Share

Chapter 6 : Gagal dalam misi

Setelah dua jam akhirnya Leo pun kembali ke kamar. Berjalan masuk dengan menyelipkan tangan di saku celana. Sorot matanya kosong seakan dipenuhi pikiran. Dia lalu menghela napas dan menoleh pada Claire yang menangis terisak dengan menjatuhkan kening di layar ponsel.

“Hei, kau kenapa?” Leo berjalan pelan menghampiri.

Leo tidak mendapat jawaban apa pun. Disibaknya helai rambut Claire yang menutupi layar ponsel, lalu diraihnya ponsel itu perlahan dari tangan lemah sang gadis.

Ibu jari Leo mengusap sisa tetesan air mata yang membasahi layar. Ingin segera mencari tahu penyebab Claire menangis. Matanya kini terfokus pada unggahan video singkat skandal antara dirinya dan gadis itu. Sejak tersebar kemarin pagi, sejumlah komentar negatif menyerang dari ribuan penonton, lebih parahnya unggahan itu turut dibagikan ulang.

Rahang Leo mengeras, hatinya diliputi rasa dendam melihat situasi saat ini. Namun, saat dia tengah berusaha menahan diri, tiba-tiba Claire malah menghambur memeluk erat tubuhnya dengan isak tangis yang begitu lirih.

“Jangan tinggalkan aku ….”

Kebimbangan Leo semakin menjadi-jadi, sedikit pun tersentak, cepat meletakkan ponsel itu kembali. Perlahan satu tangannya terangkat lalu mengusap halus punggung Claire. Akan tetapi, hatinya kini bergejolak menantang logikanya sendiri. Antara iba dan tidak peduli. Karena pembicaraannya tadi dengan sang ayah, menyadarkannya oleh sebuah misi balas dendam. 

Leo melipat satu tangannya ke belakang, jarinya hendak meraih sebuah benda di pinggang yang sengaja ditutupi oleh kemejanya.

“Dengan bodohnya kau lepaskan anak gadismu berada di tangan pria asing, Tuan Foster. Misiku hampir selesai.” Leo membatin. “Maafkan aku, Claire …,” bisik Leo.

Tangan Leo kini menggenggam gagang Glock-nya, jenis senjata api senyap yang digunakan untuk eksekusi jarak dekat. “Aku akan membuatnya cepat. Aku tidak ingin kau tersiksa,” batin Leo.

“Kau bilang apa … maaf?” Claire menghentikan tangis dan mengangkat kepalanya, dia mendongak menatap wajah Leo dari jarak dekat. “Kau bahkan tidak perlu meminta maaf padaku. Leo.” Claire sekilas mendengar gumaman pria itu.

Leo pun tersentak dan menahan gerakannya. Lidahnya tercekat. Nyaris saja dia mengeluarkan senjatanya dan bisa terlihat oleh Claire. Kini tangannya masih membeku di belakang punggung.

“I-iya, aku … memang bersalah, Claire. Karena  ….”

“Bunuh aku!” ucap Claire tiba-tiba

“Apa?!” Leo tersentak mendengar ucapan Claire. Dia pikir gadis itu mengetahui niatnya beberapa menit lalu.

“Bunuh aku, Leo. Sekarang!”

Leo membuang napas kasar sambil mendongakkan kepala. “Huft! Yang benar saja!” gumamnya.

“Ada apa?” tanya Claire bingung melihat sikap Leo.

“Tidak.” Leo menunduk dan kembali menatap Claire. Sebelah tangannya yang tadi disembunyikan kini tidak jadi meraih pistol itu. Malah dia menangkup wajah gadis di hadapannya, karena merasa ini tidak tepat untuk membuat calon korbannya malah meminta dibunuh. Sangat di luar pikiran Leo. “Untuk apa kau minta aku membunuhmu?”

“Berilah satu alasan, untuk apa aku harus bertahan hidup.” Claire menatap Leo dengan intens. Mencari jawaban jujur di kedua bola mata abu-abu pria itu. “Bukankah tidak ada yang menginginkanku? Aku ini lebih baik mati, Leo. Bahkan keluargaku turut menghempaskanku ke jalan tanpa kasihan!”

Leo berpikir sejenak. Meski tidak yakin kata-kata selanjutnya. Dia hanya bermaksud menenangkan gadis itu. “Bukankah kau sudah memilikiku?”

“Tapi … kenapa alasannya kau?”

“Karena kau hanya akan mati bersamaku,” jawab Leo dengan nada datar.

“Aku belum menyukaimu. Dan pernikahan ini ….”

“Bagaimana denganku? Mungkin … kita sama,” balas Leo sambil bangkit dari tempat tidur. “Tapi katakan, jika kau benar-benar ingin melakukan hubungan itu denganku. Sepakat?”

Sementara itu Leo perlahan menggeser tubuh ke dekat nakas, membuka laci menaruh senjatanya saat Claire memalingkan wajah.

Claire yang masih menunduk ragu dan malu, kini mengangguk pelan. “Sepakat.” Wajah gadis itu bersemu memerah, teringat oleh ikatan pernikahan yang karena suatu skandal yang tidak terlupakan.

“Ayo, bangunlah. Kita akan berkeliling ke belakang mansion. Ada banyak hal menarik di balik sisi gelap wajah bangunan ini.” 

Leo mengulurkan tangannya pada Claire. Perlahan Claire tersenyum dan menyambut tangan pria itu. Namun, baru saja hendak menggerakkan tubuhnya, Claire mengernyitkan dahinya seperti menahan sakit.

“Aw!”

“Ada apa?”

Claire menggeleng sambil menunduk. “Tidak apa-apa. Hum … kuharap kau tidak melakukan hal itu lagi padaku, Leo. Itu sangat menyakitkan,” bisik Claire dengan wajah merona. 

“Maksudmu? Hum … Oh, itu.” Leo baru menangkap maksud Claire. “Maaf, kenapa kau tidak bilang, kupikir kau baik-baik saja dari kemarin. Lain kali aku ak—.”

“Tidak ada lain kali!” sambar Claire. “Baik-baik saja katamu? Aku terpaksa menahannya, tahu tidak? Bahkan sampai detik ini aku tidak tahu berapa lama itu terjadi!”

“Tiga. Hum … empat, mungkin lima jam,” ungkap Leo dengan santai. “Oh, kurasa lebih.”

“Dasar bodoh!” Claire menepuk pundak Leo cukup keras sambil perlahan berjalan melewati. “Uh, ya Tuhan … ini memalukan!” Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. 

Leo tertawa kecil melihat Claire yang begitu malu. Keduanya pun berjalan pelan keluar kamar.

Setiap penjaga yang melewati Leo dan Claire, membungkukkan sedikit tubuhnya untuk memberi hormat. Yang dilihat bahwa sang putra pemilik organisasi besar itu telah kembali. Sebagian besar dari mereka memperbincangkan sosok gadis yang bersama Leo, yang belum sempat dikenalkan pada semua orang di sana. 

Bahkan, saat ini Leo belum sempat beristirahat, karena terus mengawasi Claire.

“Tadi pagi. Apa yang kau lakukan di dekat dapur?”

“Aku sedang memperhatikan para koki memasak sarapan untukku. Dan meminta salah seorang pelayan mengantar makananmu ke dalam kamar. Dan mereka bilang kau tidak ada. Hampir saja aku akan memeriksa CCTV.”

Mereka pun berjalan ke bagian belakang mansion yang terdapat halaman luas. Jika dilihat dari pintu belakang mansion yang memiliki dataran lebih tinggi, maka akan tampak sebuah maze berukuran cukup besar yang terbuat dari pagar tanaman setinggi 1,5 meter,  bagi mereka itu untuk skala permainan anak-anak kecil. 

“Sebuah maze. Kau suka?” Leo melirik ke arah Claire sambil mengusap-usap dagu. “Tapi aku tidak menyarankan kau berada di sana untuk bermain,” lanjutnya.

“Kenapa? Itu pasti menyenangkan.”

“Itu untuk anak-anak.” Leo melihat Claire yang masih memandang takjub keindahan halaman belakang mansion. “Tapi bukan seorang gadis manja yang akan tersesat di dalam sana. Itu akan merepotkanku,” tambahnya.

Claire terkejut mendengar kata-kata Leo yang bermaksud sindiran. Mulutnya sampai menganga saking kesal dan tidak percaya. “Apa maksudmu? Huh! … Awas kau, ya!”

Leo tertawa kecil dengan deretan giginya yang putih, dia berhasil menggoda Claire. Cepat-cepat saja pria itu menuruni tangga agar tidak dipukul olehnya. Akan tetapi, Claire yang belum sempat mengejar, tiba-tiba berteriak kesakitan.

"Awh!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status