Kembali ke hari sekarang.
Berulang kali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan.
"Perasaan tadi masih ada." gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada.Iman menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya."Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya."Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan.Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah."Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!""Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!""Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis."Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar oleh Nisa yang sedang memasak di dapur.Wiwi menghentikan gerakannya mengepel. Alisnya mengernyit. Matanya menatap papah mertuanya ini dengan tajam."Memang Papah punya duit?" hatinya mulai kesal.Semalam ia mendengar pertengkaran mertuanya ini. Diakhiri dengan tangisan mamah mertuanya.
Ternyata papah mertuanya ini masih mempunyai uang. Tapi dia begitu tega pada istrinya. Teganya teganya teganyaaa..! Huh!
"Itu,.. Duit anu.."'Duit syaithonnirrojim!' gertak hati Wiwi.Iman tersipu mendengar pertanyaan dari sang menantu. Ia menggaruk kepalanya yang tiba tiba gatal."Nggak lihat." dengus Wiwi kesal. Ia lalu meneruskan mengepel.'Buat sendiri yang merahan, buat istrinya yang biru. Egois banget!' dumel Wiwi dalam hati.Padahal ia tahu mama mertuanya harus menyisihkan sebagian uang belanjanya untuk bekal si bontot. Ia bersyukur suaminya, Nino, tidak seperti sang papah.
Awalnya Iman tidak berani bertanya pada Nisa karena ia tahu akan menerima teriakan lagi dari Nisa. Uang tidak ada, kekesalan yang nanti ia dapat.'Nggak jadi deh, mancingnya.' gerutu hati Iman.Tapi rasa penasaran begitu merajai hatinya. Ia pun menghampiri Nisa yang sedang menggoreng bakwan.
Nisa tak mau menoleh meski ia menyadari suaminya ini ingin menanyakan uangnya yang jatuh itu.
"Mamah bisa belanja, duit dari mana?"Secara tidak sadar, ia mengakui uang yang diberikannya semalam tidak cukup. Apalagi Nisa lalu memberikan semuanya untuk si Bontot.
Untung Iman bertanya begitu, andai saja ia menanyakan uangnya yang jatuh, Nisa mungkin tidak dapat berbohong. Mungkin, ya. Karena kali ini keadaannya sedang tidak baik baik saja.
Nisa menautkan alisnya. Memang laki laki nggak ada akhlak!"Boleh nyopet!" jawabnya kesal. Mau bagaimanapun, ia tidak mau mengembalikan uang itu!"Kalo ditanya!" Iman melotot seraya mengerucutkan bibirnya.Nisa tidak ingin meneruskan perdebatan mereka. Ia tidak mengacuhkan Iman lagi. Ia langsung mencuci wadah bekas adonan bakwan yang sudah habis.
Iman ingin mencomot bakwan yang sudah matang tapi tangannya ditepis oleh Nisa."Buat makan!"Wajahnya yang di tekuk membuat Iman langsung kehilangan selera. Ia tidak ingin lebih lama lagi berada di sini, ataupun bertanya lagi.
Nisa melihat Iman keluar dengan sudut matanya. Hatinya merasa nelangsa.Dulu, setiap kali ia menemukan uang Iman, ia akan langsung mengembalikannya.Iman memang selalu ceroboh. Seperti tadi, uang itu jatuh karena ia mengeluarkan rokoknya. Kadang tertinggal di saku celananya saat ia melemparkannya ke tempat cucian.Nisa yang melihat uang berwarna merah mengambang di mesin cuci mengembalikannya pada Iman.
"Ini duit Papah? Buat Mamah, ya?""Jangan, Mah. Ini duit buat anu.." Iman dengan cepat menyambar uang itu.Anu, anu dan anu. Itu yang selalu diucapkan Iman. Ia tidak pernah menjelaskan anu itu apa. Dan Nisa pun malas bertanya.
Tapi hari ini kesabaran Nisa sudah habis. Ia tidak mau mengembalikan uang itu."Buat kebutuhan si Bontot." bibir Nisa mengulas senyum.Hatinya sedih tiap kali melihat si bontot. Di usianya dulu, ia mempunyai segalanya. Sekarang Doni kalau menginginkan sesuatu harus selalu mendengar jawaban yang sama. Dari waktu ke waktu."Nungguin Mamah punya uang, ya?"Selalu.... , begituuuu... !"Mah, 3 bulan lagi Doni camping." lapor Doni sepulang sekolah."Bayarnya 700 ribu, Mah. Boleh di cicil dari sekarang.""Bilang sama Papahmu ya, Nang." Nisa selalu membahasakan panggilan 'Nang' untuk anak lanang kesayangan pada ketiga buah hatinya itu."Enggak, ah!""Don, biarpun Papahmu lagi nggak ada uangnya, se enggaknya, Papah Kamu tau, Kamu perlu uang segitu.""Enggak, Mah. Mamah aja yang bilang."Nisa menghela nafas. Selalu begitu. Setiap anak anak membutuhkan dana untuk biaya sekolahnya, Nisa akan menyuruh mereka untuk meminta pada Papahnya. Tapi mereka selalu menolak."Doni nggak mau bilang sama Papah, Mah! Ada juga nanti Doni diomelin!""Diomelin gimana?""Kamu tuh, ya! Sekolah apa, sih? Duit mulu!""Nggak papa, Don. Yang penting Papah tau.""Nggak mau, Mah. Doni jadi sakit hati nantinya. Mamah aja yang bilang, ya?" Nisa mengangguk. Apapun akan ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan Doni. Meskipun ia harus merendahkan harga dirinya dengan meminta pada Wida, mamanya. Tapi sebelum itu, ia akan berusaha mengumpulkannya dulu.Nisa memiliki 3 anak. Semuanya laki-laki. Yang pertama, Nino, sudah menikah dan memiliki 1 anak. Yang kedua Deni, belum bekerja lagi setelah kontrak kerjanya habis. Ia hanya lulusan SMA seperti papahnya. Ia tidak mau kuliah, dan Nisa tidak dapat memaksanya.Doni, si bontot, sudah kelas 1 SMA.*******"Kamu nggak mancing, Man?" tanya Mumu, abang Iman yang no 2."Lagi banyak kerjaan, Bang! Ini aja belum di bongkar." ada 2 mobil yang harus Iman servis."Udah suruh si Bandi aja! Kamu ikut Aku, ya!" Bandi itu anak Yanah, kakak Iman yang no 3. Satu satunya anak perempuan di keluarga haji Samsu, preman yang insyaf setelah pergi berhaji."Tapi, Bang.""Halah, Kamu takut sama si Nisa? Laki bukan sih, Kamu!""Bukan gitu, Bang. Ini yang punya mobil pengen di jadiin sekarang." mobil itu mau di pakai keluar kota."Sebentaran doang!" Mumu melotot. Dia memang selalu begitu. Kerjaannya memaksakan kehendak.Iman mengalah. Ia mencuci tangan dan mengikuti langkah Mumu."Kamu punya duit berapa? " bisik Mumu di tengah teriakan para penyabung ayam.Iman menggeleng. Mumu tidak percaya. Ia langsung menggerayangi kantong celana Iman."Apaan sih, Bang!" protes Iman yang berusaha mengambil kembali dompet yang diambil paksa oleh abangnya itu."Pinjem dulu sebentar." Ia senang melihat banyak lembaran berwarna merah di sana."Bang, itu buat beli onderdil!" teriak Iman."Bentaran juga langsung di balikin!" Mumu lebih nyolot lagi.Ia menarik Lima lembaran merah dari dompet Iman.
Kakak Iman ada 4, 3 lelaki dan 1 perempuan. Kecuali Yanah, semua senang judi sabung ayam. Tapi suami Yanah juga suka. Jadi lengkaplah sudah. Keluarga mereka disebut keluarga panji laras.Mumu salah menjagokan ayam. Dia kalah taruhan. Bagaimana nasib uang Iman?*******"Emang adanya segitu!" Lembaran biru itu lagi. "Tapi Kamu 'kan habis servis 2 mobil, Pah! Masa dapetnya cuma segini?!" lagi lagi airmata Nisa meluncur turun. Lembaran biru lagi yang ia terima. Itupun hanya 1 lembar. Padahal ia begitu bahagia saat melihat 2 mobil yang akan di servis di depan rumah. "Aku bisa nyimpen buat Doni camping besok." begitu harapnya. Tapi ternyata itu cuma harapan kosong. Sebenarnya Iman tidak tega melihat airmata Nisa yang akhir akhir ini sering meluncur dari matanya yang indah."Uangnya sudah kupakai duluan." keluh Iman nyaris tak terdengar. "Kamu pakai? Buat apa?" mata Nisa mengerjap. Pikirannya mulai traveling. Sepertinya Iman tidak ada membeli sesuatu yang mahal akhir akhir ini. Apa Iman memilki wanita idaman lain? "Aku beli joran.""Joran?""Iya! Joran! Joran lamaku sudah butut begitu. Malu kalau masih Aku pakai mancing di tempat Babah Ali!""Astaghfirullaah.." Nisa mengusap dadanya yang langsung terasa sesak. Hatinya terasa ngilu. Iman lebih mement
"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya. Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya. "Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana? "Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu. "Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah. "Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya. Iman mengangguk. Ia langsung berdiri. " Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu. "Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya. "Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya
Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah. Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan. Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman. "Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang. Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama. Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar. "Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga.""Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."Deg! Da
Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman. Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju? BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua? Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai. "Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?""Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan. Hasby hanya diam mendengarkan. "Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini. Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar. "Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi."Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah. Akhirnya... "Man, Abang lagi ada ke
Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati? Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong. Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman. Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain. Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal. "Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya. "Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang. "Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap. "J
Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb
Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut