Mereka kembali bekerja dengan giat selesai istitahat sejenak tadi. Mereka semakin bersemangat bukan hanya setelah mendapat minumang segar seperti tadi, juga karena ada Deni yang dengan lincah mengantarkan kebutuhan mereka. Setelah 2 jam lebih bekerja mereka pun istirahat lagi untuk makan siang. "Waaah! Hari ini lauknya spesial, Bu?" Firman senang melihat ada sayur asam dan ayam goreng, tahu dan tempe bacem plus sambal dan lalapannya. "Iya, dong. Biar tambah semangat!" si Mbak yang menjawab. "Nggak ada petai, Mbak?""Tuh, kan. Ngelunjak, Bu." Nisa tertawa. Iman kini sedang mengawasi empangnya. Sesuai perkiraannya, ini semua dapat diselesaikan hari ini. "Sekarang tinggal nge cat." senyum Iman puas."Pah, makan dulu." Iman segera mencuci tangannya dan bergegas ke warung yang sekarang menjadi dapur juga. Nisa tidak mau memasak di dapur yang satunya."Di sana panas, Pah." memang benar. Iman tidak meletakkan jendela di tempat memasak. Jendela justru di letakkan dekat kamar mandi. Ak
Seteleh makan siang, Doni menyerah."Doni udahan ya, Pah?" dia terlihat lelah. Tubuhnya saja yang besar, tapi dia tetap cuma anak kelas lima SD.Iman mengangguk."Mandi dulu sana!" Doni berlari menuju keran air untuk membersihkan dirinya. Nisa membawakannya handuk yang lebar dan membelitkannya ke pinggang Doni. "Buka celananya disitu, Nang. Lanjut mandi yang bersih di dalam, ya?" Doni menurut.Dua jam kemudian Deni yang menyerah. "Deni udah ya, Pah?" kulit jari jemarinya pucat dan mengeriput."Kamu capek?""Banget." Deni mengangguk. Tubuhnya bergetar menahan dingin. "Ya udah sana." Deni langsung naik ke atas empang dan berlari masuk ke dalam rumah. "Lho - lho!" si Mbak berteriak melihat jejak kotor dan basah yang di tinggalkan Deni. "Den! Kamu bukannya bersih - bersih dulu di luar!" tegur Nisa yang sudah membawakan handuk di tangannya. "Terlanjur, Mah! Ma'af!" teriak Deni dari dalam kamar mandi. Nisa hanya dapat menghela nafas. Ia lalu mengambil tonkat pel untuk membersihkan da
Selesai renovasi, pemancingan berjalan tidak seperti yang diharapkan. Jumlah pemancing menurun. Nisa terpaksa harus melepas Anet karena tidak mampu membayarnya. "Maafin Ibu, ya. Nanti kalau Pemancingan normal lagi, Anet Ibu panggil lagi mau, ya?" Anet mengangguk. Kebetulan saat ini dia sudah kelas 3 SMP, tahun dimana sudah tidak banyak kegiatan di sekolah karena sudah harus mempersiapkan diri untuk ujian. Tapi ia juga sangat membutuhkan uang untuk study tour ke Jogja. Darimana ia mengumpulkan uangnya jika tidak bekerja pada Nisa?"Anet ngamuk di rumah. Nangis sampai menjerit - jerit." lapor ibunya pada Nisa yang menjadi serba salah karenanya. Ia bingung. Ia hanya mampu membayar si Mbak. Ia juga harus turun tangan membantu si mbak setiap malam. "Maafin Ibu, ya." ucap Nisa penuh penyesalalan. Ibu Anet menggeleng. "Ibu nggak salah. Saya ngerti keadaan Ibu." Nisa tersenyum pahit. Renovasi empang yang istilahnya menghabiskan 1 buah mobil malah tidak menunjukkan kemajuan. Bahkan pemanci
Mereka mengangguk. Mereka senang Iman benar - benar tidak berniat memecat mereka hingga menyiapkan pengganti merekapun tidak. "Ya udah, Bos. Kita pulang, ya?" mereka berpamitan dan mencium punggung tangan Iman. "Salam buat Ibu, Pak.""Ya. Kalian tetap sering main ke sini, ya? Ibu pasti senang kalau Kalian datang.""Siap, Bos!" Iman melihat mereka berlalu dengan perasaan campur aduk. Lega tapi juga sedih. Meskipun ia tahu mereka tidak melakukan apa yang di tuduhkan para pemancing itu kenyataannya ia tetap tidak bisa membela mereka, bahkan mengikuti keinginan para pemancing itu. Iman masuk ke kamarnya dan melihat Nisa sudah tertidur dengan setitik air di ujung matanya. Ia pasti habis menangis. Iman merebahkan tubuhnya perlahan agar tidak membangunkan Nisa. Tapi Nisa ini sangat peka dengan gerakan. Ia langsung membuka matanya."Bagaimana, Pah?" Nisa langsung duduk menghadapi suaminya. Iman menghela nafas."Sudah?" tanya Nisa. "Sudah." Iman mengangguk. Tak disangka Nisa terlihat be
Iman kebingungan karena teman - teman Anda yang ingin bekerja sama sekali belum berpengalaman dalam nyerok menyerok ikan. "Kan bisa Deni ajarin, Pah. Tapi, wani piro?" Deni tersenyum lebar. "Kayak yang udah pinter aja!" sungut Iman. "Seenggaknya lebih pinter dari mereka, Pah!"Anda tertawa melihat Iman menepuk kepala Deni perlahan. Hari ini dapat mereka lalui dengan keengganan Iman melayani para pemancing itu. "Nyatetnya yang bener, Bos!" Ada saja pemancing yang complain atau sekedar meledek Iman yang sedang sensi.Hampir jam 12 malam. "3, 2, 1, selesai!" teriak Iman penuh kelegaan. Ia langsung masuk ke dalam. "Pah! Nggak mau nungguin bagi hasil?" teriak Deni. "Jatah Papah kasihin Mamah!" Iman balas berteriak. Para pemancing masih bersiap - siap untuk pulang."Asyik, nih." Nisa tertawa. Si Mbak ikut senang melihatnya. "Tiap hari aja, Pah. Nyeroknya.""Ih! Najis!" Iman mendecih. Tidak lama kemudian Deni memberikan lembaran warna merah pada Nisa. "Emang dapetnya cuma segitu?"
Diantara para pemancing itu ada juga pemancing wanita. Memang hanya ada beberapa orang tapi yang seringkali datang bahkan hampir setiap hari menyebut dirinya 'bunda'.Bunda ini selalu datang berdua bersama suaminya yang memakai nama 'Ayah' sebagai nama pemancingnya. Sesuai janji Nisa, begitu pemancingan kembali berjalan normal, Nisa memanggil Anet lagi. Anet dengan suka cita menerima panggilannya. "Ini anak tau - tau udah gede aja." celetuk si Mbak saat melihat Anet lagi."Dulu waktu pertama dateng gedenya segini." si Mbak mengukur setinggi bahunya. "Mbak, Bunda minta milor." kata Anet. Milor itu sebutan untuk indomi rebus pakai telor. "Ayah nggak ikutan pesan milornya?""Nggak." Anet menggeleng. "Apa nggak tau kalau Bunda pesan. Mereka duduknya jauh - jauhan."Si Mbak langsung membuatkan pesanan. Setelah ada Anet, Nisa dapat beristirahat di kamarnya. Tidak perlu menghadapi pemancing - pemancing itu. Laporan dan setoran uangnya akan di letakkan si Mbak di atas lemari kabinet di
"Kenapa dikasih hutang lagi, sih? Suruh bayar dulu hutangnya. Memang mau ditumpuk sampai berapa?" ini Nisa."Apaan sih, Mbak?! Baru juga segitu udah rewel banget, sih?!" ini Bunda. Bibirnya yang dower karena suntikan silikon semakin terlihat melebar. Merah merekah.xSama seperti ikan - ikan yang dipancingnya itu."Itu pesan dari Ibu, Bun." kata si Mbak nyaris frustasi."Tobat!" si Mbak mengeluh saat berada sendirian di warung dan Bunda lagi - lagi menambah hutangnya. Sekarang hutang Bunda mendekati 200 ribu. "Ini nggak bisa dibiarkan lagi." Nisa bertekat mengajak Bunda berbicara dari hati ke hati malam ini juga. Bunda datang seperti biasa dengan tawanya yang berkumandang ke seluruh area pemancingan. Biasanya Ia akan langsung duduk di meja dekat papan sampai nomor lampak dikocok dan ia mendapat nomor lampaknya. Kali in Nisa menahannya di depan warung. "Bunda, bisa Kita bicara sebentar?""Ibu! Ada apa, ya?" Nisa mengajaknya masuk dan duduk di ruang tamu. "Bunda, Saya mau minta tolong
"Suara apa itu, Mbak?" Nisa keluar dari kamarnya. Padahal ia ingin tidur setelah sholat Isya tadi. Tapi suara musik itu terlalu bising. "Siapa yang nyetel musik sampai kayak gitu, sih?" suara sound system yang keras itu begitu menghentakkan dadanya.Nisa mengusap dadanya yang terasa sakit. "Ada rombongan pangamen, Bu. Pak Mumu yang ngundang.""Pengamen sampai pakai sound system begitu? Hebat banget." mulut Nisa memuji meski hatinya tidak menyukai ini.Si Mbak mengangguk. "Pak Mumu yang ngundang. Jadi Dia yang bayar." Oh.. Iman masuk dan melihat Nisa Duduk di warung. Tangannya terulur. "Mah, minta 50 ribu." tentu saja itu membuat dahi Nisa berkerut. "50 ribu? Buat apa?""Patungan buat bayar dangdut itu." Nisa nenatap suaminya. Ia bingung. Katanya Bang Mumu yang bayar? "Bukannya Bang Mumu yang ngundang, ya?""Iya. Bang Mumu cuma ngundang doang. Kita yang di suruh patungan.""Kok begitu?""Udah cepetan dong, Mah. Yang lain udah ngasih, tinggal Kita." Nisa menghela nafas. "Kitanya