Share

(3) SP-2 [Revisi]

"Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop.

"Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada.

Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya.

"Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesaikan kerjaan gue, lagi pula gue jug ...."

"Tapi kagak main gim daring sampai teriak-teriak di tempat kerja!" seru Rana memotong bantahan suaminya, "di kertas itu tertera dengan sangat jelas, kamu ganggu divisi lain, kamu jadi banyak mengandalkan tim sendiri tanpa melakukan tugas sebagaimana kepala arsip, dan kamu cuma pindah tempat duduk buat lanjut main pas dapat teguran lisan dari tim HRD. Terus dimana letak kerjaanmu selesai? Yang menyelesaikan itu tim kamu, dan kamu cuma tanda tangan tanpa lihat risiko," ujar Rana panjang menasihati, meski sebagian besar perkataannya ia ketahui bukan dari surat, tapi dari percakapan grup di ponsel Nifa.

"nyam nyam nyam." Mulut Kal bergerak lincah mengejek Rana seraya berjalan ke kamarnya, meninggalkan Rana yang membuka mata lebar terkejut.

"Ini sebabnya, hidup lebih enak menjomlo," gerutu Rana sembari menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar Kal.

Meninggalkan ruang utama demi ruang tidur yang amat dirindukannya setelah melewatkan lima hari yang melelahkan, jumat malam menjadi malam yang selalu Rana nantikan setiap pekannya. Menjadi awal dari akhir pekan yang akan dihiasinya dengan berbagai hal menyenangkan, seperti tidur seharian, maraton drama atau film, pergi keliling pusat kota tanpa tujuan, belanja sepuasnya saat awal bulan, atau menghabiskan stok camilan yang selalu tersedia di kulkas sejak awal bulan.

Terpejam rapat mata Rana setelah memastikan jendela dan pintu kamarnya terkunci, jumat malam ini akan menjadi malam yang tentram sebab telah menyinggung Kal. Tidak akan ada gangguan karena Kal insomnia, tidak akan ada televisi dengan volume tinggi karena Kal sulit tidur, dan tidak akan ada segala hal yang biasa Rana lewatkan hampir setiap harinya sejak bersama Kal.

"Eh tapi ...," gumam Rana membuka matanya dan menatap lurus ke langit-langit kamar, berhiaskan berbagai gantungan yang bercahaya dalam gelap, "entar kalau suamiku itu tersinggung terus dia bocorkan kesepakatan ke keluarga, gim ...."

Terhenti Rana berucap dengan wajah mengerut jijik dan mulut sedikit terbuka, "suami? Dih, sejak kapan aku punya suami? Iihh ... bicara apa sih, Ran!" sentaknya mengusap-usap mulut sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala, "sudahlah mending tidur," lanjutnya tetap berbicara sendiri yang menjadi bagian dari kebiasaannya.

Kembali wanita muda itu memejamkan mata dan menciptakan taman luas dengan pagar di tengah taman, menghitung domba tak jelas asalnya yang memasuki area pagar untuk menciptakan rasa kantuk. Sampai hitungan demi hitungan ia lewati dan tergumam secara acak, dan menghilangnya taman domba itu perlahan sampai muncul suatu tempat yang terlihat menyenangkan.

Bunga tidur indah dengan segala ketentraman yang menggugah kenyamanan, andai bunga tidur dan dunia khayal dapat diwujudkan, pastilah tidak akan pernah ada kejadian buruk selain dari khayalan para pendendam, "pelan-pelan saja, ini rumah Rana, kan? Enggak usah klakson."

"ya terus gimana kabarin si Kal? Ponselnya mati itu bocah dungu, padahal dia undang kita kemari."

"Tapi ini sudah hampir tengah malam, yakin lo? Balik saja ayo, rumahnya gelap banget."

"Ini jebakan setan kali, kita di tengah kuburan sebenarnya."

"Bisa jadi, lo duluan yang kita kubur."

Segala obrolan pria secara acak terdengar bersahutan menembus alam bawah sadar, merusak kedamaian hingga menyadarkan kembali sang empu pada dunia yang sangat sial baginya. Terbangun duduk sejenak ia sebelum bergegas ke jendela kamar, membuka gorden dengan kasar dan berdiri tanpa ekspresi untuk menemukan sosok yang berani mengganggu jumat malamnya.

"Eh, siapa itu?" tunjuk seorang pria ke arah Rana yang hanya diam melihatnya dari jendela, pria kurus dengan kaca mata yang menepuk teman-temannya bergantian untuk menghentikan obrolan mereka, mengembalikan hening tengah malam tepat sebelum kedatangan tiga pria konyol depan gerbang rumah Rana.

"Ran ... Kal sudah tidur, ya?" kata seorang pria lain yang suaranya terdengar familiar di telinga Rana.

Rasa familiar yang membuat Rana menyipitkan matanya guna memperjelas penglihatan di malam hari, rasa familiar juga yang membuat Rana sedikit-banyak merasa bingung, "perasaan aku enggak punya banyak kenalan cowok, kenapa ada orang yang kayak aku kenal tapi dia kenal Kal?" gumam Rana seorang diri dengan bibir sedikit mengerucut.

Belum sempat Rana menemukan jawaban atas kebingungannya, belum juga ia menjawab pertanyaan itu. Kunci di ruang utama terdengar dibuka, disusul dengan Kal yang terlihat berlari ke arah gerbang untuk membuka gembok dan kunci.

Perilaku pria yang membuat Rana sontak bergegas keluar kamar, "apa-apaan? Ini rumahku, kenapa dia seenaknya undang tamu tanpa izin?" ucap Rana lalu berdiri di ambang pintu utama dan memperhatikan empat pria muda yang kini terdiam melihatnya.

"Rana," panggil seorang pria bersetelan kasual menghampirinya, mengangkat tangan kanan sebagai bentuk sapaan dengan senyum lebar seolah lama tak jumpa, "ingat gue? Sori waktu nikahan lo, gue enggak bisa datang karena ada urusan keluarga," ujarnya yang sama sekali tidak mendapat tanggapan dari Rana, bahkan ekspresi wanita itupun sama sekali tidak berubah.

"Jangan berisik, gue mau tidur," ucap Rana setelah membisu selama beberapa waktu, tidak memberi sambutan atau sahutan, tidak juga berekspresi terbuka atau menyenangkan.

Berbalik arah Rana lalu bergegas kembali ke dalam kamarnya, mengunci pintu kamar dan mengganjal pintu dengan kursi dari meja riasnya. Mengamankan diri atas segala kemungkinan buruk dari empat pria konyol di luar kamar, berbaring seperti semula dan mulai memejamkan mata guna melanjutkan mimpi indah.

Di sisi lain, empat pria itu bergegas masuk ke dalam rumah dan duduk santai di sofa ruang utama, "bini lo kaku banget, gue kira waktu di pelaminan itu dia jaim doang," komentar seorang pria hampir botak yang sudah bersandar ke sofa.

"Itu yang menarik gue sampai ke titik ini," jawab Kal lalu menatap lurus ke dinding yang terdapat foto pernikahannya dengan Rana, foto yang dipajang hanya untuk mengelabui orang-orang atas kesepakatan yang dibuat.

"Rana memang gitu orangnya," sambung pria bersetelan kasual yang tadi menyapa Rana dengan akrab, sapaan yang berakhir tragis dengan ekspresi datar penuh ketidakpedulian, "tapi lo masih berhubungan sama Fau?" lanjutnya bertanya pada Kal yang spontan menoleh dan berdeham singkat.

"Masihlah, cewek secantik dan sebaik Fafa. Kalau gue enggak bisa memilikinya, setidaknya gue bisa tetap jaga komunikasi sama dia, enggak baik juga putuskan komunik ...."

"Goblok."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status