"Kemana saja seharian?"
Tiga kata dalam kalimat tanya telah terdengar, dua jam lamanya Kal terdiam di ruang utama sejak tiba di rumah. Rasa lapar pun tidak lagi terasa sejak netra Rana menatap Kal dengan tajam dan tegas, seolah Kal adalah mangsa yang lezat. Dua jam lamanya pula Rana mengamati segala gerak-gerik Kal, dari mengubah posisi kaki, bersandar, sampai sekadar menguap tidak luput dari pandangan seorang Kirana Zendaya. "Cari mobil ya? Tadi pagi gimana berangkat ker ...." "Kemana saja seharian?" potong Rana dengan pertanyaan yang sama. "Di rumah teman," jawab Kal terlihat canggung, pikirannya begitu kalut sejak menerima surat pemecatan di tengah bulan. "Temanmu pengangguran juga?" tukas Rana bertanya tanpa memikirkan kondisi dan perasaan lawan bicara, hanya satu hal yang Rana tahu, bahwa dirinya mengalami kesulitan karena tidak ada kendaraan pribadi. "Kagak, dia berangkat kerja tadi jam sepuluh karena ada rapat habis jam makan siang," jawab Kal yang cukup menyuratkan bahwa dirinya menginap, "gue pergi kumpul semalam, terus pas gue mau pulang ternyata sudah jam setengah dua belas malam. Jadinya gue menginap saja, dari pada pulang malah ganggu lo tidur," jelasnya lagi sama sekali tidak mendapat ekspresi baik dari Rana. "Kita masing-masing punya kunci rumah," tegas Rana mengingatkan situasi yang sudah ada dan pernah disepakati untuk tempat tinggal. "Ada di tas kerja, gue enggak bawa." Kal berucap pelan tanpa melepas tatapannya dari netra Rana yang masih saja tajam menyorot, "pagi juga enggak pulang karena gue baru bangun jam sepuluh, itu juga karena teman gue mau ber ...." "Pemalas," sentak Rana singkat sambil bangkit dari sofa, "besok lagi pakai kendaraan dan semua punyamu sendiri," lanjutnya mengambil kunci mobil yang di dekat bufet televisi, dan beranjak masuk kamar, meninggalkan Kal yang termenung seorang diri. Setiap insan hidup dengan berbagai masalah, bertahan hidup dengan berbagai alasan, mengakhiri hidup dengan berbagai pemikiran, dan memikirkan masalah dengan berbagai cara. Perempuan atau laki-laki tidak ada bedanya, semua hanya tentang pemikiran, gaya hidup, cara pandang, dan alasan yang ada. Jika Kal bercerita menjadi salah satu caranya memikirkan masalah, maka berdiam diri dalam kesunyian menjadi cara Rana untuk memikirkan masalah. Seperti yang dilakukan Rana kini, duduk di tepi ranjang dan memandangi cermin di lemari pakaian, sesekali terpejam erat bersama napas yang cukup tenang, walau jelas berbanding terbalik dengan pikiran yang kalut. "Ini pasti salah satu risiko dari keputusan besarku," gumam Rana memandang bayangannya dengan cermat, seolah terjadi komunikasi dua arah, nyatanya berbicara sendiri dengan bayangan menjadi bagian dari kebiasaan Rana saat sendirian. Bukan gila dan bukan juga kelainan, bagi Rana cara ini lebih aman dari pada harus bercerita dengan manusia yang memiliki berbagai keberagaman. "Tapi kalau ini baru risiko awal, terus risiko lainnya nanti gim ...." Terhenti ucapan Rana saat merasa getaran di tas kerjanya, membuat ia teringat dengan ponsel yang terabaikan sejak pulang kerja, "oh Kak Jess," gumamnya sontak membuka mata lebar dan bergerak cepat ke kotak di atas meja rias, kotak yang diterimanya di kantor, dan berisikan foto suami dari sang Kakak. Bertalu cepat jantung Rana memandangi ulang kotak yang masih tertutup itu, sejak kapan dirinya kesulitan fokus dan berpikir jernih? Teralih pandangan Rana ke pintu kamarnya yang tertutup, apa sejak menikah dengan Kal? Sampai getaran di ponsel itu terhenti, Rana masih terdiam melihat ponsel dan kotaknya bergantian, "apa aku harus kasih tahu kak Jess? Tapi nanti jadi kayak ikut campur rumah tangganya," ucap Rana seorang diri dengan gelisah, "tapi kalau enggak dikasih tahu, terus ternyata ini foto asli dan Kak Jess terjebak sama cowok kayak gini, kasihan Kak Jess," lanjutnya meletakkan ponsel di meja rias lalu menangkup wajah. Ini bukan suatu masalah besar, Rana tahu. Tapi Rana juga tahu, bila salah langkah maka ini akan jadi masalah besar. Dapat merusak hubungannya dengan sang kakak atau merusak rumah tangga kakaknya, sungguh dua pilihan yang sama sekali tidak ada sisi positif yang nyaman di hati. Termenung ia memandangi dirinya di cermin meja rias, pandangan sendu kian menambah kegelisahan dalam benak. Teralih mata Rana pada layar ponsel yang menyala dan memperlihatkan pesan dari Jessica, pesan singkat yang cukup menandakan bahwa Jess ingin bicara dengan Rana sepulang kerja besok. Keputusan apa yang harus diambil? Bagaimana cara mengambil keputusan yang melibatkan saudara? Seumur hidup Rana, tidak pernah ada masalah yang dapat mengancam hubungan keluarganya. Berpikir keras membuat wanita cantik itu merasa haus, melangkah dengan malas dan enggan rasanya untuk keluar kamar. Hanya harapan tipis yang Rana inginkan sekarang, Kal sudah masuk dan menutup pintu kamarnya, dan tidak perlu bagi Rana untuk menekan emosi atau berjumpa si pria konyol. "Ran," panggil seorang pria sontak membuat sang pemilik nama harus menelan liurnya, "kenapa?" Diam, itulah yang Rana lakukan. Tidak ada gunanya juga menanggapi orang konyol seperti Kal, dan itulah yang Rana pikirkan. "Lo kenapa? Muka lo asam banget? Maafin ya maafin," ucap Kal berdiri tepat di belakang Rana, membiarkan sang istri meminum banyak air. "Bukan urusanmu," jawab Rana meletakkan gelas di atas meja dapur. "Eits! Enggak boleh lewat," sentak Kal membuka tangannya lebar sambil menghalangi jalan sang istri, bahkan berjalan mundur hingga tepat di depan kamar Rana, "lo kenapa? Kirana Zendaya kenapa? Si Kepala Humas yang jutek ini kenapa? Rana kenapa? Sayangnya gue kenapa? Istri gue kenapa?" tanya Kal berulang kali seolah mencecar Rana yang hanya terdiam sambil bersedekap dada. "Aku mau tidur," kata Rana tanpa menunjukkan ekspresi yang menyenangkan, meski begitu Kal terlihat sudah biasa menghadapi ekspresi dan tanggapan itu. "Lo enggak bakal bisa tidur kalau pikiran saja enggak rapi, yang ada mimpi buruk doang," ujar Kal sama sekali tidak mendapat tanggapan, "lahir, hidup, bertahan hidup, dan mati memang sendiri. Tapi lo tetap butuh orang lain, kan? Lo pasti tahu itu, kan?" "Makanya aku kerja dan menikah," jawab Rana singkat dan menatap Kal dengan pandangan acuh tak acuh. "Tapi sesekali lo tetap butuh tempat buat cerita," tukas Kal lalu menurunkan kedua tangannya yang sedari tadi terbuka, "masa setiap kali gue lihat muka jelek lo bilang lagi ada masalah, gue harus bujukin kayak gini. Capek dong gue," ujar Kal tersenyum kecut dan turut bersedekap dada seperti Rana. "Ya sudah enggak usah bujukin," ketus Rana kembali melangkah hendak masuk kamar, namun dengan cepat pula Kal mengangkat kedua tangannya lagi. "Kalau bukan gue, siapa lagi yang bakal peduli sama lo?" "Enggak ada, menurutku juga kamu bukan peduli tapi rusuh," jawab Rana menghasilkan kekehan ringan dari Kal, "terakhir kali aku memutuskan buat cerita ke orang lain yaitu kamu, berakhir aku harus menikah denganmu dan hidup penuh kesialan begini." Terdiam Kal sembari mengangkat alis kiri, "kesampingkan tentang terakhir kali lo curhat dan jadi nikah sama gue. Sekarang gue mau tanya, kesialan apa yang menimpa lo sejak nikah sama gue?" "Banyak!" seru Rana tiba-tiba, "banyak banget. Salah satunya pas kamu dipecat dan bikin aku diomongin banyak orang saja itu sial buatku, aku sudah berusaha baik dan sempurna saja masih jadi salah karena punya suami sepertimu. Apa enggak sial kayak gitu?" Terpejam mata Kal mendengar Rana, tersinggung tentu saja tapi Kal tahu ini bukan waktu untuk menanggapi perasaan tersinggung itu, "terus apalagi?" tanya Kal. Terdiam wanita cantik itu mendengar tanggapan suaminya, terasa seperti dejavu saat dirinya terpaksa bertanya dan bercerita pada seorang Kal. Terakhir kali ini terjadi, Rana bercerita tentang keinginan menikah untuk mengalihkan perasaan kedua orangtuanya dari pernikahan Jessica. "Aku dapat paket misterius."Hening terus mengintai meski jam digital sudah menunjukkan angka 22.00, begitu hening hingga cukup untuk memekakan telinga. Dalam kebimbangan dan rasa lelah, bersama kegelisahan dan rasa muak seolah bersatu tidak padu dengan keadaan kini."Janji jangan kasih saran gila," ucap Rana menunjuk Kal yang hanya terkekeh pelan, "terakhir kali kamu kasih saran tentang masalahku, kita malah menikah.""Ya ... mau gimana lagi? Harta buat orang tua lo sudah lebih dari cukup, tahta juga sudah cukup buat mereka dihormati sepanjang hidupnya," sahut Kal membuat Rana mengerucutkan bibirnya sebal, "jangan gitu bibir, gue cium lo.""Ih." Spontan Rana mengatup rapat bibirnya dan mendelik tajam pada Kal."Mata ngapain mata? Enggak takut gue," kekeh pria itu justru mengejek kelakuan istrinya, "santai saja santai, gue tahu batasan kok.""Harus," sentak Rana membuat Kal langsung mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya, "ih apasih, jangan macam-macam ya," tukas Rana menepis kasar tangan Kal."Lo lucu," ucap
Tergagap Rana mendengar ungkapan Kal, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diucapkan, ada ketidakpercayaan yang membentuk keraguan dalam dirinya, dan ada kebingungan yang menjadi kebimbangannya untuk bersikap. Sementara Kal, hanya bersandar dan mengamati beberapa lembar foto, "hm ... ini kelihatan foto asli bukan buatan AI, ini juga cetak sendiri kayaknya karena enggak ada tanda percetakan atau studio," ujar Kal menunjukkan selembar foto pada Rana yang hanya terdiam sambil menganggukkan kepala."Terus itu main judi dimana?" tanya Rana ingin mencari tahu apapun yang dapat menjadi informasi dari foto."Enggak ada tanda apapun yang khas, harusnya ada semacam tanda gitu, kayak kalau lo pesan ruang privat di restoran pasti ada semacam nama atau tanda khas restorannya," jawab Kal memberi contoh kecil."Hm ...," deham Rana dengan perasaan bingung, "eh! ngapain?" sentaknya langsung mengambil kotak dan lembaran foto itu dari dekat Kal."Gue foto saja salah satunya, nanti kalau ketemu sama d
"Lo main judi?" tanya pria bersetelan celana panjang dan kaus pendek santai, pria yang akrab disapa Kal itu menatap tajam temannya."Tahu dari siapa?" sahut pria dengan tubuh yang lebih tinggi dari Kal, pria yang lebih tua dari Kal, dan pria bernama Tomi Uraga yang akrab disapa Tom."Memangnya itu penting?" kata Kal bertanya lagi, terdengar berbasa-basi meski Kal begitu ingin memojokkannya dengan segala foto dari bukti yang ada."Pentinglah, gue harus tahu orang yang berani ikut campur ranah pribadi," jawab Tom membuat Kal spontan tersenyum miring, "lagian, apa pentingnya buat lo kalau gue main judi atau kagak?"Terdiam Kal memandang pria yang dikenalnya sejak kuliah, pria yang pernah menjadi kakak tingkat, pria yang membuat Kal merasa segan, dan pria yang hampir selalu Kal patuhi ucapannya, "lo kakak ipar gue?" ucap Kal bertanya setelah terdiam cukup lama.Mencerna keadaan dan mencoba untuk memahami segala hal yang mungkin terlewat, namun yang didapat hanya kehampaan belaka dan pikir
"Jadi?""Aku minta tolong banget jangan sampai Jessica tahu," ucap seorang pria setelah memberi penjelasan yang memakan banyak waktu, penjelasan yang sebenarnya sama sekali tidak ingin didengar, dan penjelasan yang sangat tidak penting, "aku malu banget kalau sampai harus pulang dengan tangan kosong, sudah jadi pengangguran, cari kerja juga susah karena usiaku," lanjutnya menangkup kedua tangan dan memohon."Kenapa harus malu?" tanya seorang wanita dengan acuh tak acuh, hanya satu alasan yang membuatnya bertahan karena ini semua bersangkutan dengan kakaknya."Kalian dari keluarga berpendidikan, punya takhta, banyak harta dan investasi," jawab pria yang akrab disapa Tom, "dan aku cuma pengangguran enggak jelas, apa masih pantas aku jadi suami Jessica?"Terdiam Rana mencoba untuk melihat dari sudut pandang kakak iparnya, meski ia masih ingin mencari tahu pengirim foto, memberi tahu sang kakak, dan tetap tidak ingin memaafkan. Namun kenapa pria di hadapannya kini seolah mengemis keadaan?
Gedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing. Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya cur
Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua. Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab d
"Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop. "Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada. Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya. "Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesa
"Argh!" erang seorang wanita sambil memegang keningnya, sementara tangan lain memegang ponsel yang sedang menunggu sambungan telepon, "angkat dong, aku mau berangkat kerja," keluhnya seorang diri. Waktu sudah menunjukkan angka 06.33, kegelisahan dan kepanikan benar-benar membuat kakinya tidak berhenti melangkah. Bolak-balik ke teras dan ruang utama rumah, berharap tipis pada seseorang yang ditunggunya untuk segera pulang. Sampai sambungan telepon pun terjawab, "halo." Suara parau terdengar jelas di telinga wanita bersetelan formal, napas teratur dengan dengkuran tipis amat sangat mengganggu indra pendengarannya. Tidak banyak kata lagi, wanita yang akrab disapa Rana itu mematikan sambungan telepon dan beralih ke kontak yang dapat ia hubungi. Jessica Danti, sang kakak yang tidak bekerja namun memiliki satu kendaraan yang jarang digunakan. "Halo, Kak. Bisa jemput aku sekarang, enggak? Aku sudah terlambat banget, mobil dibawa Kal enggak tahu kemana," ujar Rana cepat tanpa menunggu