Siang itu, Leo menerima panggilan mendadak yang mengharuskannya kembali ke kota untuk rapat penting. Informasi yang disampaikan begitu mendesak sehingga membuat Leo harus meyakinkan Claire bahwa dia tak akan lama pergi. Meski demikian, keraguan menghantuinya. Meninggalkan Claire sendirian di mansion bukanlah keputusan yang mudah. Sebelum keberangkatannya sore itu, Leo memberikan pesan tegas kepada Robert."Claire akan baik-baik saja, Leo. Aku berjanji," kata Robert, meyakinkan anaknya."Pastikan kau menepati janji itu, Ayah," balas Leo. "Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi padanya."“Perasaanmu membuatku khawatir, Nak. Apa ini artinya kau tidak mempercayai ayahmu sendiri?”“Bukan begitu, Ayah. Tolong pikirkan kembali, aku berharap bisa mengubur masa lalu itu.”Robert tersenyum dingin. “Seandainya kau, putraku, tahu penderitaan di dalam penjara. Kau tidak akan berbicara semudah itu.” Dia membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan Leo. “Pergilah.”Leo dengan kebimbangan men
"Sial! Harus bagaimana sekarang!" Leo memukuli keningnya, meremas rambutnya sendiri, terjebak antara keinginan melindungi Claire dan keinginan yang semakin kuat terhadapnya."Tolong, bertahanlah. Aku akan berusaha membuat kita keluar dari ruangan ini," kata Leo, suaranya serak penuh urgensi. Dia berdiri tegap, matanya memindai setiap sudut ruangan. Sebagai pengawal keluarga kaya raya di Amerika Serikat, Leo terjebak dalam situasi yang paling tidak diharapkannya. "Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan ini!" umpatnya keras.Leo memukuli pintu, hingga melukai kepalan tangannya. Pria bertubuh tinggi itu semakin frustasi, usaha yang sia-sia sejak lima belas menit lalu dia siuman. Tidak ada sahutan, seolah bangunan besar ini tidak dihuni siapa pun.Jantungnya semakin berdegup kencang, Leo membuang napas kasar memperhatikan Claire tampak berbaring gelisah di atas ranjang, gaunnya tergeletak di lantai dan tubuhnya hanya tertutup selimut tipis. Claire—nona majikannya, setengah sadar, jelas m
Pukulan itu menghantam bawah rahang. Nyaris mengenai wajah pria yang bertubuh lebih tinggi dari Steve itu. Leo pun tidak mengelak apalagi membalas. Meski tengah terjebak, dirinya mengakui telah menyerah karena juga menginginkan sosok Claire. “Pukullah. Ini salahku!” Tubuh Leo kini menjadi tameng agar Claire tidak turut terkena imbas amukan sang papa.“Damian akan menikahi putriku! Dan kau rusak segalanya!” Pukulan dan tendangan menyerang tubuh Leo, tanpa perlawanan darinya. Namun, seakan pria itu tidak terlalu merasakan sakit. Masih berdiri kokoh menghadapi Steve yang menyerangnya membabi buta. Bahkan, tidak luput juga dari lemparan lampu di atas nakas yang hampir mengenai bagian kepala. Suasana memanas, kamar pun kini tampak porak-poranda. Beberapa pelayan hanya berani mengintip dari luar kamar, tidak berani mencegah. Steve melampiaskan emosinya bertubi-tubi pada Leo, yang menodai putri kesayangannya. Tiba-tiba, sebuah teriakan muncul di tengah-tengah kegaduhan. Steve menghentikan
Setelah satu jam perjalanan menuju keluar dari kota besar itu. Taksi pun kemudian berhenti di salah satu tempat pengisian bensin di sudut daerah yang mulai jarang penghuni.Leo menatap wajah Claire yang masih terlelap, ingin rasanya membangunkan tapi tangannya begitu berat untuk menyentuh langsung tubuh gadis itu. Dia pun memilih mencolek lengan Claire dengan sisi ujung ponselnya. “Claire, bangunlah. Kita sudah sampai.”Akan tetapi, Claire hanya bergerak sedikit sambil menjawab pelan, “Sebentar lagi … aku masih ingin tidur.”Kesal dengan jawaban itu, Leo pun lanjut mengancam sang gadis, “Bangun. Atau aku akan menciummu agar kau sulit bernapas.” Dia melirik tajam tanpa mengalihkan wajah dari depan ponsel.Claire pun sontak duduk dengan tegap, membulatkan mata dengan paksa agar terlihat segar. “Di mana kita? Pengisian bensin? Apa kita akan menginap di motel itu?”Leo terkekeh pelan dan menyunggingkan senyum dengan deretan giginya yang putih. Dia menggeleng pelan saat membuka pintu di seb
Tibalah mereka di ujung sebuah jalan dengan pemandangan rerumputan yang luas dan tidak ada lagi pohon-pohon berjajar di sisi jalan. Kendaraan mereka kini berbelok arah jalan menuju sebuah gerbang tinggi.Flint menghentikan mobil dan membuka kaca jendela. Dia dihampiri salah seorang penjaga yang melihat ke arah sang pengemudi, lalu menyapa dan mengangkat tangannya memberi hormat.“Tuan Flint?” ucap sang penjaga sedikit mengintip ke bagian dalam mobil.“Buka gerbangnya,” titah Flint. Sang penjaga yang sesaat tadi penasaran kini sigap memberi hormat lagi, ketika Leo yang tadinya melihat ke sisi lain kini menoleh memandangnya. “Tuan! Oh, tunggu … tunggu!”Penjaga itu segera memberitahu rekan-rekan penjaga lainnya. Sambil berlari, dia mengibaskan tangan dengan terburu-buru, segera membukakan gerbang agar mobil itu masuk.Flint pun kembali melajukan kendaraannya masuk, melewati sejajaran penjaga yang berdiri di samping gerbang besi tinggi yang kokoh dan berwarna hitam itu. Saat memasuk
Pria misterius itu pun bangkit dari kursi kebesarannya. Dia berjalan mendekat pada kedua pasangan yang datang tiba-tiba dan kini merapatkan punggung di pintu ruang kerjanya.Leo tersenyum bersandar sambil melipat tangan di depan dada, saat Claire menarik-narik lengan kemejanya berusaha mengajak keluar dari ruangan.“Leo, Leo, berbuatlah sesuatu … kumohon …,” bisik Claire dengan suara gemetar. “Sedang apa kalian di sini?” tanya pria itu, lalu menatap wajah Claire penuh curiga. “Dan … dia?” Pria berusia 60an itu kini berdiri di hadapan mereka, dia adalah Robert Goldstein, seorang ketua organisasi intelijen terbesar rahasia bernama GSI (The Golden Shield Intelligence). Robert yang berperawakan tinggi hampir setara dengan Leo, masih terlihat gagah meski seluruh rambutnya sudah tampak sebagian memutih. Paras tampannya yang berdarah Jerman–Amerika, mempertegas karakter wajahnya yang sekilas tampak dingin.Leo menatap Robert penuh arti saat keduanya sempat saling berpapasan mata. Dia pun me
Setelah dua jam akhirnya Leo pun kembali ke kamar. Berjalan masuk dengan menyelipkan tangan di saku celana. Sorot matanya kosong seakan dipenuhi pikiran. Dia lalu menghela napas dan menoleh pada Claire yang menangis terisak dengan menjatuhkan kening di layar ponsel. “Hei, kau kenapa?” Leo berjalan pelan menghampiri.Leo tidak mendapat jawaban apa pun. Disibaknya helai rambut Claire yang menutupi layar ponsel, lalu diraihnya ponsel itu perlahan dari tangan lemah sang gadis.Ibu jari Leo mengusap sisa tetesan air mata yang membasahi layar. Ingin segera mencari tahu penyebab Claire menangis. Matanya kini terfokus pada unggahan video singkat skandal antara dirinya dan gadis itu. Sejak tersebar kemarin pagi, sejumlah komentar negatif menyerang dari ribuan penonton, lebih parahnya unggahan itu turut dibagikan ulang.Rahang Leo mengeras, hatinya diliputi rasa dendam melihat situasi saat ini. Namun, saat dia tengah berusaha menahan diri, tiba-tiba Claire malah menghambur memeluk erat tubuhnya
Leo menghentikan langkah dan menoleh, melihat Claire berjalan pelan sambil berpegangan pada pagar anak tangga.“Maaf, aku lupa,” katanya sambil kembali naik mendekati Claire yang sempat menolak bantuannya. Leo lalu berjongkok di hadapannya. “Naiklah. Ayo, naik ke punggungku.”Claire mengerutkan kening, keheranan. “Apa lagi ini?”“Naiklah. Kita akan berkeliling.”“Tidak, tidak. Meski aku tidak tinggi, tapi aku ini berat, Leo.”Leo tersenyum lembut. “Bagiku kau seperti kapas. Ayo, cepatlah. Atau kupaksa mengangkatmu dari depan hingga kau tidak nyaman?” ancamnya setengah bercanda.“Ba-baiklah …! Jangan mengancam. Dasar kau ini!” Claire tersipu.Leo pun menggendong Claire menuruni tangga. Mereka berjalan melewati beberapa bagian di area taman yang luas itu. Di dekat maze, terdapat kolam renang berukuran besar, lapangan tenis, taman bunga dengan gazebo cantik terbuat dari besi tempa berwarna hitam, dan kolam air mancur dengan patung malaikat wanita berwarna hitam di tengahnya.Lelah mengi