Share

(6) Amarah Fafa

"Rana Rana Ran ...," ucap seorang pria memanggil nama istrinya berulang kali yang berdiam diri di dalam kamar, ketukan pintu terus dilakukan untuk mengganggu kenyamanan yang selalu dijunjung tinggi sang istri, meski ia tahu akan memancing emosi yang dapat menguras kesabaran.

"Apa?" sahut seorang wanita langsung membuka pintu tanpa memberi sedikitpun aba-aba, tidak menciptakan suara yang dapat menandakan bahwa pintu akan terbuka, dan tidak bersikap selayaknya seorang istri yang baru tahu suaminya dipecat.

"Tadi kata lo lanjut bahas di rumah saja, ini sudah di rumah tapi lo malah mengeram di kamar," ujar pria bernama Kal itu mengeluhkan ucapan sang istri yang berbeda saat di kantor tadi.

Mengecap mulut Rana yang terasa kering, tersenyum kecut ia sebelum menghembuskan napas penat dari mulut yang terbuka sedikit, "apa yang mau dibahas? Kalau buat bantu kamu dan memanfaatkan posisiku, aku jelas enggak bisa, enggak tahu, dan enggak mau berusaha juga," tukas Rana menegaskan keputusannya lagi, "kamu dipecat ya itu tanggung jawabmu sebagai pekerja, akan berbuat apa selanjutnya?"

"Ya gue yakin sih ini masih ada peluang, jadi bantulah suami lo ini, Ran," kata Kal terdengar konyol bagi Rana, ekspresi memelas yang menjijikkan membuat wanita itu sedikit merengutkan wajahnya.

"Kenapa seyakin itu masih ada peluang? Setelah melewati teguran lisan berulang kali dan dua kali surat peringatan, kenapa masih percaya diri bahwa ada kesempatan lain?" ucap Rana mempertanyakan cara berpikir suaminya yang terbilang aneh.

"Gue belum dapat SP-3 dan gue juga diberhentikan secara sepihak, mendadak, dan tanpa pesangon di pertengahan bulan kayak begini," jawab Kal membuat Rana terdiam sejenak sebelum terkekeh kecil, kekehan yang tentu membuat Kal sontak mengernyit heran atas reaksi wanita itu.

Berjalan santai cenderung malas dengan langkah terseret, duduk bersandar di sofa ruang utama, "ada beberapa perusahaan yang memberi SP-3 sekalian sama surat pemecatan, setelah melewati teguran lisan dan dua kali surat peringatan, kamu masih bilang itu pemecatan sepihak dan mendadak? Ini memang tengah bulan bahkan tengah musim, bukan musim untuk cari karyawan baru juga, tapi bukan berarti perusahaan bisa terus mempertahankan karyawan tidak kompeten, kan?" ujar Rana cukup menyulut emosi dalam kebingungan yang Kal rasa.

"Lo sebut gue enggak kompeten?"

"Aku cuma bicara fakta, karena tidak ada orang kompeten dan profesional yang main gim daring di jam kerja sampai kabur ke parkiran bawah tanah," tukas si Kepala Humas itu acuh tak acuh, walau ia tahu telah memancing emosi Kal, tapi baginya kebenaran memang menyakitkan untuk ditegakkan.

"Jadi lo bakal bantu gue, kan? Atau minimal tanya ke tim HRD, kenapa pecat gue di tengah-tengah begini?" rengek Kal menangkup kedua tangannya seolah memohon.

"Cih," decih Rana spontan dengan perilaku Kal, "dari pada meratapi yang sudah terjadi, lebih baik merenung dan berpikir tentang masa depan. Persiapkan diri buat cari kerja lagi saja," tuturnya kemudian berdiri lagi, cukup menandakan bahwa ia ingin kembali ke kamar.

"Lo enggak kasihan sama suami lo ini?" Menggeleng pelan Rana menjawabnya, "enggak punya hati banget sih, Ran," kata Kal disambut senyuman simpul Rana.

Senyuman simpul yang cukup menandakan bahwa Rana memang tidak peduli, hanya menanggapi sebagaimana makhluk hidup saling berinteraksi, "sebentar," kata Kal meluruskan tangannya dan menghalangi pintu kamar Rana yang hendak ditutup.

"Apalagi?"

"Pinjam mobil," ucap pria itu merapatkan bibirnya dan menatap Rana dengan harapan tinggi, sorot mata yang jelas menunjukkan keinginan besar.

"Jangan lecet, bau banci, habis bensin, habis aki, pecah kaca, atau penyok," tegas Rana menyiratkan izin untuk Kal yang langsung terkekeh.

Bergerak turun tangan Kal dan mengizinkan Rana untuk menutup pintu kamarnya, "tahu waktu," ucap wanita itu lagi tepat sebelum pintu tertutup.

Terangkat ibu jari Kal dengan senyum lebar menunjukkan barisan gigi, tanggapan yang cukup membuat Rana tersenyum kecut sebelum benar-benar menutup pintu kamar. Meninggalkan Kal yang langsung menuju kamar tidurnya dan bersiap diri.

***

"Seriusan? Kamu dipecat, Kak?"

"Masa sih istri kamu enggak mau bantu, Kak?"

"Ih jahat banget ya si Rana."

"Kamu sudah coba ke HRD langsung, Kak? Sendiri saja sudah, kalau istri kamu enggak mau bantu."

Menggeleng pelan Kal menanggapi pendapat dari empat teman wanitanya, menjadi satu-satunya pria dalam kelompok pertemanan wanita cukup membuat Kal seringkali menjadi pusat. Harus menjaga, melindungi, memastikan keamanan, namun juga seringkali harus menjadi objek ejekan dan kejahilan para wanita.

"Kok enggak sih, Kak?" sentak empat wanita itu serentak, mempertanyakan tanggapan Kal.

"Yang dibilang Rana juga benar, saat dapat teguran lisan aku malah pindah tempat main doang, aku juga abai pas dapat SP sampai dua kali," ujar Kal memahami omelan Rana, ujaran yang terdengar lembut demi menjaga perasaan empat wanita di hadapannya.

"Enggak benarlah!" seru seorang wanita bersetelan rok panjang dan kaus pendek, setelan yang menjadi ciri khasnya kala berkumpul, "apa-apaan dia ngomong begitu," lanjut wanita yang akrab disapa Fau, namun memiliki panggilan spesial dari Kal.

Panggilan yang didapat saat hubungan indah itu masih terjalin, hubungan yang kandas secara paksa, hingga membuat panggilan spesial itu menjadi panggilan tidak berarti. Fafa, namanya.

"Iya!"

"Benar itu, Kak."

"Masa istri enggak mau bantu, malah menyalahkan suaminya. Durhaka banget jadi istri."

"eh," tukas Kal memutus obrolan di antara empat wanita itu, "bukan enggak mau bantu, tapi Rana harus mengamankan situasi di tengah gosip kantor, Rana juga punya jiwa profesional dalam bekerja. Jadi aku cukup paham sama cara berpikirnya," lanjut Kal kemudian sedikit menunduk dan memejamkan mata, menekan kesabaran untuk menjaga emosi saat teringat ucapan Rana yang cukup menyinggung.

"Ck, begonya kumat deh kamu, Kak," decak Fafa menatap tajam Kal yang spontan mengangkat kepala untuk memandangnya, "Rana enggak serius sama kamu, makanya dia bertingkah seenaknya dan mengatasnamakan profesional buat bersikap egois," ketusnya mengerucutkan bibir.

"Ya ... aku kan nikah sama dia juga memang enggak serius, Fa. Kamu tahu itu," sahut Kal dengan tenangnya.

"Bukan masalahnya itunya, Kak. Orang-orang kan tahunya kalian benar-benar menikah, tapi kenapa dia enggak bertindak kayak istri pada umumnya? Minimal banget deh, dia peduli gitu ke kamu," oceh Fafa mendapat senyuman masam dari Kal.

"Enggak semudah itu, Rana orangnya idealis dan dia juga cenderung budek sama omongan orang. Buat dia lahir sendiri, hidup sendiri, bertahan hidup sendiri, mati pun sendiri." Kal berujar dengan tetap membela sang istri, bukan karena cinta tapi ini tentang cara logika dan sudut pandang bekerja.

"Ya Tuhan, Kak ... susah banget sih kamu dibilanginnya, batu kepala kamu sekarang," rengek Fafa menunduk dan menggigit bibir bawahnya, "Kak ... aku cuma enggak mau kamu jadi susah, kamu terlilit utang, atau sejenisnya karena buat bertahan hidup, padahal kamu punya istri yang harusnya bisa tolong kamu," ucapnya lagi dengan suara gemetar.

"Fa, kamu nangis?" tanya seorang wanita berbadan gempal merangkul Fafa, "Fa?" panggilnya dengan ragu sebelum mengalihkan pandangan pada Kal, menatap si pria berbadan atletis itu dengan tajam dan marah.

"Kak ... parah banget sih, niat Fafa itu baik loh. Segitunya banget belain cewek yang bahkan enggak peduli kamu hidup atau mati," ujar wanita lainnya dengan tahi lalat di dekat hidung.

"Kalil sudah berubah," sambung wanita lain lagi dengan lesung pipit menghiasi kedua pipinya.

"Minimal kalau punya otak dipakai, lihat kebaikan orang," kata Fafa kemudian memakai tas selempang dan beranjak pergi, disusul dengan tiga temannya yang sempat menatap marah Kal.

"Argh ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status