MOBIL yang dikendarai mereka akhirnya berbelok menuju pelataran parkir Leanders Hospitals. Dengan langkah sedikit tergesa, Krisna menggandeng Yura dengan posesif dan langsung menuju ruang operasi saat Maura memberikan kabar melalui pesan.“Semoga Steven sama Awan nggak apa-apa ya, Bang.”“Hm-mm. Setau Abang, Steven nggak akan seceroboh itu sampai-sampai mereka kecelakaan begini.”“Dia pasti baik-baik saja.”Begitu tiba di depan ruang operasi. Maura yang tadinya berbincang dengan salah satu perawat, terpaksa menghentikan percakapannya. Perempuan paruh baya itu lantas menghampiri Krisna dan Yura, lalu dia bersuara.“Abang, Ra…”“Ma, gimana kondisinya Steven sama Awan?”“Steven sedang dioperasi, Bang. Benturan keras di kepalanya membuat Steven mengalami cedera yang cukup mengkhawatirkan. Mau tidak mau dia harus dioperasi.”“Lalu bagaimana dengan Awan, Ma?” tanya Yura ikut menyahuti.“Awan baik-baik saja. Dia hanya mengalami luka ringan di kepalanya. Menurut saksi mata, bagian mobil yang
BARU empat hari masa cutinya berlangsung, tapi Yura memutuskan berangkat ke kantor. Sementara Krisna masih sering bolak-balik ke rumah dan ke rumah sakit.Perempuan itu menghela napas panjang. Dia masih mengingat jelas bagaimana Awan meminta Krisna secara terang-terangan untuk menemaninya di depan mertuanya.“Kalau seandainya diizinkan, saya pengen Krisna yang menemani saya, Tante. Saya nggak mungkin minta Tante Soraya buat jagain Steven. Apalagi kesehatannya kemarin sempat drop. Sementara Kano sudah sibuk dengan pekerjaannya.”Maura yang mendapatkan pertanyaan itu, lantas menoleh ke arah Krisna dan Yura secara bergantian.“Ya kalau soal itu, bukankah seharusnya kamu izin sama istrinya, Wan? Tante bukannya mau melarang atau bagaimana. Tapi Abang juga punya tanggung jawab lain. Dia punya istri juga sekarang.”Awan dengan wajahnya yang pucat lantas menoleh ke arah Yura yang tengah duduk di seberang Maura. Tidak hanya Soraya saja yang kesehatannya menurun, tapi juga dirinya.“Ra, boleh?
[Abang masih di rumah sakit, Ra. Tante Soraya belum balik dari luar tadi. Kamu jadi ke rumah Mama, kan? Nanti aku jemput di sana, okay? I love you.]Setelah mengirimkan pesan itu, Krisna kembali menyimpan ponselnya. Dia mendorong pintu yang ada di hadapannya, menatap lurus ke arah sepupunya yang kini tengah terbaring koma.Sudah empat hari berlalu dan tidak ada tanda-tanda Steven terbangun. Padahal dokter yang merawatnya sempat mengatakan kondisinya baik-baik saja.Dengan langkah hati-hati pria itu melangkah mendekati ranjang tidur Steven, lalu mendesah pelan.“Stev, bangun. Lo dokter, Stev. Kalau lo sakit, siapa yang merawat pasien-pasien lo, hah? Lo nggak mungkin—”Namun belum Krisna melanjutkan ucapannya, kelopak mata Steven yang bergerak-gerak seketika membuat pria itu mematung di tempatnya.“Stev, lo bangun?” Krisna terlihat panik—antara masih belum percaya jika Steven telah membuka matanya atau dia harus memanggil dokter. “Gue panggilkan dokter dulu, okay? Lo—” Namun Steven suda
YURA melenguh pelan saat dia merasakan kepalanya terasa pening luar biasa. Perempuan itu memaksakan diri untuk membuka kelopak matanya, lalu pandangannya mengedar ke sekitar.“Lo pingsan tadi.”Suara Kano membuat Yura lantas mengalihkan pandangannya ke samping dengan cepat. Pria itu berdiri di sudut ruangan dengan tatapan cemas.“Gue bawa lo ke IGD tadi. Tapi lo tenang aja, gue pastikan si Bangsat itu nggak tahu kalau lo ada di sini.”Yura masih belum mengatakan apa-apa. Masih segar ingatannya, bayang-bayang bagaimana Krisna dan Awan yang tengah berciuman tadi kembali berputar di kepalanya.“Take your time.” Kano menghela napas, menatap iba ke arah Yura. “Lo nggak boleh drop karena… kata dokter lo hamil.”Entah apakah berita yang baru saja dikatakan Kano adalah berita membahagiakan atau justru sebaliknya. Yura bahkan tidak tahu apa yang tengah dirasakan sekarang. Hatinya terasa kebas.“Gue keluar, ya? Lo mau gue belikan sesuatu? Atau lo mau makan sesuatu?”Yura masih diam. Dan Kano ke
“Lo bawa bini gue ke mana, Brengsek!”Krisna berjalan cepat menghampiri Kano yang baru saja turun dari mobilnya. Tapi rupanya Kano sudah lebih dulu mempersiapkan segalanya. Seperti melayangkan pukulan keras tepat di wajah Krisna.“Ini buat suami bajingan kayak lo!”Krisna tersungkur di paving block depan teras rumah. Semua mata membelalak, Maura dan Soraya yang melihatnya lantas berteriak bersamaan.Krisna memutar badannya dan langsung bangkit berdiri. Darah segar mengucur dari sudut bibirnya, lalu tatapannya nyalang ke arah Kano.“Maksud lo apaan, Bangsat! Di mana bini gue!”Alih-alih menjawab. Lagi-lagi Kano melayangkan pukulan tepat di rahang Krisna. Kali ini berkali-kali, hingga darah segar lagi-lagi mengucur dari hidung dan bibirnya.Pun begitu dengan Krisna yang langsung membalasnya. Keduanya saling melayangkan pukulan. Bahkan darah segar yang entah siapa pemiliknya mulai bercucuran ke tanah.Persetan dengan persaudaraan yang dimiliki mereka. Yang ingin dilakukan Kano sekarang h
“Lo beneran nggak bilang sama siapapun soal gue kan, El? Termasuk Abang terutama.”Leon yang mendengar pertanyaan itu, sontak menghela napas. “Nggak lah, Ra. Gue mana mungkin berkhianat sama sahabat sendiri.”“Ya lo kan, kaki tangannya Abang!” cibir Yura tak terima.“Gue nggak segampangan itu, ya. Waktu laki lo telepon gue dan nanyain keberadaan lo, ditambah sama nomor lo yang nggak bisa dihubungi, gue udah feeling kalau kalian berdua lagi ada masalah. So, well, tell me the truth! What happened to you?”“Gue hamil, El.”Leon seketika membelalak. “So what? Masalahnya di mana kalau lo hamil? Kan ada bapaknya, Ra.”Yura mengurut keningnya yang mulai pening. Sejak pagi tadi dia mengalami morning sickness dan nyeri hebat di bagian perutnya. Tapi dia tidak tahu bagaimana harus mengatasinya.Memilih untuk mengabaikan rasa nyeri itu, Yura menarik napas dalam-dalam lalu menatap ke arah Leon dengan lekat.“Dua hari yang lalu gue nggak sengaja lihat Abang ciuman sama Awan.”Garpu yang ada di tan
“Usia kandungan Ibu sudah berjalan enam minggu. Tidak ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Hanya saja, Ibu harus perbanyak istirahat dulu. Mengingat bahwa kondisi kandungan Ibu lemah.”Yura menatap dengan mata berbinar ke arah foto hasil USG yang kini ada di tangannya. “Baik, Dok.”“Hindari stress. Ibu tidak boleh terlalu banyak pikiran karena jika itu dibiarkan, bisa membahayakan kondisi janin.”“Iya, Dok.”“Saya akan meresepkan obat penguat kandungan dan vitamin untuk Ibu. Nanti dikonsumsi sampai habis ya, Bu?”“Baik, Dok. Terima kasih.”Usai memeriksakan kondisinya, Yura melangkah meninggalkan ruang rawat Dokter Padma. Perempuan itu melangkah menyusuri koridor lalu duduk di salah satu bangku rumah sakit dengan senyum lebar terukir di wajahnya. Yura menghela napas panjang. Sesekali dia menoleh ke samping, hari ini dia berjanjian dengan Wulan. Setelah selama tiga hari menghilang, akhirnya Yura memberanikan diri untuk menemui ibunya.“Ra!”Wulan berlari tergopoh-gopoh saat mendengar
YURA diam termenung di antara rintik hujan yang jatuh membasahi bumi dari balik jendela kamarnya. Matanya menatap nanar ke arah luar, entah kenapa dia mendadak cemas lantaran ada sesuatu hal yang dikhawatirkan. Lima jam telah berlalu. Perempuan itu masih mencoba menahan gejolak perutnya yang terasa nyeri, mengingat bahwa Krisna sudah berjanji akan datang ke rumahnya begitu tiba di Jakarta.Berbagai pertanyaan kini muncul di kepalanya. Seperti, apakah penerbangannya lancar? Di luar turun hujan, apakah dia baik-baik saja? Dia terbang dari mana ke mana? Kenapa hampir lima jam lamanya dan tidak ada kabar apapun dari Krisna?Suara ketukan dari luar membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu mengerjapkan matanya, lalu bersuara.“Masuk.”Wulan mendorong pintu kamarnya, lalu mengulas senyuman tipis dan melangkah menghampiri perempuan itu.“Ada apa, Ma?” tanyanya tampak gusar.“Ada Abang di bawah, Ra.”Refleks Yura bangkit dari duduknya. Dan dia yakin kekhawatiran di wajahnya tercetak begitu