"Ya ... kalau gue jadi Rana juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa gue tolong orang yang enggak akrab sampai harus mengancam karir? Kan gitu, logika dasar saja, Kal," ujar seorang pria bersetelan celana pendek dan tanpa baju, setelan dasar untuk pria saat bermalasan di malam hari, "menolong orang itu pasti, tapi bukan berarti harus mengancam karir," lanjutnya sambil berbaring.
"Tapi wajar buat Rana begitu ke gue yang berstatus sebagai suaminya?" tanya Kal seraya bergerak mundur untuk bersandar ke dinding terdekatnya. "Wajar saja menurut gue, kalian nikah juga karena tujuan masing-masing, kan? Kenapa lo jadi terpengaruh ke status pernikahan kalian? Itu memang resmi tapi enggak benar-benar mengikat kalian, kan?" sahut teman dari Kal, pria yang dikenal Kal sejak di bangku kuliah, Denandra Jamali. Terdiam sejenak Kal saat mendengar ungkapan dari temannya, "lo benar, bisa jadi juga Rana berpikir kayak lo. Tapi, perilaku Rana begitu bisa bikin pertanyaan ke orang-orang, kenapa dia enggak mencoba buat bertingkah normal? Bertingkah kayak istri pada umumnya pas suami dipecat." "Rana anggap lo sebagai suami kagak?" timpal pria yang akrab disapa Den. Membisu Kal saat mendengar pertanyaan singkat itu, ada begitu banyak pertanyaan yang rasanya hampa dan asing. Kenapa diri ini jadi mempertanyakan perilaku Rana dalam pernikahan? Sejak kapan diri ini mempertanyakannya? "Lo juga anggap Rana sebagai istri kagak?" sambung Den mengalihkan pandangan kosong Kal yang tertuju lurus pada pendingin ruangan, "pertimbangkan lagi saja keadaan, hati, dan pikiran lo." "Hm," deham singkat Kal lalu berbaring di lantai kamar, "gue pulang besok," lanjutnya memberitahu bahwa ingin menginap. Obrolan yang dengan cepat berakhir karena tanggapan singkat, dan tanggapan yang cukup menggambarkan pasrahnya diri pada suatu keadaan. Hening tercipta di antara kedua pria itu, saling berfokus pada ponsel dan pikiran masing-masing, tidak saling mengabaikan dan tidak juga saling peduli. Sampai waktu terus berjalan, jarum jam terus berputar, dan keadaan terus bergulir pada setiap waktu. Malam yang sunyi perlahan menghilang, suara bising dan bunyi deru mesin terdengar bersahutan. "Oi Kal ... Kalil." Kaki di atas bokong dan kedua tangan yang memasang dasi cukup menunjukkan kesibukan, "hm ...," deham Kal menjawab panggilan atas namanya. "Bangun oi bangun, gue mau berangkat kerja." "Hm," deham singkat lagi Kal perdengarkan pada Den, begitu malas rasanya untuk sekadar membuka mata atau berpindah posisi, "jam berapa?" tanya Kal memaksa dirinya untuk duduk meski masih menundukkan kepala dengan mata terpejam erat. "Sepuluh," jawab Den singkat, "gue mau ada rapat nanti habis jam makan siang, jadi agak santai tadi pagi," lanjutnya kemudian beralih ke cermin yang melekat di dinding, cermin berukuran sedang yang hanya memperlihatkan diri sebatas dada. "Sepuluh?" sentak Kal terkejut dan dengan cepat mengangkat kepala sekaligus membuka matanya lebar, teralih pandangannya ke arah jam dinding dan membuat mulut spontan terbuka sedikit untuk menarik napas singkat, "mampus gue." "Lo ke sini pakai mobil Rana, kan?" Melirik sedikit Kal pada Den yang terkekeh, "gue sudah coba bangunkan lo tadi jam enam, mau ajak beli sarapan tapi lo malah simulasi mati," sambungnya membuat Kal mengernyit, antara percaya dan tidak dengan ungkapan itu. "Sudah sana lo balik, gue mau berangkat," ucap Den jelas mengusir Kal agar dirinya cepat berangkat, begitu pula dengan Kal yang terpaksa bergerak cepat untuk menuju mobilnya, dan membiarkan Den berangkat kerja. Sepanjang hari yang begitu dahsyat membosankan terhias dengan aktivitas tidak berguna, kunci rumah yang tertinggal di tas kerja membuatnya tidak bisa pulang, bangun kesiangan dengan puluhan pesan teks, pesan suara, dan panggilan tak terjawab menghiasi ponsel. Kal tahu, sangat tahu jika dirinya dalam masalah karena sudah membawa mobil Rana dan mengabaikan panggilannya. Berkeliling kota tanpa tujuan, mencari berbagai kesibukan demi menekan rasa lapar yang sudah bergemuruh dalam perut, hingga menghasilkan suara menyedihkan. Sampai Kal memutuskan berhenti di salah satu taman pinggir kota yang terbilang sepi, tidur lagi menjadi tujuannya saat pusing hasil dari menahan lapar mulai menggelora. Belasan notifikasi dan undangan bermain gim terus berbunyi, tapi pikiran Kal kini hanya terfokus pada saat dirinya bertemu Rana nanti dan kondisi perut. Satu hari setelah dipecat, sungguh hari menyedihkan dan hari yang mengenaskan. Berbaring Kal di bangku taman yang sepi ini, mengisi tengah hari hingga sore nanti dengan tidur atau setidaknya sampai rasa sakit kepala sedikit berkurang. Kosongnya pikiran membawa Kal pada kehampaan yang terpendam, membuat pria itu berusaha menghampiri kegelapan untuk menggapai segala imajinasi tidak terbatas. *** Jingga sedikit ungu telah mewarnai sebagian langit, memperindah pemandangan bagi sebagian orang yang ingin memandangnya, dan memberi tanda bagi sebagian orang yang lalai pada waktu karena aktivitas harian. Sama halnya dengan seorang wanita cantik berpakaian formal, "loh sudah sore," ucapnya seorang diri dan terkekeh pelan, menertawakan dirinya yang sangat fokus pada berbagai laporan menjelang perilisan produk baru. "Bu Rana, saya pamit pulang." "Saya juga pamit ya, Bu." "Saya pam ...." "Iya, hati-hati di jalan," potong Rana pada anggota tim humas lainnya yang hendak berpamitan, senyum ramah Rana lakukan untuk mencegah omongan buruk yang akan didengarnya. Walau dirinya tidak peduli dan tidak ingin tahu, tapi bukan berarti pula telinga tidak panas saat mendengar gosip tentangnya. Senyum ramah lain pun turut diterima Rana, sampai pada seorang anggota humas terakhir yang justru melangkah masuk ke dalam ruangan Rana, "kenapa?" "Enggak pulang?" tanya orang yang juga Rana anggap sebagai asisten untuk urusan kantor, dan menjadi temannya bila tidak melibatkan urusan kantor. Sungguh harus dapat menempatkan diri dan membaca situasi. "Sebentar lagi," jawab Rana acuh tak acuh sambil merapikan meja kerja. "Kal ada di bawah deh kayaknya, tadi aku sudah turun terus lihat lampu mobil kamu menyala di parkiran belakang. Kal biasanya parkir di belakang, kan?" Mengernyit Rana saat temannya berkata demikian, tapi jika memang Kal ada di parkiran belakang. Kenapa Kal tidak menelepon atau sekadar memberi kabar? Kenapa tidak memberitahu resepsionis atau satpam? Kenapa tidak langsung ke ruangannya? "Kamu kenapa di parkiran belakang?" tanya Rana menolak dirinya untuk lengah pada keadaan. "Aku kan memang suka parkir di belakang, tadi juga sudah enggak ada kerjaan jadi pengen pulang duluan, eh malah lihat mobil kamu menyala," jawab wanita bernama Nifa itu dengan santainya terkekeh, jawaban yang sontak membuat Rana teringat kebiasaan Nifa yang cukup bertentangan dengannya. Rana lebih suka parkiran bawah tanah, membuat mobilnya dapat terhindar dari panas dan hujan. "Terus kamu naik lagi buat kabarin aku tentang itu?" Mengangguk pelan Nifa dengan senyum yang terukir tipis, "oh paham, biar aku enggak langsung pulang karena di belakang sudah ada yang jemput," kata Rana membuat Nifa mengangguk lagi. "Ya sudah kalau gitu aku pulang duluan ya," ucap Nifa hendak bergegas keluar ruangan Rana, sebab tujuannya kembali ke atas untuk mengabari Rana telah tuntas. Tidak ada alasan khusus lain yang membuatnya harus lebih lama bersama Rana. "Ayo turun bareng," ajak Rana kemudian berjalan di samping Nifa setelah menutup pintu ruangannya."Kemana saja seharian?"Tiga kata dalam kalimat tanya telah terdengar, dua jam lamanya Kal terdiam di ruang utama sejak tiba di rumah. Rasa lapar pun tidak lagi terasa sejak netra Rana menatap Kal dengan tajam dan tegas, seolah Kal adalah mangsa yang lezat. Dua jam lamanya pula Rana mengamati segala gerak-gerik Kal, dari mengubah posisi kaki, bersandar, sampai sekadar menguap tidak luput dari pandangan seorang Kirana Zendaya."Cari mobil ya? Tadi pagi gimana berangkat ker ....""Kemana saja seharian?" potong Rana dengan pertanyaan yang sama."Di rumah teman," jawab Kal terlihat canggung, pikirannya begitu kalut sejak menerima surat pemecatan di tengah bulan."Temanmu pengangguran juga?" tukas Rana bertanya tanpa memikirkan kondisi dan perasaan lawan bicara, hanya satu hal yang Rana tahu, bahwa dirinya mengalami kesulitan karena tidak ada kendaraan pribadi."Kagak, dia berangkat kerja tadi jam sepuluh karena ada rapat habis jam makan siang," jawab Kal yang cukup menyuratkan bahwa dirin
Hening terus mengintai meski jam digital sudah menunjukkan angka 22.00, begitu hening hingga cukup untuk memekakan telinga. Dalam kebimbangan dan rasa lelah, bersama kegelisahan dan rasa muak seolah bersatu tidak padu dengan keadaan kini."Janji jangan kasih saran gila," ucap Rana menunjuk Kal yang hanya terkekeh pelan, "terakhir kali kamu kasih saran tentang masalahku, kita malah menikah.""Ya ... mau gimana lagi? Harta buat orang tua lo sudah lebih dari cukup, tahta juga sudah cukup buat mereka dihormati sepanjang hidupnya," sahut Kal membuat Rana mengerucutkan bibirnya sebal, "jangan gitu bibir, gue cium lo.""Ih." Spontan Rana mengatup rapat bibirnya dan mendelik tajam pada Kal."Mata ngapain mata? Enggak takut gue," kekeh pria itu justru mengejek kelakuan istrinya, "santai saja santai, gue tahu batasan kok.""Harus," sentak Rana membuat Kal langsung mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya, "ih apasih, jangan macam-macam ya," tukas Rana menepis kasar tangan Kal."Lo lucu," ucap
Tergagap Rana mendengar ungkapan Kal, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diucapkan, ada ketidakpercayaan yang membentuk keraguan dalam dirinya, dan ada kebingungan yang menjadi kebimbangannya untuk bersikap. Sementara Kal, hanya bersandar dan mengamati beberapa lembar foto, "hm ... ini kelihatan foto asli bukan buatan AI, ini juga cetak sendiri kayaknya karena enggak ada tanda percetakan atau studio," ujar Kal menunjukkan selembar foto pada Rana yang hanya terdiam sambil menganggukkan kepala."Terus itu main judi dimana?" tanya Rana ingin mencari tahu apapun yang dapat menjadi informasi dari foto."Enggak ada tanda apapun yang khas, harusnya ada semacam tanda gitu, kayak kalau lo pesan ruang privat di restoran pasti ada semacam nama atau tanda khas restorannya," jawab Kal memberi contoh kecil."Hm ...," deham Rana dengan perasaan bingung, "eh! ngapain?" sentaknya langsung mengambil kotak dan lembaran foto itu dari dekat Kal."Gue foto saja salah satunya, nanti kalau ketemu sama d
Gedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing. Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya cur
Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua. Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab d
"Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop. "Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada. Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya. "Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesa
"Argh!" erang seorang wanita sambil memegang keningnya, sementara tangan lain memegang ponsel yang sedang menunggu sambungan telepon, "angkat dong, aku mau berangkat kerja," keluhnya seorang diri. Waktu sudah menunjukkan angka 06.33, kegelisahan dan kepanikan benar-benar membuat kakinya tidak berhenti melangkah. Bolak-balik ke teras dan ruang utama rumah, berharap tipis pada seseorang yang ditunggunya untuk segera pulang. Sampai sambungan telepon pun terjawab, "halo." Suara parau terdengar jelas di telinga wanita bersetelan formal, napas teratur dengan dengkuran tipis amat sangat mengganggu indra pendengarannya. Tidak banyak kata lagi, wanita yang akrab disapa Rana itu mematikan sambungan telepon dan beralih ke kontak yang dapat ia hubungi. Jessica Danti, sang kakak yang tidak bekerja namun memiliki satu kendaraan yang jarang digunakan. "Halo, Kak. Bisa jemput aku sekarang, enggak? Aku sudah terlambat banget, mobil dibawa Kal enggak tahu kemana," ujar Rana cepat tanpa menunggu
Tin! Klakson nyaring terdengar mengejutkan dari depan rumah, membuat seorang wanita sontak melepas rangkulan pada adiknya yang terkekeh kecil, "sudah pulang deh," ucap wanita yang akrab disapa Jess itu mengikuti adiknya, yang cepat bergegas keluar rumah setelah mendengar klakson, "kalau ada yang ganggu tidurmu, bisa minum obat tidur, pesan ojek daring buat ke sini, pakai penutup telinga, atau amuk saja yang berisik," ujarnya pada sang adik yang mengangkat tangan untuk hormat sembari menunjukkan barisan gigi, sebelum masuk ke mobil. "Saya titip Rana, jangan sampai dia kurang istirahat atau sakit," lanjut Jess sedikit menunduk untuk melihat suami Rana yang mengacungkan ibu jarinya, acungan ibu jari yang disertai senyum tipis. "Ya sudah hati-hati," kata kakak dari Rana itu kembali berdiri tegak dan menunggu kendaraan roda empat sang adik melaju, meninggalkan gang rumahnya dan tidak lagi terlihat sejauh mata memandang. Lajunya mobil membelah jalan besar yang ramai dengan berbagai kecep