Makan malam acara perayaan rumah baru Emir terlihat suram bagi beberapa pihak. Aarav begitu gencar untuk mendekati Larisa, mulai menyuapi, mengambilkan minim. Seolah memberi peringatan secara tidak langsung kepada Emir agar pemuda itu menyerah. Bukan Emir namanya jika harus mengalah begitu saja. Pemuda tersebut justru merasa tertantang untuk melakukan hal yang lebih, tidak mungkin dia menyerah begitu saja dengan wanita yang sangat dia cintai sejak lama. Butuh pengorbanan juga penantian panjang sampai dia kembali ke tanah air lalu menyatakan perasaan. Menurut apa yang dikatakan Delon, Larisa terbilang populer di kampus, hampir tiap hari dia mendapat pernyataan cinta dari seseorang. Namun, sayangnya nasib keimutan yang dia miliki tidak berjalan mulus dengan kehidupan serba keras. Beberapa kali Larisa berpacaran selalu putus di tengah jalan, jika Risa menganggap mereka meninggalkan itu sangat salah. Lebih tepatnya ada orang yang mendesak para pemuda itu menjauh, mulai dari peringatan seca
Aarav merangkul Larisa dengan sengaja, seolah ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa dia calon yang paling pas untuk Larisa. Seperti masuk ke dalam perangkap, Larisa pasrah dan yah sebenarnya sangat memuakkan. Sungguh sangat memuakkan, hingga dia ingin sekali menimpuk kepala bujangan tersebut itu dengan panci. Emir menatap lelaki yang sok tersebut dengan tajam, tidak ada hal yang lebih menjengkelkan dari pada melihat sang kekasih dalam genggaman lelaki lain. Larisa berada di antara titik serba salah, bergerak ke manapun dia bimbang. Tidak mungkin dia mematahkan kebahagiaan kedua orang tua yang sedari tadi menatapnya dengan binar. Risa ingin sekali berlari saja meninggalkan. Malam semakin larut, acara makan-makan berakhir dengan perasaan tidak menentu. Banyak kejadian yang baru terkuak tanpa disengaja. Takdir membingungkan, juga perilaku Emir yang terlalu obsesif. Bagi sebagian orang mungkin itu hal wajar. Namun, tidak dengan Angel, dia takut putranya akan sama seperti
Sore hari menjelang petang, di aman langit berwarna jingga, biru kemerahan, indah menyejukkan mata. Sama halnya dengan rasa yang kini mampir pada atma Aarav. Perasaan bungah bercampur gugup menggelayut dalam ingatan, dia duduk di mobil bagian belakang sedangkan pada bagian depan ada Adelard juga Evelyn, kedua orang tua itu tersenyum. “Kau gugup, Nak?” tanya Adelard. “Ti … tidak,” jawab Aarav mendadak gagap. “Jangan berbohong, kami paham saat ini kau tengah gugup,” ledek Evelyn. Kalah, Aarav mengaku kalah, dia menghela naps panjang nan lama, “Baiklah, aku sangat gugup, seperti orang yang hendak melamar kerja untuk pertama kali bahkan ini lebih terasa gugup dari yang aku perkirakan, kalian puas,” jawab Aarav mencebik. “Hei, Nak, ayolah. Kami memahami keadaanmu sekarang, situasimu memang bagi sebagian orang membuat gugup, kau akan melamar seorang wanita,” kata Adelard. “Hei, Ayah, masalahnya aku tidak mencintai gadis itu, ingat,” kata Aara
Sekuat tenaga aku menutup mulut agar tangis tidak terdengar sampai keluar, sakit sudah pasti menahan. Saat ini aku benar-benar berada di posisi yang tidak menguntungkan. Bagi sebagian gadis mungkin rencana pernikahan adalah hal membahagiakan, pertunangan adalah hal luar biasa. Namun, apa yang terjadi pada diriku berbeda dari yang lain. Ketika harus mengalah kemudian memilih perjodohan tidak disengaja dibandingkan cinta. Yah, cinta hanya semu semata, menempatkan rasa sakit lebih dominan dari bahagia yang pernah dicecap manis. Baru seujung kuku rona bahagia menyergap diri kini berganti luka bernanah saling menyakiti, nasib badan. Aku butuh penghiburan namun, kamar sunyi ini yang menjadi sahabatku saat ini. Ingin menghubungi Delon atau pun Elizabeth rasanya tidak mungkin, situasi akan semakin rumit seratus persen jika ada mereka. Pasti ada saja ulah untuk menggagalkan rencana mengingat mereka begitu peduli kepada diriku. Pintu kamar terbuka, aku tidak peduli yang ingin aku
Kami saling menatap satu sama lain, astaga mata itu sungguh menakutkan aku seperti tertusuk melihatnya. Air mata mulai luruh, sungguh aku sangat ingin berteriak. Namun, aku urungkan ketika melihat tatapan Om Aarav melunak. Apakah lelaki tersebut mulai tersentuh dengan senduku. Tangan berotot Om Aarav menghapus linangan air mata, terasa halus menyentuh kulit pipiku. Sungguh sangat nyaman, akhirnya aku bisa menangis dengan puas. Dia memeluk, dengan satu tangan. Ah, aku menduga tangan satunya digunakan untuk menopang badan. Karena aku tidak merasa tertindih tubuhnya meski beliau berada di atasku. “Menangislah, aku di sini akan menenangkan dirimu, Sayang,” ujar Aarav. Aku membalas pelukannya, bersembunyi di balik tubuh kekar yang mengukungku, hangat. Tidak lama hanya sebentar hingga hati terasa sangat lega, mungkin ini terdengar konyol namun, aku merasa sangat nyman sekarang. Om Aarav meraih sapu tangan di saku jas aku menggunakan untuk mengelap air mata lalu ingus, kulem
Senyuman itu bukan membuat diriku takut namun malam membuat aku penasaran. Sentuhan tangannya memabukkan, astaga aku benar-benar tidak mampu mengelak perasaan yang benar-benar membuat candu, aku tidak mampu berbohong, tubuh ini menginginkan Om Aarav. Lelaki tersebut menarik kerutan dress bagian atas ke bawah bersama bra yang aku kenakan. Terpampang jelas kedua bukit kembar kecil milikku. Lelaki tersebut menatap dan tersenyum. “Ini sangat mungil tapi aku selalu memikirkannya,” ujar Om Aarav yang kemudian menggunakan lidahnya untuk menyentuh bagian ujung. Aku menggigit bibir bawah sensasi yang begitu luar biasa. Suara dari mulut ini tidak mampu lagi aku tahan, aku berteriak. Beruntung kamar kedap suara, bisa dibilang aman. Mataku melebar melihat Om Aarav melepas pakaian lalu menghempaskan ke lantai. “Mengapa Om melepas pakaian?” tanyaku. “Biar tidak kusut, kau juga lepaskan saja!” “Apa?” aku masih terkejut ketika dia membimbingku duduk kemudian menarik dr
Aku memang menjanjikan untuk berkunjung ke rumah ke rumah calon mertuaku pada pagi hari. Namun, tidak aku sangka Om Aarav akan menjemputku jam enam pagi. Aku melongo melihat lelaki itu sudah berdiri di dalam kamarku dengan mengenakan pakaian santai, celana pendek warna putih, senada dengan kaos yang dikenakan. Aku masih berdiri terpaku dengan hanya berbalut handuk di mana tubuhku masih basah kuyup lantaran baru saja selesai mandi. “Kau mau menggoda imanku, Sayang?” tanya Om Aarav. “Mana ada, aku baru selesai mandi, Om,” cicitku membela diri. “Sudah aku katakan, panggil aku Mas atau yang lain asal jangan Om!” pekiknya menyilangkan kedua tangan ke dada. “Mas, ngapain jam segini sudah ada di rumah aku?” Rasanya aku mual memanggil dia dengan sebutan mas, astaga. “Aku menjemputmu, sayang, mari kita ke rumah orang tuaku,” ujarnya. “Sepagi ini, Mas waras?” decakku. “Kalau aku gila aku nggak mungkin tergoda tubuh molek kamu,” seloroh Om Aar
Kami sampai di rumah Om Aarav, rumah yang sangat nyaman, aku berkeliling ketika Om Aarav bilang akan mengganti pakaian. Ada kamar yang telah dia siapkan untukku juga di sebelah kamar Om Aarav. Penasaran setelah keluar dari kamar yang akan menjadi tempatku, sekarang kaki ini malah melangkah mendekat ke kamar lelaki itu. Ragu tangan ini memegang gangang pintu. Cklek! Aku membuka pintu tersebut, kepala menyembul ke dalam ruangan. Tidak ada Om Aarav, aku mendengar gemericik air dari arah kamar mandi. Lelaki tersebut sedang mandi rupanya. Aku kemudian duduk di sudut ranjang dekat nakas. Tanpa sadar terlihat beda seperti terselip di ujung bagian ranjang, penasaran sudah pasti. Aku membungkuk, tangan ini merogoh ke bagian bawah nakas untuk meraih sesuatu yang terlihat mirip kertas saja. Benar saja, saat tangan ini meraihnya ternyata sebuah kertas. Mungkin para asisten rumah tangga kurang teliti membersihkan ruangan, aku akan mengatakan kepada Om Aarah nanti agar beliau lebih me