Nisa memintanya untuk banyak minum karena keringatnya yang tidak kunjung berhenti. Nisa takut Yanah dehidrasi."Kamu ikut ya, Nisa." pinta Yanah mengiba. Nisa langsung teringat pada Sari yang saat itu juga memintanya ikut untuk melakukan pengobatan. Tapi saat itu ia tidak dapat ikut."Tika di rumah aja, ya? Tika nggak bisa izin, Mah." Yanah mengangguk. Ia tahu anak - anaknya sibuk dengan pekerjaannya. "Aku ikut." ucap Yanti memaksa. Yanah menatap Yanti dengan perasaan tak suka. Daritadi Yanti hanya mondar mandir nggak jelas bahkan ikut memakan makanan yang dibawakan oleh Nisa. "Ikut ya, Nisa?" Yanah mengulangi permintaannya tanpa mengindahkan ucapan Yanti. "Ya." Nisa menggenggam tangan Yanah untuk menenangkannya. "Kapan Kita berangkat?""Besok pagi." jawab Hasby. "Man, Kamu yang bawa mobil." titahnya. Iman mengangguk. Kalau Hasby yang meminta ia tidak dapat menolaknya. Mereka berencana di tempat yang terpisah, jadi Iman tidak tahu kalau Nisa akan ikut dan Nisa juga tidak tahu
Nisa menatap orang yang terlihat 'slebor geboy' itu. Nisa mengagumi keahliannya mengobati Yanah tapi ia tidak suka melihat 2 istri yang ia himpunkan dalam 1 rumah. Kakak beradik pula. "Siapa lagi yang mau diurut?" tanyanya bersahabat. Yanti membuang wajahnya. Ia masih kesal dengan omongan orang itu tadi. Entah bercanda atau tidak. Iman menatap Nisa. Mungkin Nisa harus diurut. Bukankah Nisa juga pernah sakit parah waktu itu? Iman ingin Nisa sembuh total dan tidak kambuh - kambuh lagi. "Mamah mau diurut?" bisiknya pada Nisa. Tentu saja Nisa menolak. "Papah mau Mamah dijamah oleh laki - laki lain?" Nisa balas berbisik. Membayangkan dirinya disentuh oleh laki - laki itu seperti ia mengurut Yanah tadi membuatnya jengah. "Papah tau Mamah nggak mau disentuh laki - laki lain meski itu buat pengobatan?" desis Nisa marah. Bahkan ia memilih melahirkan pada Bidan daripada Dokter karena kebanyakan dokter kandungan adalah laki - laki. Iman tentu saja tidak rela istrinya dijamah laki -laki l
Hasby meminta Ijay memanggil Iman agar dapat segera meningalkan tempat itu. Sungguh, ia merasa jengah setiap kali jemari tangan Ratna mengusap lengannya. Ia hanya dapat menarik tangannya dan melipatnya di depan dada. Rasanya ia ingin berteriak, 'Edi! Bawa jauh - jauh orang gila ini dari hadapanku!'Tapi ia menahannya. Tak tega rasanya melihat pendar cahaya yang keluar dari netra Edi, adiknya yang belum lama ini kehilangan istrinya. Sebelum Ijay memanggilnya, Iman dan Nisa sudah kembali. Iman memalingkan wajahnya saat melihat Ratna. Rasanya rugi bandar kalau melihatnya sebentar saja. "Kita pulang sekarang, Bang?" tanyanya pada Hasby. Hasby mengangguk. "Tapi Saya 'kan belum makan, Bang?" rengek Edi seperti anak kecil. Iman mendengus. Edi ingin terlihat manja di depan Ratna. 'Dari tadi ngapain aja sih, Bang?!' omelnya dalam hati. Ratna juga menyadari kalau Iman tidak menyukainya. Ia juga diam - diam mengagumi kecantikan Nisa yang jelas terpancar meski tidak ada sapuan make up d
"Masak cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami."Emang adanya segitu! Mau gimana lagi?" Iman melotot. Nisa menghela nafas. Lima puluh ribu, dari tahun ke tahun. Saat anak anak mereka masih kecil, saat lembaran sepuluh ribu masih dapat mencukupi kebutuhan hariannya, Iman sudah memberinya nafkah harian sebesar itu. Waktu itu ia dapat menyisihkannya untuk semua kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gas dan sampah. Bahkan ia dapat menabung.Sudah puluhan tahun berlalu. Si bungsunya sudah menginjak remaja. Sulungnya sudah menikah tapi masih mengikuti mereka. Lima puluh ribu. Itu jumlah terbanyak setelah Imam memberi lembaran merah tapi dengan catatan harus beli token dulu, atau harus beli rokoknya dulu.. Hati Nisa menjerit. Lima puluh ribu itu bukan sepenuhnya untuknya. Ada jatah bekal si bungsu di sana. Kepalanya langsung pusing. "Kenapa mukamu ditekuk gitu sih, Mah?" tegur Iman tanpa dosa. "Mamah pusing! Mamah harus be
Sebelum menikah dengan Iman, sekitar 25 tahun yang lalu, Annisa Saktiara adalah seorang gadis yang sangat cantik pada masanya. Ia anak konglomerat dari tanah pasundan. Gadis polos yang manja dan murah hati."Nisa berangkat, Ma!" Nisa meneguk sisa susunya di meja dan berlari keluar rumah. "Sandwichmu, Nak!" Wida, sang mama, balas berteriak. Tak terdengar jawaban dari Nisa. "Udah telat kali, Ma." Papanya memberikan argumen. ia juga sudah siap siap berangkat. Tak lama kemudian terdengar suara derum mobil matic milik Nisa, melaju menuju gerbang.Nisa gadis yang cantik luar dalam. Ia tidak pernah membeda bedakan sikapnya pada siapapun. Semua orang menyayanginya. Bahkan para ART nya.Annisa Saktiara, putri tunggal dari Indra Bakti Wiguna, seorang pengusaha properti yang sukses. Ia memiliki kerajaan bisnis yang siap diturunkan pada putri satu satunya ini. Kehidupannya yang begitu sempurna menjadi hancur saat ia jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Seorang pega
Kembali ke hari sekarang.Berulang kali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan. "Perasaan tadi masih ada." gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada. Iman menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya. "Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya. "Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan. Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah. "Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!""Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!""Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis. "Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar
"Emang adanya segitu!" Lembaran biru itu lagi. "Tapi Kamu 'kan habis servis 2 mobil, Pah! Masa dapetnya cuma segini?!" lagi lagi airmata Nisa meluncur turun. Lembaran biru lagi yang ia terima. Itupun hanya 1 lembar. Padahal ia begitu bahagia saat melihat 2 mobil yang akan di servis di depan rumah. "Aku bisa nyimpen buat Doni camping besok." begitu harapnya. Tapi ternyata itu cuma harapan kosong. Sebenarnya Iman tidak tega melihat airmata Nisa yang akhir akhir ini sering meluncur dari matanya yang indah."Uangnya sudah kupakai duluan." keluh Iman nyaris tak terdengar. "Kamu pakai? Buat apa?" mata Nisa mengerjap. Pikirannya mulai traveling. Sepertinya Iman tidak ada membeli sesuatu yang mahal akhir akhir ini. Apa Iman memilki wanita idaman lain? "Aku beli joran.""Joran?""Iya! Joran! Joran lamaku sudah butut begitu. Malu kalau masih Aku pakai mancing di tempat Babah Ali!""Astaghfirullaah.." Nisa mengusap dadanya yang langsung terasa sesak. Hatinya terasa ngilu. Iman lebih mement
"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya. Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya. "Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana? "Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu. "Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah. "Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya. Iman mengangguk. Ia langsung berdiri. " Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu. "Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya. "Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya