Akhirnya kami sampai juga di kota tempat tujuan aku akan mengais rezeki nantinya. "Ras, kita cari makan dulu. Aku lapar banget dari kemarin siang belum makan satu suap pun." pintaku pada Rasti saat kami sudah turun dari dalam bus. "Kenapa kamu tidak makan, sih? Gak usah terlalu banyak fikiran. Enjoy ajalah. Hidup ini kita jalani bukan diratapi." ejek Rasti seraya menggenggam lembut tangan ini. Kami bergandengan tangan berjalan menuju ke warung yang berada sekitar tiga ratus meter dari terminal. "Bukan banyak pikiran, Ras. Lambungku gak bisa mengisi makanan kalau sedang dalam perjalanan. Jangankan nasi, air putih aja tidak bisa. Langsung mual dan muntah." ujarku membela diri. Diri ini memang sangat takut makan nasi jika dalam bus karena mabuk perjalanan dan akhirnya muntah. Padahal jika naik mobil pribadi, aku anteng aja. Tidak ada drama mual apalagi muntah. Kalau naik bus ada saja keluhan ku. Yang bau rokok lah. Bau parfumlah. Padahal sudah minum obat anti mabuk tetap saja tidak ta
Hari ini ada tawaran untuk melayani seorang lelaki bule. Lelaki tua tapi kata Rasti duitnya banyak. Hati nurani ini sangat malas untuk melayaninya. Entah kenapa aku tidak bisa bersandiwara, tidak bisa membohongi diri sendiri. Berpura-pura menyukai tetapi nyatanya bikin muntah."Ras, kau ajalah yang melayani lelaki tua itu. Aku kok malas sama dia. Gak menarik sedikit pun," pintaku pada Rasti yang sedang sibuk menata rambutnya karena sebentar lagi ia akan di bawa oleh pengusaha kaya yang ada di Jakarta."Mana bisa begitu, Sin. Dia minta kamu, berarti dia itu suka hanya sama dirimu, sayang," ujar Rasti seraya mencolek dagu ini."Tolonglah, Rasti. Aku tidak sanggup." pintaku menghiba memohon untuk digantikan saja tugasku oleh Rasti."Aneh kamu, Sin. Masak aku yang gantikan?" Alasan Rasti ada benarnya juga. Dengan kesal aku juga mulai berdandan karena sekitar setengah jam lagi om Bram akan datang menjemput."Bisa batalin enggak sih, Ras. Aku gak mood," "Udah, kamu terima aja bokingan om B
"Apa keluhannya." tanya dokter cantik saat aku baru saja duduk di kursi depan mejanya."Anu, Dok. Hmmm ..." Jujur aku sangat malu mengatakan sakit yang aku derita saat ini. Pasti dia akan mengira aku wanita panggilan. Emang benar aku wanita panggilan tetapi hanya sebentar saja. Nanti disaat uang sudah terkumpul, pekerjaan hina ini akan aku tinggalkan."Katakan saja, Bu. Kalau Ibu hanya diam saja begini, bagaimana saya tau penyakit ibu? Dan bagaimana saya akan memberikan resep obatnya?" Ia berucap lagi sambil memperbaiki posisi kacamata."Begini, Bu. Kemarin sore area sensitif saya mengeluarkan cair*n kental berwarna putih mendekati hijau begitu," ujarku seraya menunduk malu. "Apakah Ibu demam? Atau terasa sakit atau panas di daerah tersebut?" tanyanya seakan beliau tahu keluhan yang aku rasakan."Iya, Bu. Dan di area itu sampai sekarang rasanya sakit seperti terbakar. Nyeri saat buang air kecil dan juga saat berhubungan badan, Dok." Dokter itu menghela napas panjang. Ia memperbaiki c
"Ya enggak lah, Bu. Emang tampang Sinta seperti tampang pelac*r?" tanyaku tersenyum. "Bukan begitu maksud Ibu. Namanya orang tua, takut anaknya salah jalan," ujar ibu seraya membetulkan posisi duduknya."Tapi Sinta tidak seperti yang Ibu tuduhkan, kok," ujarku sembari mengambil beberapa potong rendang di dalam mangkok kaca."Enak banget rendangnya, Bu." Aku terus saja mengunyah tanpa memedulikan ibu yang sedari tadi tersenyum melihat tingkah anak perempuannya."Ibu bahagia melihat kamu banyak makan, Sin. Ibu kepingin melihat kamu gemuk lagi, jangan kurus kayak gini, seperti mayat hidup," ucap ibu sembari memijat bahuku."Yang penting sehat Bu. Orang gemuk itu banyak penyakitnya," ujarku berusaha menghibur."Lezatnya," ujarku lagi. Sudah lama tidak merasakan makanan selezat ini. Perut ini sangat lapar apalagi selama dalam perjalanan tidak bisa masuk nasi satu suap pun karena kalau tetap dipaksa pasti akan mual dan muntah. Alhasil sekarang jadi seperti orang kelaparan yang sudah seta
Penyakit yang aku derita belum ada kemajuan yang berarti. Malah semakin hari keluhannya semakin menjadi-jadi. Setiap buang air kecil terasa sakit sekali. Rasanya obat yang di berikan dokter tempo hari itu, tidak ada perkembangan ke arah yang lebih baik.Ingin berobat lagi, tapi diri ini malu jika berobat di kampung sendiri. Takut berjumpa tetangga atau saudara, nanti jadi bahan gunjingan. Jika sampai ketauan, kasihan ibu harus menanggung malu akibat perbuatan anak perempuan yang selalu disayang dan dibanggakan ini ternyata perbuatannya tidak jauh berbeda dari sampah masyarakat.'Tidak ada cara lain selain mencoba scroll di internet. Mana tahu ada solusinya tanpa harus berobat ke dokter.' batinku.Setelah mengetik gejala penyakit yang aku derita, akhirnya aku bisa sedikit lega. Ternyata gejala penyakit yang aku derita hanya keputihan biasa. Ya sudahlah kalau begitu aku beli saja obatnya di apotik. Biasanya obat tersebut banyak tersedia di apotik dan juga harganya terjangkau.Tanpa ber
Karena rasa sakit di perut yang tidak sanggup aku tahankan lagi, akhirnya aku nekad berobat ke rumah sakit. Tujuanku ke poliklinik kulit dan kelamin. Setelah mendaftar aku menunggu di kursi tunggu. Untuk menghalau rasa suntuk akibat menunggu terlalu lama, aku membuka ponsel pintar. Membuka aplikasi biru melihat status teman memposting kebahagiaannya disana. Saat aku sedang sibuk dengan ponselku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara wanuta yang sangat aku kenal. Ya ... dia adalah Mira. 'Ngapain dia disini. Apa ada saudaranya atau keluarganya disini?' batinku bertanya."Sinta, mau berobat? Siapa yang sakit?" Hampir saja aku tidak mengenali wanita yang pernah tinggal seatap denganku di kota. Penampilannya yang selalu cantik, segar dan wangi, kini berbanding terbalik. Dulu tubuhnya montok, padat, berisi dan juga kulitnya putih bersih dan juga mulus. Sekarang malah kurus kering dan tangan beserta kakinya penuh dengan bentolan merah berair. Sedangkan kulitnya sudah hitam bagaikan ikan go
"Assalamualaikum!"Rumah Rasti sepi tidak seperti biasanya. Semoga saja ada Rasti di rumah, aku sudah sangat kangen kepadanya. Biarpun kami tinggal satu desa dan berdekatan tetapi jarang berjumpa karena kesibukan masing-masing.Tok ... tok ... tok.Pintu berulang kali aku ketuk tapi tidak ada tanda-tanda bahwa di dalam sana ada penghuninya.Mondar mandir dari pintu dapur ke pintu depan, hening. Karena lelah, akhirnya aku duduk di kursi teras. Entah kenapa saat ini tubuhku gampang lelah. Padahal makanan yang aku konsumsi makanan sehat dan cukup bergizi.Setelah beberapa saat aku menunggu di teras, kaki ini hendak beranjak pergi. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari dalam rumah. Ceklek.Pintu terbuka lebar, Rasti keluar dengan memakai kerudung instan berwarna navy. Tumben anak itu dirumah saja memakai jilbab, padahal biasanya pakaian dia kenakan sangat mini. Baju pendek, tipis dan pas badan, yang menampakkan lekukan tubuh."Sinta!" Rasti kaget melihat kedatanganku secara tiba-tiba."
"Bu, nanti siang Sinta mau belanja, barang-barang di warung banyak yang sudah kosong," ujarku pada ibu saat melipat mukenah setelah mengerjakan salat subuh berjamaah."Naik apa, Nak?" tanya beliau seraya beranjak dari duduknya dan menuju ke dapur untuk menyiapi sarapan."Kayak biasalah, Bu." ujarku sembari mengikuti ibu dari belakangnya."Hari ini hari minggu, di jalan desa rame anak-anak muda balapan liar. Kamu jangan bawa motor sendirian, Ibu khawatir." "Iyalah, Bu. Nanti Sinta naik becak ajalah." Kuputuskan naik becak saja, kebetulan aku pun sedang malas membawa motor sendiri.Jam masih menunjukkan di angka 07.00, waktu aku untuk memberi pakan ikan dan ayam.Saat sedang asyik memberi makan ikan tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata dari Akmal kawan sekolahku dulu. "Ini dengan Sinta ya?" tanya Akmal diseberang sana."Iya, ini siapa?" Aku juga penasaran dengan nomor asing yamg masuk ke ponselku."Aku Akmal. Masak kamu sudah lupa dengan cowok ganteng yang sering mendapat rangking p