"Emang adanya segitu!" Lembaran biru itu lagi.
"Tapi Kamu 'kan habis servis 2 mobil, Pah! Masa dapetnya cuma segini?!" lagi lagi airmata Nisa meluncur turun. Lembaran biru lagi yang ia terima. Itupun hanya 1 lembar. Padahal ia begitu bahagia saat melihat 2 mobil yang akan di servis di depan rumah."Aku bisa nyimpen buat Doni camping besok." begitu harapnya. Tapi ternyata itu cuma harapan kosong.Sebenarnya Iman tidak tega melihat airmata Nisa yang akhir akhir ini sering meluncur dari matanya yang indah."Uangnya sudah kupakai duluan." keluh Iman nyaris tak terdengar."Kamu pakai? Buat apa?" mata Nisa mengerjap. Pikirannya mulai traveling. Sepertinya Iman tidak ada membeli sesuatu yang mahal akhir akhir ini.Apa Iman memilki wanita idaman lain?"Aku beli joran.""Joran?""Iya! Joran! Joran lamaku sudah butut begitu. Malu kalau masih Aku pakai mancing di tempat Babah Ali!""Astaghfirullaah.." Nisa mengusap dadanya yang langsung terasa sesak. Hatinya terasa ngilu. Iman lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Bagaimana dengan nasib uang belanjanya? Bagaimana dengan Doni?Iman ini sebenarnya sangat mudah mencari uang. Keahliannya dalam servis mobil itu sangat luar biasa. Banyak orang mengakuinya. Daripada mereka ke bengkel yang mahal, mereka lebih suka mempercayakan mobilnya di servis oleh Iman.Sayangnya Iman ini pemalas. Baru mendapatkan duit sedikit, ia tidak mau menerima pelanggan lagi. Ia memilih pergi memancing.Di sana sini."Sekarang jorannya mana?" tanya Nisa. Rasanya ingin ia patahkan joran itu. Berapa harganya?Iman tersentak. Ia tidak menyangka Nisa akan menanyakan itu."Eh.. Anu.." itu membuat Nisa lagi lagi curiga."Kamu bohongin Aku, ya?" tatapan Nisa begitu menghunjam. Iman dengan cepat mencari alasan."Ngapain sih Aku bohongin Kamu, Mah? Apa ada gunanya?""Itu. Kamu..""Jorannya di pinjem sama Bang Mumu!" hanya itu yang bisa dipikirkan oleh Imam.Itu juga semua gara gara dia!"Baru beli kok langsung dipinjemin? Kamu 'kan pelit, Pah!" astaganaga! Nisa menyebut dirinya pelit! Awas ya Kamu, Nisa!"Kamu kayak nggak tau Bang Mumu itu gimana! Lagian Kamu kok ngatain Aku pelit, sih?!" mata Iman membesar sampai full. Nisa tau kalau bang Mumu itu orang yang suka memaksa. Sok kuasa. Dilarang marahan dia. Menyebalkan!"Memang Kamu nggak nyadar kalau Kamu itu pelit, Pah? Kamu itu memang pelit!""Aku pelit gimana? " Iman masih tidak menyadari definisi pelit menurut istrinya."Kamu selalu ada rokok, 'kan?" Iman mengangguk bingung."2 bungkus sehari?" Iman mengangguk lagi."Berapa duit sehari?""Eeh.. anu.." Iman terdiam. Memang lebih dari limapuluh ribu ia habiskan untuk dirinya sendiri. Belum kalau ia ingin jajan di warung, ingin makan bakso atau yang lainnya. Ia setidaknya menghabiskan seratus ribu untuk dirinya sendiri. Tapi ia hanya memberi limapuluh ribu untuk Nisa. Padahal Nisa menggunakannya untuk mencukupi semua kebutuhan. Termasuk makannya juga."Kamu tuh, ya!" Iman langsung ngeluyur pergi dari hadapan Nisa. Ia tidak dapat membantah Nisa, tapi ia juga tidak ingin mengakui kalau Nisa itu benar.Nisa menghela nafas. Ia pergi ke warung untuk membeli satu kilogram telur. Kembaliannya ia berikan pada Doni untuk bekalnya."Ini buat makan sampai sore, ya." Nisa meletakkan telur di atas meja makan."Iya, Mah." sahut Wiwi. Nisa meraih anak di gendongan Wiwi yang baru berusia 1 tahun. Tapi ia sudah dapat berjalan."Beras masih ada 'kan, Wi?""Masih, Mah.""Alhamdulillah. Tolong masak nasi, ya?""Iya, Mah." Wiwi bangun dari duduknya dan berjalan menuju dapur.Nisa menatapnya dengan keharuan yang menyesak dalam ronnga dadanya.Wiwi ini menantu yang sangat baik. Ia merelakan gaji suaminya yang tak seberapa untuk membantu keuangan mereka. Ia rutin membeli beras, sabun cuci dan lain lain. Nino juga memberi mamahnya uang atas permintaannya."Kita main, yuk." ajaknya pada sang cucu. Ia menurunkan cucunya dan memakaikan sandal."Jalan, ya. Nenek nggak kuat gendong lama lama."******"Aku minta uangku. " Iman menagih uangnya pada Mumu."Uang apa?" tanya Mumu tanpa perasaan bersalah."Itu uang buat beli onderdil, Bang!" seru Iman gusar. Gara gara itu ia dimarahi pemilik mobil. Ia juga harus merelakan upahnya untuk mengganti uang itu."Ya nanti dong bayarnya! Kalau Aku menang ngadu ayamnya! " bentak Mumu galak. Iman pun kalap. Gara gara abangnya ini ia harus melihat airmata Nisa."Ganti sekarang, Bang! Kalau enggak..?""Kalau Enggak, mau apa?" Mumu berdiri menantang Iman dengan amarah yang meluap.Bugh!Satu tonjokan dari Iman melayang. Mumu langsung jatuh terlentang. Ia tidak menyangka adiknya ini berani melakukannya."Berani Kamu, ya!!" Mumu berdiri dan langsung melayangkan tinjunya.Bugh!Iman terjajar terkena tinju Mumu.Bugh! Bugh!"Baang!"Yanti, istri Mumu menjerit. Ia langsung berlari mencari bantuan.Mumu kembali jatuh terlentang."Awas Kamu, ya! " ia kembali bangkit.Ia kembali memukul Iman yang telah bersiap. Pukulannya mengenai angin dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia jatuh tersungkur."Jangan lari Kamu, Man!" teriaknya ngawur. Siapa juga yang mau lari?Mumu berdiri dengan kepala pusing.Plak plak!Mumu terkejut. Kedua pipinya terasa panas.Plak plak!Iman pun terkejut. Tamparan ini..Bang Hasby, abang tertua mereka berdiri di hadapan mereka dengan wajah garang. Tenyata Yanti lari ke rumah Hasby ini."Kalian mau berantem? Ayo! Aku adu sekalian!" Mumu dan Iman menunduk takut. Bentakan bang Hasby itu membuat nyali mereka mengecil."Nggak, Bang." sahut mereka kompak."Duduk!" mereka pun berubah menjadi anak yang patuh.Iman dan Mumu duduk dengan kepala tertunduk."Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan baik baik." nada suara bang Hasby melunak."Dia yang nonjok Saya duluan, Bang.""Tapi Kamunya..!" mata Iman menyorot tajam."Kamunya! ""Kamu! ""MAU MULAI LAGI?!!" gelegar suara Hasby menggema sampai ke sekita rumah Mumu.Nisa tersentak."Ada suara Bang Hasbi. Tapi di mana?" Nisa melihat sekelilingnya. Ia melihat pintu rumah Mumu yang sedikit terbuka. Rumah mereka memang berdekatan satu sama lain.Nisa menggendong cucunya dan melangkahkan kakinya mendekati rumah Mumu."Kita ini udah nggak punya orang tua. Apa kalian mau, Nyak sama Baba nangis dalam kuburnya ngeliat Kalian berantem gini?"'Itu suara Bang Hasby.' gumam hati Nisa. Ia lalu berpikir Hasby sedang menasehati Mumu dan Yanti karena memang mereka seringkali ribut. Ia membalikkan badannya untuk pergi dari rumah itu."Iman yang mulai, Bang."'Iman?' Nisa menghentikan langkahnya."Tapi 'kan Abang yang bikin masalah, Bang. " ini suara Iman. Nisa menjadi kepo. Apa Iman meminta jorannya dan Mumu menolak?'Bang Mumu memang kebangetan!' desis hati Nisa."Sebenarnya apa masalahnya?"Iman pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dari ia ingin servis dan diajak Mumu untuk mengantarnya ke tempat sabung ayam. Bahkan Mumu sampai mengambil uang onderdil dari dompetnya untuk ikut taruhan berjudi."Nanti juga Aku balikin! " teriak Mumu, tetap tanpa merasa bersalah.Airmata Nisa lagi lagi turun. Rifki, cucunya, mulai tidak betah dalam gendongan dan mulai bersuara."Mmaaa..!"********"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya. Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya. "Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana? "Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu. "Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah. "Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya. Iman mengangguk. Ia langsung berdiri. " Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu. "Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya. "Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya
Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah. Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan. Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman. "Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang. Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama. Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar. "Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga.""Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."Deg! Da
Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman. Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju? BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua? Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai. "Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?""Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan. Hasby hanya diam mendengarkan. "Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini. Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar. "Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi."Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah. Akhirnya... "Man, Abang lagi ada ke
Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati? Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong. Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman. Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain. Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal. "Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya. "Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang. "Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap. "J
Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb
Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut
"Arii..!" teriak Yanti gemas. Ia kehabisan akal. Tangan Yanti bergerak ke telinga Ari tapi tangan Nisa langsung menahannya. "1 lagi, Bang. Buat Abangnya." Nisa meminta si Abang jualan memberikan 1 potong baju lagi. Ari menerimanya dengan wajah bahagia. Nisa ikut bahagia melihatnya. "Tuh Yanti! Nisa mah sayang sama anak Kamu! Kamu sendiri gimana?" sama Nino, maksud si Ibu yang bertanya. "Ayo Ari! Pulang! Mandi!" gegas Yanti mengajak anaknya pulang. Tidak ada basa basi untuk mengucapkan terimakasih. "Pakai baju ini ya, Mah?" teriak Ari riang. "Idih, tuh orang. Bilang makasih atau gimana kek anaknya udah di beliin baju. Main ngeluyur aja! Kamu nggak kesel apa, Nisa?"Masih saja ada yang berniat menjadi kompor antara sesama ipar itu. "Nggak papa, Bu. Yang penting Ari senang." Nisa baru saja akan membayar baju baju Itu saat Tika tiba tiba datang dan menjerit. "Tika juga mau, Bibi!""Tika bilang Mamah sana." Kata teh Mani. "Mamah nya nggak adaaa!" Tika mengerucutkan bibirnya. Ingin