ngomong, nggak ada satupun yang bisa dia percaya. Cuma lo satu-satunya harapan besar buat bokap lo sendiri. Sebentar aja," tutur Dimas.Semakin terdiam lebih lama, gadis itu sampai mengepalkan kedua tangannya. Dia benar-benar dilanda kebingungan mendapat kabar ayahnya yang sakit. Lantas Chika menoleh sekilas ke arah Dimas sebelum kembali membawa tungkainya pergi.Laki-laki itu melihat Chika yang telah menjauh dari rumahnya. Dirinya masih berada di depan pintu seraya merasakan posisinya sebagai Chika. "Seharusnya, bukan lo yang balas dendam ke mereka. Tapi lo lakuin demi ngerinanin hukuman bokap lo," gumamnya.Seorang wanita baru saja keluar dari mobilnya, memberikan kunci mobil pada petugas valet sebelum memasuki pintu utama hotel. Kedua tungkai bersepatu tinggi berwarna merah marun itu melangkah pada sebuah private room yang menjadi tempat untuknya bertemu dengan seseorang."Selamat malam,"Guna menyambut kedatangan tamunya, seorang wanita muda yang menyamar menjadi pemilik barang antik itu berdiri memberikan sapaan lebih dulu sebelum memulai obrolan mereka. Sedikit berbasa-basi memang diperlukan untuk saat ini, menghilangkan sedikit rasa canggung yang barangkali hadir."Bagaimana kalau kita langsung ke intinya saja?" tanya wanita yang akan menjadi pembeli itu.Sebuah kardus berbentuk balok itu dia angkat dari bawah meja, menunjukkan secara langsung barang yang menjadi inti dari pertemuan ini. Dengan pelan sebuah guci berwarna putih keluar dari kardus tersebut, tak lupa masing-masing tangan dari pemilik dan pembeli itu mengenakan sarung tangan, menghindari sidik jari yang akan menempel.T
Terdengar suara ujung pena yang bergesekan dengan permukaan kertas, membuat goresan tak beraturan. Semua itu karena seorang gadis yang tak mampu meletakkan fokusnya saat ini. Pandangannya kabur dan pikirannya berada di tempat lain. Helaan nafasnya terbuang cukup panjang, dia kembali menegakkan tubuh setelahnya."Ya ampun! Ngapain sih, gue?!" kejutnya saat melihat buku catatannya yang dia coret-coret.Dia hanya menatap meja belajarnya beberapa detik sebelum sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan segera gadis itu mengganti pakaiannya dan pergi membawa tas selempangnya. "Ma, keluar dulu. Mau beli perlengkapan sekolah," ucapnya tanpa menemui ibunya.Menggunakan transportasi umum, gadis itu menutup kedua telinganya dengan musik sebagai hiburannya selama dalam perjalanan. Melihat keluar jendela, membuat Chika merasa sedikit tenang. Pasalnya, ini pertama kalinya dia lakukan sendirian saat akan pergi menjenguk ayahnya. Iya, dia akan datang ke lapas.Memang sengaja menggunakan alasan lain, l
Pagi yang cerah menjadi awal dari pagi seluruh siswa dan siswi yang akan memulai hari mereka di sekolah. Namun, tak seberapa penting cerahnya hari ini, Dirga keluar dari rumahnya dengan tatapan agak sayu saat melihat Chika yang telah pergi meninggalkan rumah."Lagi," ucap Dirga.Tak lama, laki-laki itu juga keluar dari rumahnya. Entah kenapa, setelah hari itu Chika selalu menjauh darinya. Bahkan, saat pergi tadi, gadis itu tak melihat ke arahnya sedikitpun.Dua puluh menit berlalu, Dirga telah tiba di sekolahnya. Dia berjalan usai memarkirkan motor, dengan melihat tiap papan kelas, laki-laki itu mencari kelasnya. Hanya saja, kedua tungkainya terhenti saat dia bertemu dengan Chika di depan kelas. Dan tetap, Chika memalingkan wajahnya dengan melangkah masuk.Bukan hanya Dirga, tetapi Chika juga terkejut dengan keberadaan Dirga di sekolahnya. "Kok dia di sini?" tanyanya dalam hati.Dia bahkan tak berani menatap keluar kelas, menunggu beberapa menit sebelum akhirnya dia berbicara dengan t
Dengan langkah yang begitu tegas, Dimas berjalan menghampiri seseorang di seberang jalan. Tanpa ragu dia melayangkan sebuah pukulan pada presensi tersebut. Dia juga menarik kuat kerah pakaiannya, serta dengan tatapan yang menyalang."Apa lagi mau lo!? Belom cukup manfaatin Chika?!"Dirga yang tengah berada di depan minimarket itu cukup terkejut dengan pukulan yang ia dapatkan barusan. Laki-laki itu sama sekali tak bereaksi saat melihat siapa yang memukulnya. Iya, tentu saja Dirga mengenalnya. Bahkan, dirinya masih membiarkan Dimas menarik kerah bajunya."Perasaan suka gue, bukan gue yang minta. Itu dateng dengan sendirinya," jawab Dirga.Cengkeraman kerahnya semakin kuat, menandakan emosi Dimas yang semakin meluap. Keduanya juga saking melempar tatapan tajam, terlihat seperti akan memangsa satu sama lain. Hingga akhirnya Dimas melepas cengkeraman tangannya, menghempaskan tubuh Dirga."Apa yang gua lakuin ke dia, tujuan gue cuma bantu dia," Dirga menjeda kalimatnya, rahangnya menegas s
Chika mengerjap beberapa kali selepas mendengar pertanyaan itu. Guratan tipis di wajah Dimas seakan menjelaskan keseriusannya."Jelas gue mikirin perasaan lo. Gue juga yakin, kalau lo bisa ngehindar dari hukuman," kata gadis itu.Beberapa detik tak ada jawaban, Dimas menganggukkan kepalanya. "Iya, gue emang bisa menghindar," jawab Dimas sekenanya.Bisa dikatakan, jawaban Dimas barusan adalah jawaban sebagai pihak yang mengalah. Enggan untuk memulai perdebatan yang terasa sia-sia—untuk saat ini. Pun dengan senyuman singkatnya, Dimas menerima situasi yang dia dapatkan.* * *Kehidupan Chika saat ini terasa jauh lebih baik. Pasalnya, usai dia mengatakan apa yang mengganjal dalam hatinya, gadis itu kembali bersikap seperti sebelumnya. Bahkan, sekalipun berada di rumah, Chika tetaplah gadis yang ceria. Apalagi saat berada di sekolah, bertemu dengan Dirga bukanlah masalah lagi."Hai,"Itu adalah sapaannya pada kakak kelas sekaligus tetangganya untuk pertama kalinya disertai salah satu telapa
Sebuah buku catatan yang tertumpuk banyaknya buku pelajaran baru saja ditarik Chika. Peletakkannya di sana memang dia sengaja untuk menghindari sang ibu menyentuhnya. Kini ia berjalan ke meja belajarnya, membuka buku tersebut pada halaman yang telah dia beri batas. Nafasnya terbuang cukup panjang melihat profil seseorang."Kurang ajar apa nggak, ya? Dia yang paling tua," bimbangnya.Chika menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tatapan ragu. Dia banyak mendesis ketika berusaha menggunakan otaknya. Pun dengan decakan kecil, Chika mengambil selembar kertas kosong untuk membuat skema awal.Tak peduli jika dia telah masuk tahun pelajaran, prioritas Chika terhadap balas dendamnya ini tetap berjalan. Lagipula, siapa yang bisa melihat orang tua yang tidak bersalah tapi dijebak dan dijerumuskan ke dalam penjara? Jika memang hukum lemah terhadap orang-orang kuat, maka Chika sendiri yang akan membuat orang-orang tersebut lemah.Keningnya mulai basah, lantaran dia menumpahkan seluruh fokusnya
Tunggu! Bagaimana Chika harus menafsirkan situasi saat ini? Atau mungkin indera pendengarannya terganggu?"Kencan?"Dirga menganggukkan kepalanya sebelum kembali bertanya. "Mau, nggak?"Sempat terbata, Chika justru mendorong tubuh Dirga. Dia juga tertawa canggung, seakan perkataan Dirga adalah lelucon belaka."Lo sendiri juga bilang tadi, seharusnya gue ngajak lo kalau mau dateng ke sini. Dan lo udah di sini," tutur Dirga."I-itu.."Chika sungguh gugup dan gagap saat ingin memberikan pembelaan. Bahkan, bisa dikatakan jika Chika tak bisa membela dirinya sendiri, lantaran dia mengakui apa yang dikatakan Dirga. Dia hanya bisa mengerjapkan maniknya, sesekali melirik ke arah Dirga yang masih menunggu jawabannya.Isi kepala gadis itu hanya ada dua jawaban yang harus dia pilih salah satunya. Namun, di sanalah letak masalahnya, Chika tak tahu harus memilih satu diantara keduanya."Itu berarti lo mau," kata Dirga yang langsung menarik pergelangan tangan Chika.Tanpa perlawanan, Chika juga hany
Sebuah lembar kertas yang tergulung tengah dibuka oleh pemiliknya. Di sana menampilkan adanya rencana untuk target mereka berikutnya. Di hadapan Chika, terdapat teman yang selalu ikut ambil bagian dalam setiap rencana.Keduanya tampak begitu sibuk, dengan apa yang Chika jelaskan. Dimas sendiri juga benar-benar meletakkan seluruh fokusnya untuk memahami setiap kata dan kalimat yang Chika ucapkan. Bahkan gerakan tangan gadis itu juga memberikan penjelasan lebihnya."Kemungkinan, yang ini bakal makan waktu lebih lama. Prosesnya nggak bisa cepet. Inipun udah paling cepet," tutur Chika."Kenapa gitu?"Chika melipat kedua tangannya, lantas menyandarkan tubuhnya dengan helaan nafas panjang. "Dia bukan orang yang gampang ditipu," jawabnya. Lantas menekuk alisnya sebelum kembali berbicara. "Penjagaannya juga agak ketat,"Dua penipu itu terdiam, dengan Chika yang masih menggunakan otaknya. Kedua manik gadis itu kembali menatap skemanya, tangannya bermain dengan pulpen yang dia benturkan ke waja