Laura terpaku. Dia sadar betul dengan apa yang akan Christian lakukan. Terlebih, paras tampan pria itu sudah sangat dekat. Laura bahkan dapat merasakan embusan napas hangat yang menerpa wajahnya. Ibunda Harper tersebut ingin beranjak dari sana. Melarikan diri sejauh mungkin dari godaan pengusaha tampan empat puluh tahun itu. Namun, entah mengapa dia tak dapat menggerakkan kaki. Jangankan berlari, memalingkan wajah saja tak mampu. Apalagi, saat Christian meraih tangan dan meletakkannya di pundak. “Kau masih ingat?” bisik Christian. Suaranya terdengar sangat dalam sehingga menghadirkan getaran berbeda di hati Laura yang hanya diam membisu, meskipun kedua tangannya sudah melingkar di leher sang mantan suami.“Kau yakin akan kembali ke Amerika besok?” tanya Christian, kembali mengajak Laura berinteraksi.Kali ini, Laura menanggapi dengan anggukan pelan. “Aku sudah memesan tiket untuk penerbangan siang,” jawabnya. “Apakah Harper setuju dan tidak merasa terpaksa?” tanya Christian lagi,
Malam terus beranjak. Suasana sepi kian terasa. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul sepuluh, ketika sedan hitam milik Christian berhenti di jalan depan kediaman Keluarga Pearson. Tak ada perbincangan berarti di antara dua insan, yang telah menyelesaikan ritual pelepasan hasrat beberapa saat lalu tersebut. Mereka seperti sama-sama menyadari, atas apa yang terjadi tadi. Namun, saat ini yang terlihat justru kecanggungan. Baik Laura maupun Christian, tampak bingung memulai pembicaraan.“Maaf,” ucap Christian tanpa menoleh. Kedua tangannya masih memegang kemudi. Raut wajah pria empat puluh tahun tersebut tampak begitu datar. Akan tetapi, sorot matanya menyiratkan perasaan lain dalam dada. Christian sedikit tak nyaman dengan suasana d antara dirinya dengan Laura. Namun, dia berusaha menyembunyikan perasaan tersebut, dengan berpura-pura tenang. Walaupun, embusan napas berat sempat terdengar beberapa kali. “Aku juga minta maaf,” balas Laura, yang tak bisa menyalahkan Christian. Sejujurny
Laura sontak membuka mata. Napasnya sedikit terengah. Dia memberanikan diri menoleh ke samping. Laura dapat bernapas lega karena Harper masih terlelap di sebelahnya. “Kau ada di sini,” ucapnya pelan seraya meraba pucuk kepala sang putri, kemudian mengecupnya pelan. Harper menggeliat, lalu membuka mata perlahan. “Ibu …,” ucapnya dengan suara parau. “Selamat pagi, Sayang. Bagaimana kabarmu?” sapa Laura lembut, diiringi senyum hangat. “Selamat pagi, Ibu,” balas Harper. “Apa kita jadi pulang?” tanya anak itu polos. Laura kembali tersenyum, lalu mengangguk. “Ayo, kita bersiap-siap sekarang.” Dia turun dari tempat tidur, kemudian menggendong Harper yang menghambur ke dalam pelukannya. “Biar kubersihkan dulu badanmu, Sayang. Jangan sampai sikat gigi kesayanganmu tertinggal di sini,” ujar Laura seraya berjalan masuk ke kamar mandi. Laura begitu bersyukur karena yang dilihatnya tadi hanyalah mimpi. Dia tak tahu apa yang akan terjadi, andai semua itu benar-benar terjadi. “Aku akan menjaga
“Apa maksudmu, Christian?” Laura menatap heran mantan suaminya, yang terlihat percaya diri setelah berkata demikian.“Seperti yang kau dengar tadi. Aku bukan Christian yang berperangai buruk seperti dirimu kenal dulu. Oleh karena itulah aku meyakinkan diri mengatakan ini padamu. Mari perbaiki semua dari awal.”Bukannya menjawab, Laura justru tersenyum sinis setengah mencibir. “Jangan hanya karena semalam kita bercinta, lantas kau berpikir bahwa aku bersedia kembali padamu,” bantahnya, diiringi gelengan pelan. “Tidak, Christian. Aku tak memiliki pikiran seperti itu, meskipun hanya sedikit. Jangan berharap lebih dari kebaikanku selama ini. Itu semua demi Harper, berhubung putriku berteman akrab dengan Mairi,” tegas wanita cantik dua puluh sembilan tahun tersebut.N
“Chelsea?” Christian memicingkan mata, setengah tak percaya atas apa yang dilihatnya.“Ya,” balas Mirren. “Putriku meninggal beberapa hari yang lalu.”Christian menoleh. Menatap lekat ibunda Chelsea beberapa saat, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke pusara mantan kekasihnya. “Apa yang terjadi?” tanya pria itu datar.“Sepulang dari London, Chelsea begitu terpuruk. Dia putus asa karena harapannya bertemu Mairi tidak terlaksana. Putriku … kau tahu dia rentan mengalami depresi. Chelsea mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri,” tutur Mirren dengan wajah sendu.“Menggantung diri,” gumam Christian, mengulang pernyataan Mirren. Pria itu terdiam beberapa saat, memi
Laura berusaha tetap tenang dan tak terpengaruh, oleh ucapan penuh rayuan yang dilayangkan Christian. Dia tak ingin memakan mentah-mentah, apa pun yang keluar dari mulut pria itu. Laura lebih memilih menghindar. Makin lama berhadapan dengan mantan suaminya, akan membuat dia makin tak karuan. “Di mana kursimu?” tanya Christian seraya mengikuti langkah kecil Laura, saat mencari tempat duduk. “Kuharap kita tidak duduk berdekatan,” sahut Laura. Dia menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan perhatian ke depan, saat menemukan tempat duduk yang disediakan untuknya. Kali ini, harapan Laura terkabul. Christian berada di barisan belakang. Namun, entah takdir apa yang tengah mempermainkan mereka. Ayahanda Mairi tersebut mendapat tempat duduk tepat di belakang Laura. “Aku tetap senang, meskipun duduk di belakangmu,” ujar Christian setengah berbisik. Laura yang tak menyangka Christian berada tepat di belakangnya, langsung menoleh. Dia menatap aneh pria itu, lalu beralih pada Mairi yang tampak
“Ada apa, Alicia?” tanya Laura khawatir. “Bisakah anda datang kemari, Nyonya?” Suara Alicia terdengar makin resah sehingga membuat Laura kian khawatir.“Aku masih ada pertemuan penting sekitar setengah jam lagi ….” Laura terdiam sejenak. “Apa ada sesuatu dengan Harper?” Naluri keibuan wanita dua puluh sembilan tahun itu langsung bekerja. Bukannya menjawab, Alicia justru menangis tersedu-sedu. “Astaga.” Laura mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Dia terpaksa menyudahi acara pertemuan lebih cepat, dari yang sudah dijadwalkan. Laura langsung meluncur ke rumah sakit pusat, seperti laporan Alicia tadi. Setelah tiba di rumah sakit pusat, Laura langsung menuju ke Emergency Room. Di sana, dia mendapati Alicia sedang duduk sendiri dengan wajah muram bahkan hampir menangis. Wanita muda itu juga menderita beberapa luka di wajah serta tangan. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Laura, dengan mata melotot sempurna. Antara terkejut dan penasaran bercampur jadi satu. Terlebih, saat dirinya tak
“Apa maksudmu, Christian? Kenapa kau bertanya demikian?” Laura mulai salah tingkah, atas pertanyaan sang mantan suami yang terkesan langsung ‘menembak’ dirinya tanpa aba-aba.“Kau hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi.” Christian menegaskan. Namun, Laura hanya menanggapi dengan senyum kecil serta gelengan pelan. “Sudahlah, Christian. Kau pasti masih ingat dengan hasil tes DNA yang telah dilakukan dulu. Lagi pula, apakah salah jika Harper memiliki golongan darah sama denganmu? Hal seperti itu dapat terjadi pada siapa pun, termasuk diriku. Bisa saja golongan darahku dengan ayahmu sama. Iya, kan?” Laura menaikkan sebelah alis. Wanita cantik itu bersikap seakan baik-baik saja. Padahal, dalam dada ada gejolak luar biasa yang terus memberontak dan memaksa, agar mengatakan kebenaran tentang status Harper. Untung saja, wanita dua puluh sembilan tahun tersebut masih bisa mengendalikan diri. “Ya, kau benar. Mungkin ini hanya kebetulan. Akan tetapi, aku merasa ….” Christian belum sempat mela