Share

(5) Surat Pemecatan [Revisi]

Tin!

Klakson nyaring terdengar mengejutkan dari depan rumah, membuat seorang wanita sontak melepas rangkulan pada adiknya yang terkekeh kecil, "sudah pulang deh," ucap wanita yang akrab disapa Jess itu mengikuti adiknya, yang cepat bergegas keluar rumah setelah mendengar klakson, "kalau ada yang ganggu tidurmu, bisa minum obat tidur, pesan ojek daring buat ke sini, pakai penutup telinga, atau amuk saja yang berisik," ujarnya pada sang adik yang mengangkat tangan untuk hormat sembari menunjukkan barisan gigi, sebelum masuk ke mobil.

"Saya titip Rana, jangan sampai dia kurang istirahat atau sakit," lanjut Jess sedikit menunduk untuk melihat suami Rana yang mengacungkan ibu jarinya, acungan ibu jari yang disertai senyum tipis.

"Ya sudah hati-hati," kata kakak dari Rana itu kembali berdiri tegak dan menunggu kendaraan roda empat sang adik melaju, meninggalkan gang rumahnya dan tidak lagi terlihat sejauh mata memandang.

Lajunya mobil membelah jalan besar yang ramai dengan berbagai kecepatan, kegelisahan Rana yang terus menoleh ke belakang, mengendus hal yang diraba, sesekali membuka kaca mobil, dan terhenti untuk menoleh ke sang suami yang masih tenang menyetir, "kenapa?" tanya suami dari Rana tanpa menoleh untuk melihat ekspresi istrinya.

"Kamu kemana tadi?" sahut Rana dengan pertanyaan juga.

"Bensinnya utuh kok, sudah gue isi," jawab pria yang biasa disapa Kal itu membuat Rana sontak mengernyit, "kenapa lagi?" katanya bertanya setelah menoleh dan mendapati ekspresi Rana.

"Kamu sama siapa tadi?" tanya Rana tidak mengindahkan urusan tangki bensinnya.

"Apa pentingnya buat lo? Yang penting kan mobil lo enggak lecet, bensinnya tetap penuh, dan lo masih gue jem ...."

"Mobil ini bau parfum banci," pungkas Rana menegaskan tujuannya bertanya, "ini mobil enggak jadi tempatmu berbuat, kan? Bisa sial ini mobil," lanjutnya membuat Kal spontan mengambil jalur kiri, dan menghentikan mobil usai menyalakan lampu darurat sebagai tanda.

"Lo banyak tanya dari tadi karena lo kira gue bagian dari mer ...." Mengangguk cepat Rana sebelum Kal selesai berucap, membuat pria itu sontak terkekeh, "lo unik memang, pikiran lo liar dan bisa menciptakan dunia cuma karena asumsi pribadi," sambungnya mematikan lampu darurat dan kembali berkendara.

"Jawab pertanyaanku dong," tukas Rana dengan ketusnya.

"Aduh Rana ... Rana," kekeh Kal mengurangi kecepatan mobil, "gue pergi sama teman cewek, dia bukan banci, dan cuma keliling kota karena dia bosan di rumah. Jadi enggak usah khawatir mobil lo kena sial," lanjutnya mendapat deham singkat dari Rana.

"Tapi kenapa parfumnya bau banci?" tanya Rana lagi setelah diam sejenak.

"Definisi parfum bau banci itu gimana, Ran? Padahal tadi dia pakai parfum vanila," jawab Kal mempertanyakan cara berpikir wanita berstatus sebagai istrinya, status yang didasarkan pada kesepakatan untuk tujuan masing-masing.

"Ya bau banci. Kayak melati kan bau kuntilanak."

"Berarti kalau ada yang pakai parfum melati, lo bilang parfum kuntilanak? Kalau ada yang minum teh melati, lo bilang teh kuntilanak?" tukas Kal yang hanya disambut terangkatnya dua bahu Rana dan bibir yang merengut acuh tak acuh, "pantas lo enggak punya teman."

"Enggak pengen juga," sambung Kepala Humas itu berhasil mengakhiri obrolan mereka, obrolan tanpa tujuan dan obrolan cenderung tidak guna bagi keduanya.

***

Sisa akhir pekan yang diwarnai dengan segala hal malas telah berakhir, dua hari tiga malam lamanya Rana beraktivitas secara acak. Bergerak hanya jika benar-benar niat, makan hanya jika sangat lapar, bahkan ke toilet jika perut sudah terasa sakit. Benar-benar akhir pekan yang tidak jelas.

Aktivitas kantor kembali dimulai untuk pekan kedua, melewati pekan pertama dengan berbagai tagihan, kebutuhan, dan keinginan hingga seolah melenyapkan bayaran hasil kerja selama satu bulan. Membuat berbagai perasaan dan suasana hati para pekerja, yang melanjutkan kegiatan dan pekerjaannya untuk bertahan hidup, atau mungkin hal lain yang dirasa cukup menarik.

Sama halnya dengan dua wanita cantik yang sedang duduk di sofa ruang kerja, bertukar cerita akhir pekan untuk mengisi waktu luang, "seriusan suami kamu jalan-jalan sama cewek lain pakai mobil kamu? Kamu enggak cemburu, Ran? Kamu enggak marah? Kamu enggak sedih, kesal, atau apa gitu?" cecar seorang wanita yang masih mengenakan kaca mata bulat untuk melengkapi gayanya.

Menggeleng pelan wanita bersetelan semi formal, menyesap kopi dengan santai saat menyaksikan ekspresi terkejut teman semata wayangnya itu, "iya aku tahu kalian nikah karena tujuan masing-masing, ada kesepakatan juga. Tapi jangan segitunya dong, Ran. Apalagi Kal ini dapat SP-2, apa kata orang nanti? Rana si cewek perfeksionis ternyata tidak profesional dalam mencari pasangan hidupnya, Rana si cew ...."

"Orang cuma tahu bicara doang, Nif. Santailah," potong Rana mengibaskan tangannya acuh tak acuh, "aku bisa kontrol diriku kok, kamu tahu aku," lanjutnya mengulum senyum tipis.

Terdiam teman Rana yang biasa disapa Nifa, membisu ia melihat reaksi temannya yang sangat tidak peduli pada pernikahan. Memandang sendu Rana dengan segala pikiran buruk tentang masa depan sang teman, apa yang akan terjadi pada seorang Rana jika ternyata Kal adalah komplotan penipu wanita? Apa yang akan terjadi pada Rana jika ternyata Kal tidak bisa menjadi laki-laki yang dapat diandalkan? Bagaimana mereka akan bertahan hidup ke depannya?

Terhela napas Nifa seraya menggeleng pelan saat melihat Rana bangkit untuk mengangkat telepon kantor yang berdering, "iya saya segera turun," ucap Rana lalu meletakkan kembali gagang telepon itu ke tempatnya dan bergegas mendekati Nifa, "aku mau ke resepsionis, mau ikut?"

"Hm ...," deham Nifa merapatkan bibirnya ragu, "boleh," lanjutnya setelah berdeham panjang dan mendapat ekspresi datar Rana.

Beranjak dua wanita itu menuju lif dan menekan tombol lantai dasar untuk turun, tidak butuh waktu lama untuk keduanya tiba di lobi kantor, "ada apaan memangnya, Ran?" tanya Nifa hanya mendapat abai dari Rana yang terus melangkah menuju meja resepsionis.

Langkah cepat Rana yang biasa dilakukan kala di lingkungan kantor, jelas membuatnya dapat menghemat waktu untuk banyak situasi, "ini?" tanya Rana pada resepsionis sambil memegang kotak yang berada di tepi meja.

"Iya, tapi mohon dibukanya di sini saja ya, Bu? Untuk berjaga-jaga, karena di sana tidak tertera pengirimnya, dan pengantar juga tadi hanya orang dari ojek pangkalan depan yang dibayar orang asing buat antarkan ini," ujar wanita bersetelan formal dengan rambut diikat rapi.

"Oke," kata Rana lalu membuka kotak itu dengan tenang, meski ia tahu pikiran orang sekitarnya kini berisi keburukan seperti bom, teror potongan tubuh manusia, atau segala yang menakutkan. Namun bagi Rana, jika hal itu memang harus terjadi, maka terjadi saja karena beberapa takdir memang tidak bisa dihindari, "foto isinya, saya bawa ke atas ya?" ucap Rana menunjukkan isi kotak yang terdapat banyak lembar foto terbalik ke resepsionis yang kemudian mengangguk.

"Ayo," ajak Rana pada Nifa yang sedari tadi diam memandang ke lorong lantai dasar, yang mengarah ke ruang kerja tim arsip, "kenapa?" tanyanya sambil melihat beberapa lembar foto yang cukup familiar.

Berniat untuk melihat sebagian isi kotak sambil menunggu respon dari Nifa, respon yang ditunggu tidak didapat, justru Rana mengernyit saat menyadari tiap lembar foto yang terasa familiar, "inikan suaminya Kak Jess?" gumam Rana memperhatikan selembar foto yang memperlihatkan seorang pria sedang melempar kartu ke atas meja bundar hijau.

"Rana!" teriak seorang pria berhasil membuat Rana sontak meletakkan lembar foto itu dan menutup kotaknya, beralih cepat Rana menghadap ke sumber suara walau taluan jantung masih seolah menghambat napasnya karena terkejut, "bantu gue sih, apa-apaan ini coba," kata pria itu menyodorkan amplop surat, membuat Rana spontan menitipkan kotaknya ke Nifa dan menerima amplop itu.

"Surat pemberhentian kerja ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status