Share

(8) Paket Misterius

"Kemana saja seharian?"

Tiga kata dalam kalimat tanya telah terdengar, dua jam lamanya Kal terdiam di ruang utama sejak tiba di rumah. Rasa lapar pun tidak lagi terasa sejak netra Rana menatap Kal dengan tajam dan tegas, seolah Kal adalah mangsa yang lezat. Dua jam lamanya pula Rana mengamati segala gerak-gerik Kal, dari mengubah posisi kaki, bersandar, sampai sekadar menguap tidak luput dari pandangan seorang Kirana Zendaya.

"Cari mobil ya? Tadi pagi gimana berangkat ker ...."

"Kemana saja seharian?" potong Rana dengan pertanyaan yang sama.

"Di rumah teman," jawab Kal terlihat canggung, pikirannya begitu kalut sejak menerima surat pemecatan di tengah bulan.

"Temanmu pengangguran juga?" tukas Rana bertanya tanpa memikirkan kondisi dan perasaan lawan bicara, hanya satu hal yang Rana tahu, bahwa dirinya mengalami kesulitan karena tidak ada kendaraan pribadi.

"Kagak, dia berangkat kerja tadi jam sepuluh karena ada rapat habis jam makan siang," jawab Kal yang cukup menyuratkan bahwa dirinya menginap, "gue pergi kumpul semalam, terus pas gue mau pulang ternyata sudah jam setengah dua belas malam. Jadinya gue menginap saja, dari pada pulang malah ganggu lo tidur," jelasnya lagi sama sekali tidak mendapat ekspresi baik dari Rana.

"Kita masing-masing punya kunci rumah," tegas Rana mengingatkan situasi yang sudah ada dan pernah disepakati untuk tempat tinggal.

"Ada di tas kerja, gue enggak bawa." Kal berucap pelan tanpa melepas tatapannya dari netra Rana yang masih saja tajam menyorot, "pagi juga enggak pulang karena gue baru bangun jam sepuluh, itu juga karena teman gue mau ber ...."

"Pemalas," sentak Rana singkat sambil bangkit dari sofa, "besok lagi pakai kendaraan dan semua punyamu sendiri," lanjutnya mengambil kunci mobil yang di dekat bufet televisi, dan beranjak masuk kamar, meninggalkan Kal yang termenung seorang diri.

Setiap insan hidup dengan berbagai masalah, bertahan hidup dengan berbagai alasan, mengakhiri hidup dengan berbagai pemikiran, dan memikirkan masalah dengan berbagai cara. Perempuan atau laki-laki tidak ada bedanya, semua hanya tentang pemikiran, gaya hidup, cara pandang, dan alasan yang ada.

Jika Kal bercerita menjadi salah satu caranya memikirkan masalah, maka berdiam diri dalam kesunyian menjadi cara Rana untuk memikirkan masalah. Seperti yang dilakukan Rana kini, duduk di tepi ranjang dan memandangi cermin di lemari pakaian, sesekali terpejam erat bersama napas yang cukup tenang, walau jelas berbanding terbalik dengan pikiran yang kalut.

"Ini pasti salah satu risiko dari keputusan besarku," gumam Rana memandang bayangannya dengan cermat, seolah terjadi komunikasi dua arah, nyatanya berbicara sendiri dengan bayangan menjadi bagian dari kebiasaan Rana saat sendirian. Bukan gila dan bukan juga kelainan, bagi Rana cara ini lebih aman dari pada harus bercerita dengan manusia yang memiliki berbagai keberagaman.

"Tapi kalau ini baru risiko awal, terus risiko lainnya nanti gim ...." Terhenti ucapan Rana saat merasa getaran di tas kerjanya, membuat ia teringat dengan ponsel yang terabaikan sejak pulang kerja, "oh Kak Jess," gumamnya sontak membuka mata lebar dan bergerak cepat ke kotak di atas meja rias, kotak yang diterimanya di kantor, dan berisikan foto suami dari sang Kakak.

Bertalu cepat jantung Rana memandangi ulang kotak yang masih tertutup itu, sejak kapan dirinya kesulitan fokus dan berpikir jernih? Teralih pandangan Rana ke pintu kamarnya yang tertutup, apa sejak menikah dengan Kal?

Sampai getaran di ponsel itu terhenti, Rana masih terdiam melihat ponsel dan kotaknya bergantian, "apa aku harus kasih tahu kak Jess? Tapi nanti jadi kayak ikut campur rumah tangganya," ucap Rana seorang diri dengan gelisah, "tapi kalau enggak dikasih tahu, terus ternyata ini foto asli dan Kak Jess terjebak sama cowok kayak gini, kasihan Kak Jess," lanjutnya meletakkan ponsel di meja rias lalu menangkup wajah.

Ini bukan suatu masalah besar, Rana tahu. Tapi Rana juga tahu, bila salah langkah maka ini akan jadi masalah besar.

Dapat merusak hubungannya dengan sang kakak atau merusak rumah tangga kakaknya, sungguh dua pilihan yang sama sekali tidak ada sisi positif yang nyaman di hati. Termenung ia memandangi dirinya di cermin meja rias, pandangan sendu kian menambah kegelisahan dalam benak.

Teralih mata Rana pada layar ponsel yang menyala dan memperlihatkan pesan dari Jessica, pesan singkat yang cukup menandakan bahwa Jess ingin bicara dengan Rana sepulang kerja besok. Keputusan apa yang harus diambil? Bagaimana cara mengambil keputusan yang melibatkan saudara? Seumur hidup Rana, tidak pernah ada masalah yang dapat mengancam hubungan keluarganya.

Berpikir keras membuat wanita cantik itu merasa haus, melangkah dengan malas dan enggan rasanya untuk keluar kamar. Hanya harapan tipis yang Rana inginkan sekarang, Kal sudah masuk dan menutup pintu kamarnya, dan tidak perlu bagi Rana untuk menekan emosi atau berjumpa si pria konyol.

"Ran," panggil seorang pria sontak membuat sang pemilik nama harus menelan liurnya, "kenapa?"

Diam, itulah yang Rana lakukan. Tidak ada gunanya juga menanggapi orang konyol seperti Kal, dan itulah yang Rana pikirkan.

"Lo kenapa? Muka lo asam banget? Maafin ya maafin," ucap Kal berdiri tepat di belakang Rana, membiarkan sang istri meminum banyak air.

"Bukan urusanmu," jawab Rana meletakkan gelas di atas meja dapur.

"Eits! Enggak boleh lewat," sentak Kal membuka tangannya lebar sambil menghalangi jalan sang istri, bahkan berjalan mundur hingga tepat di depan kamar Rana, "lo kenapa? Kirana Zendaya kenapa? Si Kepala Humas yang jutek ini kenapa? Rana kenapa? Sayangnya gue kenapa? Istri gue kenapa?" tanya Kal berulang kali seolah mencecar Rana yang hanya terdiam sambil bersedekap dada.

"Aku mau tidur," kata Rana tanpa menunjukkan ekspresi yang menyenangkan, meski begitu Kal terlihat sudah biasa menghadapi ekspresi dan tanggapan itu.

"Lo enggak bakal bisa tidur kalau pikiran saja enggak rapi, yang ada mimpi buruk doang," ujar Kal sama sekali tidak mendapat tanggapan, "lahir, hidup, bertahan hidup, dan mati memang sendiri. Tapi lo tetap butuh orang lain, kan? Lo pasti tahu itu, kan?"

"Makanya aku kerja dan menikah," jawab Rana singkat dan menatap Kal dengan pandangan acuh tak acuh.

"Tapi sesekali lo tetap butuh tempat buat cerita," tukas Kal lalu menurunkan kedua tangannya yang sedari tadi terbuka, "masa setiap kali gue lihat muka jelek lo bilang lagi ada masalah, gue harus bujukin kayak gini. Capek dong gue," ujar Kal tersenyum kecut dan turut bersedekap dada seperti Rana.

"Ya sudah enggak usah bujukin," ketus Rana kembali melangkah hendak masuk kamar, namun dengan cepat pula Kal mengangkat kedua tangannya lagi.

"Kalau bukan gue, siapa lagi yang bakal peduli sama lo?"

"Enggak ada, menurutku juga kamu bukan peduli tapi rusuh," jawab Rana menghasilkan kekehan ringan dari Kal, "terakhir kali aku memutuskan buat cerita ke orang lain yaitu kamu, berakhir aku harus menikah denganmu dan hidup penuh kesialan begini."

Terdiam Kal sembari mengangkat alis kiri, "kesampingkan tentang terakhir kali lo curhat dan jadi nikah sama gue. Sekarang gue mau tanya, kesialan apa yang menimpa lo sejak nikah sama gue?"

"Banyak!" seru Rana tiba-tiba, "banyak banget. Salah satunya pas kamu dipecat dan bikin aku diomongin banyak orang saja itu sial buatku, aku sudah berusaha baik dan sempurna saja masih jadi salah karena punya suami sepertimu. Apa enggak sial kayak gitu?"

Terpejam mata Kal mendengar Rana, tersinggung tentu saja tapi Kal tahu ini bukan waktu untuk menanggapi perasaan tersinggung itu, "terus apalagi?" tanya Kal.

Terdiam wanita cantik itu mendengar tanggapan suaminya, terasa seperti dejavu saat dirinya terpaksa bertanya dan bercerita pada seorang Kal. Terakhir kali ini terjadi, Rana bercerita tentang keinginan menikah untuk mengalihkan perasaan kedua orangtuanya dari pernikahan Jessica.

"Aku dapat paket misterius."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status