Aku membuka kedua mata, berat. Aku berada di ruangan berwarna putih. Dengan selang infus terhubung di pergelangan tangan kiriku. Ku usahakan mengangkat kepala, berat. Kutenangkan diri terlebih dahulu. Ku arahkan pandangan ke segala arah. Untuk memastikan di ruangan apa aku berada. Rumah sakit, sedikit demi sedikit Aku mulai bisa mengenali sekeliling. "Syukurlah kalau bapak sudah sadar." Ku lihat ke arah sumber suara. Pak Somad. "Ada apa ini pak Somad? Kenapa saya berada di sini." Pak Somad mendekat. "Dua hari yang lalu, Bapak kecelakaan. Bapak terjatuh bersama mobil yang Bapak kendarai. Mobil itu menerjang pinggiran jembatan dan jatuh ke sungai. Bapak sendiri terlempar keluar, tercebur ke sungai. Menurut dokter, Bapak mengemudi dalam keadaan mabuk." Aku kembali mengingat-ingat. Oh iya pak Somad benar. Malam itu aku pulang dengan keadaan masih mabuk. Inikah bahaya mengemudi dalam keadaan mabuk? Aku berusaha untuk bangkit, tapi nyeri dit
Salah satu dari para pengintai yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka merasa terpanggil untuk menunjukkan keberadaannya, siapakah dia? "Oh ternyata ini yang kalian lakukan, memeras dan menipu orang." Sebuah suara berat seorang laki-laki mengganggu kebahagiaan mereka. Dua perempuan licik itu menoleh. Bilna seperti mengingat-ingat sesuatu. "Anda siapa ya? seperti saya pernah melihat tapi di mana ya?" Bilna bertanya dengan gugup. Laki-laki tadi mendekat. Dari nada bicaranya bisa ditebak laki-laki tersebut sedang menahan amarah. "Tentu saja kamu pernah melihatku aku pernah datang ke acara pernikahanmu dan Habib." Kedua mata pria itu menatap tajam kearah Bilna dan ibunya secara bergantian. namun Bu Naura juga menatap tidak kalah tajam. "lalu Apa tujuanmu kemari masuk ke rumahku tanpa permisi kamu pikir rumah siapa ini sehingga membuatmu merasa bebas memasukinya tanpa pamit padaku sang tuan rumah." Bu Naura mendekati lelaki yang datang
"Bilna anak saya tidak bersalah, Pak. Semuanya saya yang melakukannya sendiri." Setelah semua bukti di sodorkan, akhirnya Terpaksa aku menyerah juga. "Berhubung dengan hal ini, rekening ibu terpaksa kami sita. Untuk mengganti kerugian korban yang telah Anda tipu." Seorang kepala kepolisian berkata tegas. Aku harus berpikir lebih keras, sebelum pengadilan diadakan. Sebuah inisiatif muncul di kepala. Sebaiknya aku suapi saja mereka dengan uang. Uang hasil menjual rumah Ibu Eri dulu masih tersisa banyak. Dan juga dengan tujuan lain untuk menutup mulut mereka, karena aku tidak menginginkan kasusku menjual rumah orang tua Habib itu dibongkar. Sedangkan Rama, dia ikut campur masalah ini hanya karena ingin membantu calon mertuanya. baiklah akan ku berikan sejumlah uang untuk mengganti rugi kepada ayahnya Aliyah. sekaligus calon mertuanya. Seandainya saja rumah itu bukan atas nama Ibunya Aliyah, mungkin masalahnya tidak akan serumit ini.*** Berkat i
Dengan langkah lemas, aku meninggalkan kediaman lelaki yang telah menanamkan benih di perutku. Padahal aku tidak meminta untuk dinikahi, cuma ingin agar dia bisa menerima anak ini sebagai anaknya. Jadi setelah anak ini lahir, aku bisa meninggalkan anak ini padanya. Namun jangankan menerima, bersimpati saja tidak. Pria jahat. Tapi apa daya, memang dulu sudah keinginanku agar bisa hamil, buat memanfaatkan Habib yang mandul. Tapi kenyataannya, baru sebentar saja aku dan ibu menikmati keberhasilan, ada yang ikut campur masalah kami. Rama. Rama, lelaki yang begitu berkharisma, tega-teganya membuat kami menderita. Apa Aliyah yang telah membujuknya? Dia kan mengaku calon suaminya Aliyah. Pas sekali. dugaanku sudah pasti tepat. Ku pinggirkan mobil di bawah sebuah pohon di pinggir jalanan. Disini air mataku mengalir deras. Mungkin Aliyah ingin membuatku iri melihat calon suami barunya. Meski memang dalam hati rasa iri itu ada. Mengapa justru Aliyah berna
Bilna kelewatan sekali, setelah dia dan ibunya menjual rumah ibuku, sekarang kembali menghubungi Ayah dengan dalih sedang butuh. Rama sudah mengabari, bahwa Bilna dan ibunya sudah berhasil di temukan. Ibunya adalah dalang di balik penggadaian rumah ibu. Bilna pasti sedang dalam kesulitan. Makanya butuh ayahku. Tidak akan kubiarkan mereka memanfaatkan Ayah lagi. Terdengan klakson kendaraan mobil di luar berulangkali. Siapa gerangan kurang kerjaan seperti ini. Aku meinggalkan meja kerja, melihat siapa gerangan yang datang. Uufh... Bilna? Ternyata dia nekat untuk benar-benar datang kemari.Sesak nafasku melihat kedatangannya bersama perut yang membesar dengan dresh pendek. Dengan sombong Bilna berjalan mendekatiku. "Bagus, rupanya kau sedang ada di rumah." Ungkapnya angkuh. "Apa maksudmu datang ke rumah ku Bilna?" "Aku datang kemari untuk menemui papaku. Bukan untuk menemuimu." "Untuk apa kamu ingin menemuinya?" "Aku datang
"Pa, sepertinya kita harus mencari rumah sewaan deh. Papa punya duit kan buat bayar sewanya? Kalau bisa yang agak mewah sedikit lah. Masa kita harus ngontrak di rumah jelek." Sambil menyetir, kucoba menanyakan uang Papa. Tidak ada jalan lain, sekarang hanya Papa yang bisa dimanfaatkan. Papa hanya mengangguk. "Pa, soal kemaren itu Bilna benar-benar minta maaf. Bilna tidak pernah bermaksud untuk memanfaatkan harta Papa. Kemarin itu, Mama mengajak Bilna pergi. Katanya buat liburan biasa. Ya Bilna nggak curiga lah. Bilna nurut saja. Tahu-tahunya Mama melarikan uang Papa. Bilna sungguh nggak tahu apa-apa." Berusaha ku berbicara dengan mimik meyakinkan. Supaya dia yakin dengan bualanku. Lelaki tua ini pasti percaya. "Ooh begitu. Syukur ketika Aliyah ingin menunjukkan percakapanmu dan Mamamu, Papa menolak untuk mendengarnya. Menurut papa uang Ayah kembali itu sudah cukup. Tapi ternyata Aliyah tidak mengizinkan uang itu masuk ke rekening Papa. " Degh... Aku mera
Tujuanku sekarang adalah Mila. Dia pasti sudah mengetahui dimana keberadaan Rama. Kemarin sudah ku bilang padanya untuk segera mencari dimana rumah Rama. Setelah itu hanya dia tempatku berbagi cerita dan saling memberi masukan. Sekian jam lamanya, sampai juga aku di rumah Mila. Kupanggil nomornya, supaya dia tahu bahwa aku sudah berada di depan rumah. Tidak butuh waktu lama, Mila datang menghampiriku. "Masuk Tuan Nyonya. Mari...!" Mila menawari. Kebiasaannya memanggilku Tuan Nyonya. Tapi perasaan hari yang gerah ini mbuatku malas untuk masuk cukup di luar daja. Udaranya lebih sejuk. "Di sini ajah Mil. Hawanya sejuk dan segar. Oh iya, coba berhenti memanggilku Tuan Nyonya, cukup panggil Mbak aja. Biar lebih akrab." Sebuah kursi di bawah sebuah pohon rindang menjadi pilihanku untuk duduk. Bukan tidak mau di panggil Tuan Nyonya, tapi dengan keadaan sekarang aku merasa malu dengan panggilan itu. "Eeh iya, Mbak. Mila buatkan minuman dulu ya."
Uang tabungan sudah kian menipis. Kontrakan harus di bayar dalam waktu dekat. Mengapa hidupku bisa berubah 180 derajat setelah ibu meninggal. Tidak ada lagi para pembantu yang melayani kehidupan sehari-hari. Tidak adalagi rumah megah nan mewah. Sekarang tidurpun hanya beralaskan kasur tipis. Sudah berusaha kesana kemari mencari pekerjaan, anehnya, tidak ada yang mau menerima. Apa karena aku cacat? Ya sekarang jalanku sudah tidak bisa segagah dulu. Tangan kanan ini sudah tidak senormal dulu. Dengan langkah kakiku yang bisa di sebut terseok-seok. Mengundang beberapa mata yang melihat memandang iba. Habib, Habib. Sekarang aku merasakan menjadi manusia biasa tanpa jabatan. Begitu susahnya walau sekedar untuk membeli membeli makanan di resto mewah. Padahal dulu makanan mewah adalah santapanku sehari-hari. Dengan tertatih-tatih ku bawa berkas-berkas di dalam tasku. Mencoba kembali mencari keuntungan. Siapa tahu ada perusahaan yang mau menerimaku walau hany