"Saya pulang ya, Pak. Sekali lagi, saya minta maaf sebesar-besarnya."
Setelah mereka turun dari mobil. Nadia langsung ingin berpamitan dan pulang.
"Nadia, ayo mampir! Kamu sepertinya terlihat pucat. Nanti saya suruh supir saya, yang mengantar kamu."
"Tapi, Pak. Saya...."
"Ini perintah dari dosen!" tegas Ryan tidak ingin dibantah. Walaupun sudut bibirnya terasa nyeri.
Dengan ragu, Nadia mengangguk dan ikut masuk ke dalam rumah dosennya.
"Astaga, Ryan kamu membawa perempuan? Dia siapa? Pacar kamu kan? Akhirnya putra mami normal."
Nadia tersenyum canggung. Tunggu! Normal? Jadi, selama ini dosennya tidak pernah memiliki kekasih
Nadia mondar-mandir menelpon Bara. Karena mamanya terus saja bertanya tentang keberadaan Bara. Ryan yang ada di samping Nadia hanya bisa diam memperhatikan, gelagat gelisah gadis itu. Sejak satu jam yang lalu."Bara!" Akhirnya sambungan terhubung, membuat Nadia menghela nafas lega."Ini gue Celina. Bara lagi beli makanan.""Kalian dimana sekarang?""Rumah gue.""Oh gitu. Ya udah, gue tutup."Sambungan terputus. Nadia mencengkram ponselnya dengan wajah suram."Kamu yang sabar, Nadia."
Bara memojokkan Nadia ke dinding rumah sakit yang berada di pojok terowongan. Nadia merinding karena merasa sepi dan sunyi. Kenapa juga, Bara mengajaknya ke tempat sepi ini?"Jujur sama aku, Nadia! Kamu suka sama dokter itu?""Gak! Aku bukan kamu, yang gampang simpati sama orang lain."Bara tersenyum miring dan semakin menghimpit, Nadia. Membuat Nadia ketakutan setengah mati."Sesak, Bar! Kamu mau bunuh aku, ya?" sarkas Nadia."Jangan deket sama dia. Aku gak suka.""Kamu juga. Jangan dekat dengan dia. Aku gak suka."
Bara mengecup pucuk kepala Nadia, setelah sampai di depan fakultas gadis itu. Dua sahabat Nadia, ikut senang melihatnya.Akhirnya hubungan mereka kembali utuh seperti sedia kala. Semoga saja Bara, tidak lagi tertipu dengan akal muslihat si dua ular betina.“Semangat kuliahnya, Sayang. Nanti aku jemput.”“Kamu kan kerja, Bar. Nanti aku pulang sama Lala, ajha,” ujar Nadia. Bara kasihan harus bolak-balik dari kantor ke kampusnya. Nadia tahu, tunangannya ini sangat sibuk, jadi ia harus pengertian ke Bara.Kalau soal yang lain, Nadia tidak mau. Hanya mengalah dengan pekerjaan Bara. Nadia masih memakluminya.“Makasih ya, Sayang. Ingat! Jangan dekat-dekat sama manusia
Celina tersenyum melihat layar ponselnya. Setelah seminggu, Bara kembali menelponnya. Ingin bertemu dengannya. Membuatnya kembali ada semangat dalam hidupnya.“Bara?” tanya Marisa. Celina mengangguk. Marisa ikut bahagia melihat Celina tersenyum seperti sekarang ini. Tidak menangis seperti beberapa hari yang lalu.Marisa mengusap bahu Celina, “Gue yakin, Bara rindu sama lo dan ingin minta maaf. Pasti Bara nyesel udah bilang seperti itu ke lo, Cel.”Dengan menghembuskan nafas berat. Celina menatap Marisa dengan intens. Terbesit di dalam benaknya tidak ingin semua ini berakhir secepatnya. Sebelum Bara menjadi miliknya.“Bagaimana kalau semuanya telah usai, Ris? Gue takut. Gue jadi ragu buat ngelanjutin semuanya.”
“Kalian dengar sesuatu, gak?” tanya Nadia, hendak melangkah masuk ke dalam toilet. Namun langkahnya terhenti ketika namanya disebut, dalam percakapan itu.“Kita labrak, ajha!” ujar Lala. Maya langsung membekap mulutnya. Membuat Lala bungkam.“Kita dengar dulu.”“Gue mau, lo tuker map kosong ini, dengan punya Nadia. Gue gak mau tahu. Nadia anak ekonomi, tunangannya Bara. Lo tahu, kan?”“Tapi semua ini akan sulit, kalau bayaran gue gak di tambah.”“Gue akan tambah, setelah rencana lo berhasil. Gimana?”“Gue setuju. Gue juga lagi butuh duit sekarang.”
Bara menutup mata Nadia dengan kain berwarna merah. Memapah gadis itu untuk ke suatu tempat. Nadia sebenarnya takut seperti ini. Seakan dirinya hilang dari muka bumi. Nadia sangat takut akan kegelapan. Apalagi ini, tutup matanya sangat tebal.“Bar! Takut. Kita mau kemana, sih? Kamu gak akan macam-macam, kan?” Nadia merengek.“Gak, Sayang. Mana berani aku macam-macam. Kamu galaknya minta ampun.”Nadia menghela nafas. Ketika Bara menyuruhnya duduk. Sebenarnya ia ragu. Namun Bara mengelus tangannya, sehingga Nadia memantapkan hatinya. Dan mengikuti perintah Bara.Mereka duduk berhadapan di sebuah meja. Di restoran mewah milik keluarga Bara. Telah tersedia meja di rooftop. dengan sajian makanan k
Dengan tatapan nanar, Nadia dan Bara masuk ke dalam butik tersebut. Nadia berjongkok memegang alat yang membantu semua kerusuhan ini terjadi. Sebuah tongkat baseball dan beberapa kayu berukuran besar berserakan di mana-mana. Dengan semua karyawan yang menunduk, berkumpul di satu tempat. Siap untuk mendengar introgasi darinya.“Apa yang terjadi? Via! Jawab pertanyaan saya?!” tanya Nadia menatap salah satu karyawannya itu.“Maaf, Bu Nadia. Kami sudah menghalangi mereka. Namun mereka tidak bisa dihentikan. Jumlah mereka sangat banyak. Bahkan dua satpam butik, sekarang dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi yang memprihatinkan.”Nadia melangkah mendekati desain sebuah gaun untuk nyonya Vivi, seharga kisaran puluhan juta telah hancur dengan sobekan di mana-mana. Pandangan Nadia mengabur, tiba-tib
“Hei, Sayang!” teriak Bara, seketika menangkap tubuh Nadia yang lemas dan pingsan di dekapannya.Tidak ada sahutan dari Nadia. Dengan perasaan khawatir dan amarah yang memuncak. Bara langsung menggendong Nadia menuju ke dalam mobilnya.“Bertahan, Sayang. Aku janji, akan membalas mereka sampai ke akar-akarnya!” tegas Bara mengepalkan tangannya.Mobil Bara melaju dengan kecepatan penuh. Menuju rumah sakit terdekat. Wajah Nadia terlihat sangat pucat dengan deru nafas yang lemah. Bara tidak bisa melihat Nadia seperti ini. Ia seperti orang gila, mengusap wajahnya dengan kasar.Sedangkan dua wanita yang melihat hal tersebut dari atas rumahnya tersenyum miring dengan sorakan bahagia.“Rencana kita berha