Share

Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)
Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)
Author: Bemine

Bab 1: Gelora Cinta Sang Berondong

Tante ya Tante!

“Kak Naila!” Seruan keras dari lelaki muda membuat wanita itu menoleh. 

Seketika wajahnya berubah masam. Sudah hampir dua puluh menit lamanya dia menunggu sang adik di sana. Menjadi pusat perhatian dari banyak mahasiswa yang lalu lalang di sepanjang jalan. 

Naila, nama cantik yang diberikan Presdir dari Halim Group itu tidak sejalan dengan sikapnya. Arogan, keras kepala, bahkan mudah marah merupakan karakter utama yang mendasari sikap Naila. 

Saat ini, tangan Naila sudah tergenggam. Bersiap-siap menoyor kepala adiknya yang membuatnya menunggu hampir setengah jam di sana. 

Melihat kuda-kuda dari Naila, Andrian berhenti berjalan. Matanya memicing memastikan keadaan. 

“Mau kemana?” Naila berteriak. Tidak perduli jika dirinya menjadi sorotan dari seluruh mahasiswa yang berkeliaran di sana. 

“Kak! Kak, aku-aku .....” 

“Aku apa, hah? Kamu membuatku menunggu dua puluh menit di sini, Adrian! Seharusnya aku sudah di rumah, beristirahat dengan nyaman. Bukannya menunggui adik nakal seperti dirimu,” gerutu Naila. 

Adrian menggaruk belakang kepalanya. Merasa bingung bagaimana cara merespon dari sikap kakaknya.

“Hei, Bro!” 

Punggung Adrian ditepuk. Pemuda berwajah menggemaskan seumuran Adrian menghampiri Adrian. 

“Kamu kenapa? Itu siapa?” tanyanya tanpa ragu. Kedua matanya menatap takjub pada mobil sport berwarna biru gelap yang dibawa Naila. Lalu memicingkan mata, menyorot Naila dari ujung kaki hingga kepala. 

“Cantik! Tantemu, Bro?” 

Andrian segera berdehem. “Diamlah, dia kakakku, kamu ingin dikuliti olehnya?” bisik Adrian.

Lelaki yang dipanggil Xavier itu mengangguk. Lalu kembali menatap Naila dengan sorot mata yang berbeda. 

Bukannya dia tidak sadar, jika gadis berusia 26 tahun di depannya itu adalah pewaris dari perusahaan Halim Group, sekaligus kakak dari Adrian. Namun, Xavier begitu penasaran, ingin sekali menguji kebenaran perihal isu yang beredar jika gadis itu adalah pemimpin yang arogan.

“Lihat apa kamu, Bocah?” tegur Naila. Naila mengangkat kacamatanya lalu menyelipkan di puncak kepala. Naila balas memandangi Xavier dari puncak kepala hingga kaki. 

“Tante lihat apa? Kagum ya sama ketampanan saya?” 

“Cih! Bocah ... lain kali kenali dulu lawan bicaramu! Aku bukan tantemu.” 

“Lah ... Tante ya tante. Memang harus jadi adik Papaku dulu baru bisa dipanggil tante? Lagian, dari ujung kepala sampai ujung kaki, penampilan tante ya seperti tante-tante,” balas Xavier. 

Mendengar ucapan Xavier, Naila menarik nafas yang dalam hingga bahunya terangkat. Ingin sekali dia menghantam lelaki di hadapannya ini dengan heelsnya yang seruncing jarum, namun Naila menahan gejolaknya mengingat dirinya sedang berada di tempat umum.

“Adrian! Masuk ke mobil! Duduk diam di sana. Aku harus mengurus sesuatu.” 

“Ah ... i-iya, Kak Naila.” Adrian segera menurunkan lengan Xavier dari pundaknya. Dengan setengah berlari, Adrian masuk ke kursi sebelah kemudi. Duduk diam di sana sembari merapal mantra agar Xavier tidak kehilangan gigi depannya setelah bergelut dengan Naila. 

Adrian tahu benar sikap dari Naila. Ingatannya masih segar, saat Naila menghajar teman sekelasnya sendiri di bangku SMA dulu hanya karena menggoda dirinya. Hidung teman Naila berdarah, keduanya diseret ke ruang BK, dan Gabriel dipanggil ke sana. 

Gabriel harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar ganti rugi. Belum lagi tekanan dari keluarga korban jika permasalahan ini akan disampaikan ke media jika tidak bersedia membayar sebanyak yang mereka minta. 

“Xavier! Lari, jangan bodoh, Kawan! Kakakku itu pembunuh lelaki!” gumam Adrian sembari menatap Xavier. 

Sedang Naila, segera mendekati Xavier. Wajahnya sedikit terangkat, menantang Xavier yang masih tersenyum ke arahnya. 

“Siapa namamu, Nak?” tanya Naila tepat di hadapan Xavier.

“Namaku? Tante penasaran?” Xavier balik menantang. 

“Apa telingamu bermasalah? Aku bukan tantemu!” pekik Naila. Urat-urat di wajah Naila mulai bermunculan. Sudah lama dirinya tidak merasakan gejolak untuk menghabisi seseorang. Sebab itulah, Naila begitu menikmati darahnya yang mendidih kembali karena Xavier. 

Xavier semakin terkekeh. Begitu kagum pada wajah cantik Naila yang masih terlihat begitu cantik meski dibalut amarah. 

“Tan! Terlalu banyak marah dan berteriak akan mempersingkat umur Tante, loh.”

Xavier tidak bisa berhenti tersenyum. Kedua matanya mulai menyipit. Perasaannya menjadi hangat saat melihat ekspresi murka dari Naila. 

Naila yang dipayungi amarah, mulai menarik kedua lengan bajunya. Ingin segera membekuk Xavier hingga bersimpuh di hadapannya. 

Belum sempat Naila bergerak, ponselnya berdering. Gadis itu berhenti, menurunkan tangan lalu meraih ponsel di saku jasnya. 

“Halo, Ma!” 

“Naila, kamu dimana putriku? Apa kamu belum bertemu dengan Adrian? Seharusnya kelasnya sudah selesai.” Di seberang sana, Queen yang merupakan ibu dari kedua adik-kakak itu bertanya dengan nada halus. 

Naila segera berbalik, melirik Adrian yang berpura-pura tidak paham keadaan di sana. Naila bisa menebak, jika Adrian baru saja menghubungi Queen dan Queen akan berpura-pura mengobrol dengannya demi mengalihkan perhatian Naila. Trik lama, namun selalu berhasil pada Naila. 

“Baik, Ma! Kami sudah dalam perjalanan pulang, kok.” 

“Baguslah, Naila. Hati-hati di jalan, ya? Jangan mengebut, jika tidak Papamu akan berceramah lagi sepanjang malam.” 

“Oke, Ma. Telfonnya aku tutup, ya?” 

“Sampai jumpa, Putriku!”

Begitu telfon dimatikan, Naila segera berbalik ke posisi awal. Urusannya dengan Xavier hanya tertunda sebentar. 

Namun, mata Naila membelalak. Di hadapannya kini tidak ada satu sosok pun yang sedari tadi memancing emosinya. 

“Bye, Tante! Jumpa lagi,” teriak Xavier dari kejauhan. Xavier memamerkan deretan giginya yang rapi sebelum menghilang di antara bangunan-bangunan. 

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status