“Pulang kerja, aku ke sini jemput kamu dan Nadia,” ujar Arkana, kemudian ia mencium kedua pipi Nadia, tak luput Risa yang ditatap dengan wajah begitu penuh rasa lega. Ia tersenyum, tangannya meraih jemari Risa. “Dandan yang cantik, kamu harus tunjukkan siapa kamu, Sa.” “Nggak perlu, aku mau jadi aku apa adanya,” tolak Risa. “Sesekali, aku mohon.” Bibir Arkana menempel pada kening Risa, tapi kemudian Risa mundur, menjauh dari Arkana. “Jangan seenaknya.” ketus Risa. Arkana meringis, ia melirik Nadia yang hanya bisa tertawa pelan. “Nadia, mau adik cewek atau cowok?” Sontak saja Risa memukul lengan Arkana lalu mendorong suaminya segera keluar dari dalam rumah. “Jangan asal ngomong!” tegur Risa kesal sambil bersedekap di hadapan suaminya yang menatapnya dengan tatapan sayu. “Lupa, kamu istriku, Sa. Kita harus bersa– aduh! sakit! “ keluh Arkana dengan ringisan karena Risa mencubit pinggang lelaki itu. “Biar kamu tau rasa. Kalau ngomong seenaknya. Lagian … kamu pikir aku mau punya ana
Arkana tak henti tersenyum, saat ia melihat Risa merapikan baju kerjanya ke dalam lemari pakaian milik Risa. Lelaki itu merebahkan diri di atas ranjang, bersama Nadia yang asik menggambar. Risa melirik sesekali, lalu kembali fokus menata baju. “Besok pergi, yuk,” ajak Arkana. “Kemana, Yah?” toleh Nadia sambil menunjukkan senyum manisnya. “Ayah mau ke tempat dekorasi kamar kamu. Kamu nggak boleh tidur sama Bunda selamanya, udah besar.” Jemari Arkana mencolek hidung putrinya yang mengangguk paham. “Jangan manjain Nadia, kami terbiasa dengan hal yang sederhana.” Kalimat Risa tidak disukai Arkana. “Manjain anak emang nggak boleh?” timpal Arkana sambil menatap Risa dari posisinya yang masih santai tiduran. Risa diam, tak mungkin juga ia larang, toh, kalaupun dirinya yang ada uang, pasti manjain Nadia. “Nadia, kamarnya mau ada gambar atau–” Arkana terduduk, ia meraih tablet miliknya, lalu menunjukkan beberapa gambar desain kamar. Nadia dan Arkana tampak asik juga seru memilih desain i
“Lepas!” teriak Devinta saat Raka menyeretnya berjalan sambil mencengkram pergelangan tangan. Berkali-kali Devinta berusaha melepaskan, tapi Raka semakin kuat menggenggam. “Ah! Sakit, Raka.” Suara penuh permohonan tidak juga dihiraukan Raka. Ia membuka pintu mobil, mendorong Devinta masuk ke dalam kursi penumpang bagian depan lalu membanting pintu dengan kencang. Devinta tidak keburu membuka pintu untuk kabur, karena Raka bergerak cepat hingga sudah duduk di balik kemudia. “Kamu mau bawa aku ke mana!” teriaknya. Devinta bahkan memukul bahu Raka. “Diam!” balas Raka. Tangannya segera menyalakan mesin mobil yang cukup ia sentuh, lalu menginjak pedal gas hingga mobil berjalan. “Deva kamu bawa ke mana! Anakku kamu bawa ke mana, Raka!” Masih saja Devinta terus memukuli Raka. Lelaki itu tak menjawab, matanya lurus menatap ke arah jalanan di depannya. Devinta mengatur napasnya yang memburu cepat akibat emosi, tapi derai air mata membasahi wajah yang berusaha ia hapus dengan punggung tangan.
Sudah satu minggu, Devinta berada di salah satu di rumah itu. Ia menatap pantulan diri di depan cermin, terlihat wajahnya layu, ada juga bekas memar pada tangan dan leher karena perbuatan Raka. Devinta rindu dengan Deva, ia ingin menghubungi putranya yang entah ada di mana, sampai detik itu, Raka tidak memberitahu kepadanya. Suara pintu terbuka membuat ia beranjak, berjalan keluar kamar lalu mendapati Raka berjalan ke arahnya sambil melemparkan jas ke arah Devinta. Devinta memungut jas, juga sepatu dan tas kerja. Raka membuka kulkas lalu meneguk air mineral hingga tandas, kemudian membuang botol di tempat sampah. “Kamu mau makan sekarang?” tanya Devinta berusaha bersikap baik, siapa tau saat Raka lengah, ia bisa kabur. “Belum. Nanti. Kamu. duduk sini.” panggil Raka bernada dingin. Devinta mendekat, duduk di kursi meja makan bersisian dengan Raka yang membuka laptop. “Rapikan penampilan kamu, aku nggak mau Deva curiga. Semua ini harus dirahasiakan dari anak Rama dan kamu.” lirik si
Risa membuka kedua matanya, ia melihat Arkana masih tertidur pulas sambil memeluknya erat. Mereka bermain sangat panas dan saling menyebut nama. Risa menggigit bibir bawahnya, mengingat adegan ranjang semalam, membuatnya malu sendiri. “Aku tau aku gagah perkasa juga tampan, puas lihatin suamimu, hum?” Arkana membuka sebelah matanya. Risa tersenyum, ia mendekat, mengecup bibir Arkana lalu beranjak. “Mau kemana?” tanya Arkana dengan suara serak. “Aku lapar. Mau pesan makanan, kamu juga pasti lapar, ‘kan?” Risa menguncir tinggi rambut panjangnya. Arkana beranjak cepat, ia memeluk Risa yang masih berdiri di depan cermin. Kedua matanya menatap leher Risa yang banyak tanda merah hasil karyanya. “Sshh… banyak banget, Sa, malu kelihatan orang,” bisik Arkana lalu mengecup beberapa kali leher mulus istrinya. “Bukannya, lama-lama nanti hilang sendiri?” Arkana mengangguk. “Tapi lama. Kamu ke kampus nggak bisa pakai kaos biasa. Harus kemeja dan kamu gerai rambut kamu ini.” Pelukan Arkana se
Arkana tampak bahagia menjalani hari-harinya, bahkan satu minggu setelah momen romantis mereka di hotel, kini Arkana hobi pulang lebih awal. Bukan untuk segera ke rumah, tapi menjemput Risa kuliah. Nadia naik jemputan sekolah saat berangkat dan pulang, di rumah kini ada bibi yang bekerja beberes rumah juga melayani Nadia jika butuh sesuatu. Risa ngotot tidak mau memanjakan putrinya walau keadaan mereka sudah hidup sangat nyaman. Arkana paham, ia tak memaksa Risa menuruti keinginannya untuk memberikan fasilitas mewah kepada Nadia. “Hai,” sapa Risa setelah duduk di dalam mobil suaminya saat Arkana sudah lebih dulu datang. Ia menyalim tangan kanan Arkana, lalu mencium kedua pipi. Arkana merasa senang dan harga dirinya terjaga sebagai suami karena begitu dihormati Risa. “Langsung pulang, ‘kan?” tanya Risa lagi. Arkana terus menatap tak suka ke Risa. “Ada apa?” Arkana menarik ikat rambut Risa hingga rambutnya terurai. “Kebiasaan, kamu pikir cowok-cowok lain nggak ada yang naksir kamu? K
Devinta terduduk lemah, benar-benar tidak ada kesempatan baginya untuk lepas dari Raka. Sayup terdengar, Raka sedang menelpon beberapa orang guna mempersiapkan hari pernikahan keduanya. Tangan Devinta meraih jemari Deva yang kembali melemah, sakit yang diderita Deva bukan penyakit lama yang sempat diidap, kini mengarah pada jantung yang tidak baik. Raka akan membawa Deva berobat ke negara lain setelah kondisi bocah itu stabil. Jemari tangan Deva diciumi lembut Devinta, ia begitu menyesal atas semua yang terjadi. Pandangannya berubah nanar dengan air mata terkumpul di pelupuk mata. Rasanya sedih jika harus mengorbankan putranya, bagaimanapun juga, Deva harus sehat dan stabil. Ia tak punya siapa-siapa selain Raka, kedua orang tuanya sudah membuangnya karena membuat malu. “Lusa kita menikah,” ujar Raka sambil menyeret kursi, duduk tetap di sisi kanan Devinta. “Kita akan menetap di mana?” toleh Devinta dengan tatapan wajah penasaran. “Lihat saja nanti,” seringai Raka membuat Devinta t
Devinta sudah sangat tenang, ia masih duduk di samping Rama sambil terus memegang jemari tangan lelaki yang terbujur lemah tak sadarkan diri. “Ram …,” bisik Devinta pelan. Kedua mata Devinta begitu sedih, terasa jika bagaimana ia menjadi sedih juga terkejut. Raka sendiri tidak di kamar itu, ia bersama Deva yang diberitahu jika mamanya sedang pulang dahulu, nanti kembali lagi. Raka duduk, menatap Deva yang memejamkan mata begitu pulas. Ia lelah setelah menjalani banyak pemeriksaan kesehatannya. Rama menoleh ke belakang, saat pintu terbuka. “Ada apa,” tanya ke Devinta yang berdiri diambang pintu. “Belikan aku alat cukur janggut,” pinta Devinta. “Untuk?” Raka bersedekap. “Rama. Aku nggak suka lihat dia penuh bulu-bulu wajah. Bisa?” Raka mengangguk. Devinta mengucapkan terima kasih lalu berjalan masuk ke dalam kamar, mendekat ke Deva, mencium kening juga kedua pipi putranya. “Kamu tidak mau dengar cerita lebih lengkap tentang semuanya?” tawar Raka. Devinta menggelengkan kepala deng