"Apa?" ketus seorang wanita bersedekap dada sambil menatap pria yang baru datang. Taman kota di malam hari dengan penerangan yang memadai, memang menjadi lokasi yang cocok untuk menenangkan diri, membangun diskusi, atau sekadar menunggu teman sebagai titik kumpul. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, "mau ngapain?" kata wanita itu lagi saat melihat pria di depannya menoleh ke kanan-kiri. "Sudah lama?" tanya pria muda itu lalu bergerak untuk duduk di samping teman wanitanya, "tadi macet di perempatan sana," lanjutnya meski tidak mendapat jawaban, hanya mendapat lirikan tajam dan ekspresi hampa dengan raut yang jelas menggambarkan rasa tidak suka. Berdeham pelan pria yang akrab disapa Kal itu merasa canggung dengan wanita di sebelahnya, sedikit-banyak pikiran Kal tahu bahwa ini bukan bagian dari hal yang harus dilakukan, tapi hatinya menggiring kuat agar dilakukan. Sebagai pria yang menjunjung perasaan pribadi, Kal memilih untuk mendengarkan dan melakukan
"E-eh?" Terbuka lebar mata seorang pria terkejut, secepat terkejut yang ia alami dan perubahan talu jantung, tangan yang menggenggam pun dengan cepat mengempas, "kok lo di sini, Ran?"Bergerak miring sedikit kepala wanita yang memanggil tadi, memandang dua insan di hadapannya kini dengan lekat, "memangnya taman kota buat aturan kalau Kirana Zendaya dilarang datang?" sahut wanita yang akrab disapa Rana itu mengalihkan pandangannya ke pria yang terlihat gugup, "kenapa kamu?""L-lo kagak tidur? Sudah malam loh ini," tukas pria yang biasa disebut Kal, pria berbadan atletis yang sesekali melihat ke wanita di sebelahnya, namun juga tidak bisa menyembunyikan rasa bingung akan kehadiran wanita di hadapannya.Berkedip pelan Rana sambil mengerucutkan sedikit bibirnya, terangkat kedua bahu mungil Rana dengan senyum kecut menghiasi wajah orientalnya, "entah," jawab Rana singkat kemudian menghela napas.Santai, sangat santai reaksi Rana melihat kedekatan pria berstatus sebagai suaminya itu dengan
"Lo balikan lagi sama Fafa?" "Menduakan Rana, oi!" "Buset, lo masih belum dapat kerja lagi, kan? Kok berani tambah perempuan di hidup lo?" "Ya mau gimana lagi, gue masih sayang dia," jawab seorang pria menjawab pertanyaan teman-temannya, "ini juga enggak bisa dibilang menduakan dong, gue enggak suka sama Rana, kagak ada perasaan." "Tapi lo nikahnya sama Rana," ucap pria berambut cepak pendek dengan penuh tekanan, "selingkuh itu enggak melulu tentang lo punya perasaan, kan?" lanjut pria yang biasa disapa Den. "Entah," sahut pria bernama Kalil Nayaka itu penuh rasa abai, "yang jelas buat gue ini bukan selingkuh." "Padahal belum lama ini lo mempermasalahkan perilaku Rana yang bersikap kayak kagak anggap lo sebagai suami," ujar Den teringat obrolan mereka di rumahnya beberapa waktu lalu, "tapi sekarang lo bersikap kayak kagak anggap Rana sebagai istri lo." "Karena ini melibatkan perasaan, yang gue bahas waktu itu tentang bersikap sosial tanpa perasaan. Beda," bantah Kal membuat Den
Gedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing. Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya cur
Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua. Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab d
"Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop. "Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada. Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya. "Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesa
"Argh!" erang seorang wanita sambil memegang keningnya, sementara tangan lain memegang ponsel yang sedang menunggu sambungan telepon, "angkat dong, aku mau berangkat kerja," keluhnya seorang diri. Waktu sudah menunjukkan angka 06.33, kegelisahan dan kepanikan benar-benar membuat kakinya tidak berhenti melangkah. Bolak-balik ke teras dan ruang utama rumah, berharap tipis pada seseorang yang ditunggunya untuk segera pulang. Sampai sambungan telepon pun terjawab, "halo." Suara parau terdengar jelas di telinga wanita bersetelan formal, napas teratur dengan dengkuran tipis amat sangat mengganggu indra pendengarannya. Tidak banyak kata lagi, wanita yang akrab disapa Rana itu mematikan sambungan telepon dan beralih ke kontak yang dapat ia hubungi. Jessica Danti, sang kakak yang tidak bekerja namun memiliki satu kendaraan yang jarang digunakan. "Halo, Kak. Bisa jemput aku sekarang, enggak? Aku sudah terlambat banget, mobil dibawa Kal enggak tahu kemana," ujar Rana cepat tanpa menunggu
Tin! Klakson nyaring terdengar mengejutkan dari depan rumah, membuat seorang wanita sontak melepas rangkulan pada adiknya yang terkekeh kecil, "sudah pulang deh," ucap wanita yang akrab disapa Jess itu mengikuti adiknya, yang cepat bergegas keluar rumah setelah mendengar klakson, "kalau ada yang ganggu tidurmu, bisa minum obat tidur, pesan ojek daring buat ke sini, pakai penutup telinga, atau amuk saja yang berisik," ujarnya pada sang adik yang mengangkat tangan untuk hormat sembari menunjukkan barisan gigi, sebelum masuk ke mobil. "Saya titip Rana, jangan sampai dia kurang istirahat atau sakit," lanjut Jess sedikit menunduk untuk melihat suami Rana yang mengacungkan ibu jarinya, acungan ibu jari yang disertai senyum tipis. "Ya sudah hati-hati," kata kakak dari Rana itu kembali berdiri tegak dan menunggu kendaraan roda empat sang adik melaju, meninggalkan gang rumahnya dan tidak lagi terlihat sejauh mata memandang. Lajunya mobil membelah jalan besar yang ramai dengan berbagai kecep