Pertama kali berjumpa dengan Niken, entah kenapa timbul rasa iba terhadapnya. Dia membuat aku teringat akan gadis kecilku yang telah berpulang beberapa waktu yang lalu.Melihat raut wajah dan sorot matanya, membuat diri ini ingin melindungi, menggantikan sosok ayahnya yang tidak tahu diri itu.Sering sekali Niken memandang dengan raut wajah sedih saat melihat anak-anak bermain dengan ayah dan ibunya."Om, kenapa papa Niken tidak pernah mengajak kami jalan-jalan? Papa gak sayang sama Niken ya, Om? Apa Niken bukan anak papa?" Tanya dia, dengan mata terus menatap anak kecil yang di gendong ayahnya sampai jauh dan tidak terlihat lagi."Mana ada orang tua yang gak sayang sama anaknya. Mungkin papa kamu sibuk jadi tidak sempat mengajak kamu jalan-jalan." ujarku menghibur."Mana mungkin sibuk, Om. Papa aja kalau pulang kerja tiap hari tiduran di rumak nenek. Kalau nenek atau bude yang ngajak jalan-jalan, tidak pernah ditolaknya. Mungkin Niken anak pungut sehingg papa gak sayang." ujar Niken
"Om, kapan ajak Niken ke kolam renang lagi. Kan Mama sama Om Raka sudah baikan." Raka tergelak mendengar pernyataan Niken. Dan aku hanya bisa tersenyum mendengar permintaan Niken. Dikiranya selama ini aku sama Raka sedang bermusuhan, padahal kami tepatnya aku sedang menjaga jarak, menghindar dari fitnah. Namanya Raka seorang duda dan aku janda, kalau sering berduaan pasti jadi sasaran empuk para pengghibah. Dan juga jika wanita dewasa berduaan dengan lelaki dewasa bisa berbahaya. Ada setan diantara kami nantinya. Takut terjerumus ke jurang zina. "Emang Mama sama Om Raka berantem, ya Niken?" Kak Ayu malah memancing di air keruh nampaknya nih. "Iya Bude. Mereka berdua kayak anak kecil aja ya kan Bude." Niken memajukan bibirnya. Membuat kita bertiga tergelak bagaikan dikomandoi saja. "Iya ya. Kayak Tom and Jerry." celutuk kak Ayu. Aku jadi tidak enak sama Raka. Memang selama ini aku lumayan galak terhadap lelaki penyuka olah raga tersebut. Dipikir-pikir aku terlalu
Hujan deras semenjak subuh tadi belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Udara sangat dingin menusuk ke tulang. Kurapatkan selimut hingga sebatas dagu, menikmati suara rintikan hujan dari dalam kamar yang masih remang. Kebetulan hari ini hari minggu jadi aku tidak perlu bangun pagi dan ke kantor. Bagi wanita pekerja seperti aku, hari minggu merupakan waktu untuk berleha-leha menikmati hari. Niken juga masih terlelap dalam mimpi indahnya. Ku ambil selimut dan menyelimutinya sampai seujung bahu. Membelai lembut buah hatiku, aku selalu berdoa semoga kelak anakku kelak menjadi sukses dan bahagia dunia akhirat. Baru saja mata ini hendak terpejam, tiba-tiba ponsel yang ku letak di atas nakas, berdering. Dengan rasa malas aku bangkit untuk mengambil ponsel dan mengangkat telponnya. "Halo," sapaku. Dengan suara masih serak ciri khas orang yang baru bangun tidur. "Masih tidur, ya?" Ternyata Raka yang menghubungiku sepagi ini. Ah ... lelaki itu tidak bisa melihat
"Beli, dong. Masak untuk anak cantik seperti Niken gak dibeli? Niken mau cincin apa kalung, Nak." Raka mengangkat dan menggendong Niken supaya bocah itu bisa memilih sendiri barang yang akan di belinya."Beli cincin aja, biar samaan kayak Mama dan Papa ya?" Kami berdua saling berpandangan dan tersenyum melihat tingkah lucu anakku."Gak ada untuk ukuran Niken kalau cincin kawin, Nak. Bagaimana kalau kalung aja?" tanya Raka sambil menurunkan Niken dari gendongannya. Kami berdua saling menatap dengan senyum mengembang. Ada-ada aja anakku meminta cincin kawin."Bagaimana dengan yang ini?" tanya Raka seraya menunjuk di balik kaca, satu buah kalung bertuliskan nama yang sangat indah menurutku."Yang mana?" tanyaku. Tanpa diminta pegawai toko menunjukkan padaku kalung pilihan Raka."Hmmm ... cantik juga. Selera Papa gak kaleng-kaleng." selorohku. Raka tersenyum begitu manis saat mendengar pujian dari calon istrinya ini."Gak mau yang lain? Yang ini saja?" tanya Raka untuk meyakinkan. Bagiku
Sinta memakai baju dengan motif bunga dan dipadukan dengan celana kulot motif garis-garis. Seumur-umur, aku belum pernah melihat Sinta memakai baju dengan motif tabrak seperti itu. Dan aku perhatikan wanita yang pernah menjadi adik ipar itu semakin hitam dan kucel."Jangan melihat orang lama-lama. Kayak orang baru turun dari gunung aja kamu, Say." Aku dikejutkan oleh nasehat Raka."Itu, Mas. Kasihan Sinta." Jariku menunjuk ke arah Sinta yang sedang berdiri di sebelah ibu yang memakai baju batik. Penampilan ibu itu seperti seorang wanita sosialita."Kasian ya, Mas. Dia itu dulunya bergelimangan harta, sekarang malah kayak gembel. Tidak terurus dan wajahnya kusam." Walaupun keluar kata kasihan tetapi sudut bibir ini tersenyum melihat penampakan seperti itu."Begitulah. Mas juga kasian melihatnya, tapi kita pun tidak bisa berbuat banyak. Sudah nasib dia.""Iya ya Mas. Kita tidak nyangka nasib Sinta akan seperti itu." Aku menoleh lelaki memiliki mata hazel disampingku."Iya. Hmmm ... seka
Muka ini tidak tahu lagi mau ku bawa kemana saat berjumpa dengan Niken, keponakanku. Anak itu sekarang sudah sangat cantik dan terawat.Kulitnya bersih juga putih mulus. Mungkin mereka sering perawatan, keluar masuk salon makanya jadi glowing begitu.Bukan maksud sombong dan tidak mau bertegur sapa dengan anak dari abangku itu, tetapi diri ini minder dengan takdir yang tidak sedang berpihak kepadaku."Andra jatuh dan kau hanya diama aja? Kemana kau bawa otakmu, hah?" bentak sang majikan saat tidak sengaja anaknya bernama Andra yang berusia tiga tahun jatuh dari perosotan bola dan membuat bibirnya berdarah. Spontan aku tersadar dari lamunanku.Akibat memikirkan nasib malang ini, sampai lalai menjaga anak hiperaktif itu, sehingga dia jatuh tersungkur ke lantai dan melukai bibirnya."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja." ujarku tertunduk dengan ekor mata melirik ke arah Niken, semoga saja dia tidak mengadukan kejadian ini kepada ibunya. Pasti sangat memalukan sekali."Menjaga anak kecil saja ka
"Ya Allah, Bu. ATM yang mana lagi yang mau Ibu pinta?" Aku menyugar kasar rambut ini. Selama dalam penjara, ibu dan juga Sinta tidak pernah menjenguk sekali pun. Sekarang, datang-datang malah minta ATM gaji, biar dia saja yang pegang.Dimana hati nurani wanita yang telah melahirkan aku ke dunia ini. Kadang diri ini berfikir, apakah aku ini anak pungut sehingga diperlakukan tidak adil seperti ini?"ATM gajimu lah. Emang kamu punya tabungan lain selain simpanan gaji?" tanya ibu dengan nada ketus.Mereka hanya tahu, senang saja. Tapi kesusahan aku, apa mereka mengetahuinya? Kalau pun mereka tahu, belum tentu mereka akan membantu.Buktinya mereka tidak pernah menjenguk diri ini di penjara. Jangankan menjenguk menanyakan kabar saja tidak pernah. Apa yang aku makan sehari-hari saja mereka tidak mau tahu."Rama gak punya gaji lagi loh, Bu. 'Kan Rama sudah dipecat." "Apa? Kamu dipecat?" Ibu kaget mendengar jika anak laki-laki yang selalu di banggakan selama ini sudah di berhentikan secara t
"Kalau Rama tidak membayar hutang ibu, mungkin sekarang Ibu yang merasakan dinginnya berada dalam penjara, bukan Rama, Bu." Karena kesal akhirnya suara sedikit meninggi sehingga ibu kaget. Biasanya anak lelaki ibu yang satu ini selalu penurut dan berlemah lembut tutur kata. Karena pikiran sudah buntu dan beban hidup semakin banyak membuat emosi ini tidak bisa aku kendalikan lagi."Kenapa malah Ibu yang kamu salahkan? Emang Ibu pernah menyuruh kamu untuk membayar utang-utang itu?" bentakan itu sangat menusuk ke relung hati ini. Beliau tidak pernah menghargai semua pengorbanan yang aku lakukan.J"Rama tidak menyalahkan Ibu. Tapi Rama kasian saja melihat Ibu dianiaya warga karena Ibu mencuri untuk membayar uang arisan sosialita." sindir aku."Memang dasar kamu saja yang bejat. Pekerjaan haram kamu itu jangan kau kait-kaitkan dengan Ibu. Aku tidak terima." Tangan wanita yang telah melahirkan diri ini ke dunia menoyor kepala sehingga tubuh ini sedikit maju ke depan."Ibu gak mau tau. Kamu