Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi saat Yura sudah siap untuk pergi pagi itu. Langkahnya kembali terayun menuju ke tempat tidur, lalu menggeleng pelan saat mendapati Krisna masih saja terlelap di sana.“Astaga, Abang! Bangun, Bang. Katanya mau pergi bareng Mas Arjuna sama Mbak Kinnas.”Krisna terpaksa membuka kelopak matanya sambil menggeliat di atas tempat tidurnya. “Jam berapa sih, Sayang?”“Udah jam delapan, nih! Kan nggak enak kalau mereka udah nungguin, sementara kita nggak jemput-jemput.”“Hm-mm.”Yura lantas menarik selimut yang dikenakan Krisna. “Abang mau aku siram pakai air nih, biar bangun?”“Astaga, Ra! Kapan sih kamu nggak bar-bar gini? Padahal aku cuma minta kamu bar-bar di atas ranjang aja, lainnya nggak usah.”Yura sontak membelalak. “Kok kotor pikirannya sih, Bang! Buruan bangun, nggak! Aku siram, nih!”Lalu Krisna terkekeh. Dia terpaksa bangkit lalu turun dari tempat tidur. “Iya, iya. Padahal mah daripada disiram, mending dielus. Dasar calon istri bawel!”“Kenap
“Makasih banyak, Mbak Kinnas. Kenapa aku malah jadi curhat sama Mbak, sih?”Kinnas tersenyum. “Santai saja, Ra. Kalau memang kamu butuh teman cerita, dan nggak ada teman cerita. Kamu boleh cerita kapan saja kalau kamu mau.”“Iya, Mbak.” Yura tersenyum kecil. “Makasih banyak ya, Mbak.”Deringan ponsel Kinnas sontak membuat perhatian keduanya teralihkan. Kinnas lantas menundukkan wajahnya, menatap nama seseorang yang muncul di balik layar, pun begitu dengan Yura yang tak sengaja melihat dan membaca siapa si penelpon itu.“Ra, aku angkat telepon dulu, ya?”“Iya, Mbak. Kalau gitu aku naik dulu, ya?”Kinnas mengangguk, lalu Yura memutuskan untuk kembali naik ke atas untuk bergabung bersama Arjuna dan Krisna. Samar-samar Yura bisa mendengar percakapan kedua pria itu, lalu…“Apa nih, yang mau dibikin kalah?”Kedua pria itu lantas menolehkan wajah, dan mendapati Yura berdiri di belakang mereka dengan napasnya yang terengah-engah.“Ra, lho, Kinnas sama Dante mana?” tanya Arjuna sembari melongo
“Jadi udah main berapa ronde waktu di Bali?”Suara vokal seseorang sontak membuat Yura yang tadinya fokus dengan laporan yang ada di hadapannya, lantas melotot tajam ke arahnya.Leon berdiri dengan kedua tangannya yang bersedekap, menunggu sekaligus penasaran dengan jawaban Yura.“LEON! Bisa nggak sih, nggak usah bahas yang aneh-aneh?”“Aneh gimana? Tapi jawab jujur deh, Ra. Lo nggak mungkin ‘nggak main’ selama di sana, kan? Lo cuma berduaan sama dia, sekamar, seranjang, dan dia punya burung nggak mungkin nggak berdiri, dong?”Yura seketika membelalak, lalu tatapannya lantas mengedar ke sekitar. Khawatir kalau-kalau percakapan mereka didengar rekan kerja yang lainnya.“Berapa senti, Ra? 10 cm? 15 cm? Atau lebih—” Leon membuka mulutnya. “Sampai megap-megap dong lo?”“El, please, ya. Gue nggak sekurangkerjaan itu sampai-sampai bawa penggaris buat ngukur panjang burungnya orang! Yang jelas, bakalan bikin lo ketagihan!”Leon seketika membelalak. “OMG! Cicip dikit boleh?”“NGGAK!” salak Yu
“Ra, mau pulang?” Suara vokal seseorang sontak membuat Yura tadinya sibuk mengotak-atik ponselnya, lantas menoleh dan mendapati Abhimana berdiri di belakangnya. “Mau bareng?”Yura menggeleng. “Aku mau ke rumah Mama Maura.”“Mobil kamu kan di bengkel. Biar sekalian aku anterin, ya?”Yura menghela napas. “Nggak usah, Om. Aku nggak mau ngrepotin.”“Nggak, kok. Tunggu di sini, ya? Aku ambil mobil dulu.”Tanpa menunggu Yura menjawabnya, Abhimana sudah lebih dulu meninggalkan lobi untuk mengambil mobil yang diparkirkan khusus di depan kantor.Tak lama setelahnya, mobil milik Abhimana berhenti tepat di depan Yura. Perempuan itu tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran Abhimana. Toh, bukan dia yang minta, tapi pria itu yang menawarkan.Sepanjang perjalanan mobil melaju membelah jalan raya, tidak ada percakapan apapun di antara mereka. Pun begitu dengan Yura yang memilih untuk melemparkan pandangannya ke samping jendela. Enggan mengajak Abhimana bicara.“Persiapan pernikahan kalian sam
“Abang masih marah, ya?” Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yura. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju ke kediaman Opa Lesmana untuk memenuhi undangan makan malam bersama.“Nggak,” jawab Krisna dengan singkat.“Astaga, Bang. Aku cuma dianterin sama Om Abhimana doang. Nggak diapa-apain juga sama dia,” ujar Yura sekali lagi.“Kamu lupa ya, kalau kamu pernah punya perasaan sama dia?”“Ya itu kan dulu, Bang. Sekarang udah nggak, kok. Kan udah digantikan sama Abang,” aku Yura dengan jujur.“Beneran udah digantikan? Abang nggak suka kalau kamu dekat-dekat sama dia, Ra. Abang nggak mau kehilangan kamu.”“Nggak usah mikir aneh-aneh bisa nggak, sih? Bahkan Om Abhimana mendukung pernikahan kita, Jadi Abang nggak berlebihan, okay?”“Coba kemarin Abang nggak tanya, kamu pasti nggak bakalan bilang kalau dianterin sama dia, kan?”“Emang sepenting itu sampai-sampai Abang mesti tau? Om Abhimana cuma niat nganterin aja, Bang. Nggak lebih,” sahut Yura mulai kesal.“Kenapa nggak ditolak? Kan m
“Lho, Kak. Abang mana?”Yura melangkah mendekati Disha yang baru saja mengambil minuman dari buffet table. Perempuan itu menatap dengan kening mengerut dan celingukan mencari keberadaan Krisna.“Lagi bicara sama Opa Lesmana, Sha.”Disha manggut-manggut lalu meneguk minumannya dengan pelan. “Jangan kaget ya, Kak. Opa Lesmana ini memang orang yang terpandang. Bilangnya aja makan malam keluarga, tapi yang diundang kolega-koleganya juga.”“Malah aku pikir semua ini tadi keluarganya Opa Lesmana, Sha.”Disha tergelak. “Nggak lah. Anaknya Opa kan cuma Papa, Tante Soraya, sama Tante Rika doang, Kak.”Yura mengangguk, lalu pandangan perempuan itu lantas mengedar ke sekitar. Untuk selama beberapa saat, tatapan Yura terpaku pada sesuatu di sana. “Sha, aku ke sana dulu ya, ambil makanan di sana.”“Mau ditemenin, Kak?”Yura menggeleng. “Nggak usah, Sha. Nggak lama, kok.”“Ya udah, Kak. Aku tunggu di sini, ya.”Yura mengangguk, lalu langkahnya terayun menuju dessert table yang berada tak jauh dari
“Lo yakin mau ngelakuin semua ini, Ra?” Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Leon yang tampak memperhatikan Yura yang tengah bersiap-siap.“Why? Gue nggak ada alasan buat nggak melakukan ini kan, El? Ini kerjaan gue, gue nggak mungkin nggak profesional, okay?”“But, she’s his ex. Lo yakin masih bisa profesional padahal kemarin lo baru aja ngancem dia?” tanya Leon membelalak tak percaya.“Gue nggak ngancem, El. Gue cuma mau menegaskan ke dia, kalau dia udah nggak berhak deketin calon suami gue.”“Ehm, calon suami gue.” Leon menggaruk telinganya dengan pelan. “Agak gimana gitu nggak, sih? Gue kayak belum terbiasa denger lo bilang begini tau, nggak.”“Apa? Jangan bilang lo cemburu, ya!”Leon memutar matanya. “Gue masih normal. I mean, gue masih suka sama cowok! Jadi lo nggak usah kegeeran.”“Dasar sinting!” sungut Yura kesal, yang langsung dibalas dengan kekehan pria gemulai itu. “Dah ah, gue jalan dulu ya, El. Doakan aja gue nggak pakai acara jambak atau sembur dia pakai air kopi.”
Seolah tak cukup membuat hatinya hancur berkeping-keping, hujan yang tiba-tiba mengguyur Jakarta sore itu seolah sengaja menggarami luka di hatinya.Yura menghela napas panjang. Wajahnya menengadah. Entah kenapa genangan air di sudut matanya mendesaknya dengan hebat. Tapi bagusnya, dia tidak perlu menutupi tangisannya.Perempuan itu berjongkok. Dadanya mendadak terasa sesak saat perkataan Awan lagi-lagi berdengung di kepalanya. Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya, dia terisak di bawah guyuran air hujan.Entah sudah berapa lama perempuan itu diam di sana. Bahkan tidak peduli jika dia kini menjadi pusat perhatian orang-orang. Setidaknya untuk kali ini saja, Yura ingin menyadari kekalahannya. Yura tahu jika dia sudah kalah telak.Dering ponselnya yang menyala-nyala, membuat perhatian perempuan itu teralihkan. Ada beberapa pesan dari Krisna, Abhimana, dan ada panggilan dari Leon.Saat perempuan itu hendak mengabaikan pesan dan panggilan dari semua orang. Ponseln