Share

2. Retak

"Lima permintaan, gimana?"

Chika terdiam seraya memandang salah satu tangan Dirga yang terulur. Lantas pandangannya terangkat, menatap tepat ke arah obsidian Dirga dengan tatapan menyalang.

"Lo cuma mau manfaatin gue. Cuma karena gue mau lo tutup mulut, lo ngelunjak!!" balas Chika dengan kekesalannya.

Dirga mengerjapkan maniknya lantaran terkejut dengan ucapan Chika yang terdengar serius. Dia sempat tak mampu berbicara, kehabisan seluruh kalimatnya. Mencoba untuk berpikir ulang, laki-laki itu akhirnya merubah permintaannya itu.

"Kalau gitu tiga permintaan," jedanya, dia mengambil satu langkah mendekat sebelum kembali bersuara. "Tiga itu udah sedikit banget, apalagi buat rahasia besar lo," kata Dirga dengan suara yang lirih.

Mendengar perubahan itu kembali membuat Chika terdiam sembari berpikir. Dengan tatapan tajamnya yang tak terputus dari Dirga, akhirnya menyetujui permintaan itu. Dia juga akui, jika memang rahasianya itu sangatlah besar, dan memang saat ini ketenangannya telah terusik lantaran adanya seseorang yang mengetahui rahasia itu.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Chika langsung membawa dirinya masuk ke dalam rumahnya. Dia membanting diri di atas sofa dengan wajah kusut. Helaan nafasnya terbuang begitu saja, begitu sulit meluapkan kemarahannya. Bahkan, pikirannya terasa sulit bekerja untuk menyingkirkan tetangganya sendiri.

Dari sebelah kiri, Chika melihat sang ibu yang keluar dengan membawa beberapa kantong plastik. Wanita itu menghampiri Chika yang masih ada di ruang tamu. Lantas menyerahkan satu kantong tersebut ke arah putrinya.

"Kasih ke ibunya Dirga," kata sang ibu.

Pupilnya melebar lantaran terkejut dengan perintah ibunya barusan. Sang ibu menyuruhnya untuk memberikan bingkisan pada tetangga barunya itu, yang mana baru beberapa menit lalu Chika berhadapan dengan Dirga, dan dibuat kesal oleh laki-laki itu.

"Kenapa aku? Mama kan bisa ke sana sebentar," kata Chika yang mencoba untuk mengindar.

"Mama juga mau ngasih bingkisan ke tetangga lainnya," balas ibunya seraya menunjukkan kantong lainnya. "Cuma sebentar, nggak nyampe lima menit juga selesai," imbuh sang ibu.

Pun dengan desahan berat, Chika menerima dengan terpaksa perintah ibunya itu. Dia kembali melangkah keluar guna mengantarkan bingkisan yang berasal dari ibunya ini. Namun, langkahnya berhenti di teras rumah, pandangannya terarah pada rumah tetangganya itu. Dengan wajah tertekuk, Chika kembali melangkah.

"Baik banget, sih, nyokap gue! Segala ngasih bingkisan ke tetangga!" racaunya.

Sampai akhirnya Chika berdiri tepat di depan rumah Dirga, gadis itu segera mengetuk pintu rumah, menunggu hingga pemiliknya keluar. Hanya saja, Chika membuang muka dengan manik yang merotasi jengah.

"Apa ini? Sogokan?"

Dirga menerima bingkisan yang diberikan Chika. Senyumannya tak luntur dengan mudah kala melihat gadis di depannya itu terlihat kesal. Ya, Dirga tahu apa penyebabnya. Namun, Chika langsung pergi begitu saja, membuat Dirga merasa jika hal ini semakin lucu.

Hal ini tidak berlangsung sebentar, bahkan sampai hari berganti Dirga selalu memasang raut wajah yang sama tiap kali bertemu dengan Chika. Dan Chika juga selalu memasang air muka yang sama. Begitu menyenangkan jika ia rasakan.

Seperti saat ini, ketika Dirga tengah mencuci motornya, tetangganya itu keluar dengan membawa ember berisi cucian yang akan dijemur. Keduanya sempat bertukar pandang, sampai membuat Chika hampir membatalkan niatannya untuk menjemur pakaian.

"Kalau lo pasang muka begitu, ngebuat gue semakin inget kejadian kemarin," kata Dirga yang sengaja menggoda Chika, dengan sedikit tawa.

Dan Chika berusaha untuk mengabaikannya, ia tak ingin sesuatu yang lebih buruk malah terjadi. Biarlah Chika akan menahannya sementara waktu, semuanya akan berlalu. Dirga juga pasti akan bosan melakukannya. Akan tetapi..

"CHIKA..!!"

Gadis itu terkejut saat sang ibu memanggilnya dengan nada tinggi. Dia segera masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai. Namun, sampai di ruang tamu Chika mematung ketika melihat ibunya memegang surat dari sang ayah.

"Kenapa ada surat ini?! Siapa yang ngirim?!"

Chika tak menjawab, dia menurunkan pandangannya lantaran sulit untuk memberikan jawaban pada sang ibu.

"Atau kamu yang datang ke sana?!" ibunya berdecak kesal dengan surat yang semakin lecek di tangannya. "Berani banget kamu datang ke orang itu. Apa yang bisa diharapin? Dia jahat sama kita, tapi kamu malah nyimpen surat dari dia!"

"Isinya buat aku, kok. Bukan buat Mama," balas Chika.

Terdengar suara sang ibu mendengus kasar. Seakan apa yang dikatakan putrinya itu hanya omong kosong. Bukan. Ibunya merasa jika isi dari surat itu hanya bualan untuk menarik simpati Chika.

"Itu cara dia, supaya kamu percaya apa yang dia omongin. Dia cuma mau kita peduli. Nyatanya, nggak ada keluarga besarnya dia yang dateng jenguk dia," tutur sang ibu dengan nada yang terdengar penuh kebencian.

Tak bisa menahan lagi, Chika membalas tatapan sang ibu dengan mata yang terasa panas. "Yang benci Papa itu Mama, bukan aku!" katanya penuh penegasan sebelum melangkah keluar rumah.

Sedangkan di luar rumah, Dirga tak berani menggerakkan kepalanya ketika ekor matanya melihat Chika pergi. Laki-laki itu tak akan berbohong jika mendengar suara kegaduhan antara ibu dan anak tersebut. Bahkan, Dirga sampai tak bisa melanjutkan kegiatannya.

Tak lama setelah Chika pergi, ibu dari gadis itu juga pergi meninggalkan rumahnya. Pandangan Dirga teralihkan pada pelataran rumah Chika. Dia terdiam sejenak, merasa menyesal karena sempat menggoda Chika sejak kemarin.

Pun beberapa menit merenung kesalahannya, Dirga berdecak kecil seraya keluar mencari Chika. Dirinya menyingkirkan ember cucian Chika sebelum meninggalkan rumah. Dengan keadaan langit yang mendung, Dirga berkeliling sendirian mencari keberadaan gadis itu.

Entah harus belok ke mana, Dirga juga tidak tahu. Pasalnya, dia ini baru seminggu berada di daerah ini. Dan ia harus mencari Chika di lokasi yang sama sekali belum ia kenali.

"Kemana perginya?" tanyanya sendiri.

Dia menggaruk kepala bagian belakang, dengan wajah yang penuh kebingungan, jelas mengatakan dia masih belum menemukan Chika. Namun, Dirga tetap memilih untuk mencari, bahkan sampai hujan mulai turun sekalipun. Kedua tungkainya terus memperjauh jaraknya dari rumah. Ia menggunakan kedua maniknya untuk memindai seluruh tempat yang dilewati.

Belasan menit dan seluruh tempat telah berlalu, Dirga mulai kelelahan berjalan jauh dan tak mendapati gadis itu. Akhirnya dia menghentikan langkahnya, membuang nafas panjang ketika melihat presensi seorang gadis yang duduk sendirian di lapangan basket.

Kedua tungkainya dia arahkan ke tempat itu, mendekati Chika sampai akhirnya berdiri tepat di belakang punggungnya. Segera Dirga mengulurkan tangannya yang membawa payung pada Chika.

Chika yang menyadari sesuatu langsung menaikkan pandangannya, menjumpai payung berwarna hitam. Gadis itu menoleh ke belakangnya, melihat Dirga yang sudah setengah basah akibat mengarahkan payung untuknya. Keduanya saling menatap, tak ada yang memulai obrolan sama sekali.

"Ayo pulang. Tangan gue pegel," kata Dirga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status