Venina berbaring di atas tempat tidurnya, mencoba memejamkan mata dan melupakan segala sesuatu yang mengganggu. Tetapi kata-kata Erlangga terus terngiang di telinganya. Wajahnya terasa panas saat dia mengusapnya dengan kasar, mencoba mengusir pikiran-pikiran gelap yang tidak seharusnya.
“Bagaimana kalau saya bercerai, Nina? Apa kecemasanmu akan hilang?” kata-kata itu seperti sebuah cambuk yang menghantamnya secara langsung. Venina menggigil dalam kegelapan kamarnya, merasa seperti tak bisa lagi bernapas.
"Tidak, Nina! Kamu sudah gila kalau sampai mengharapkannya," bisiknya pada dirinya sendiri, hampir seperti sebuah mantra untuk menenangkan diri. Dengan gerakan kasar, dia menendang selimutnya, mencoba memaksa dirinya untuk tidur dan melupakan segala sesuatunya. Tetapi upaya itu sia-sia, karena pikirannya terus memenuhi ruang dengan kegelisahan yang
Venina melangkah masuk ke ruang kerja Alfian dengan hati yang berdebar-debar. Sudah beberapa kali dia menelan ludah, mencoba mengumpulkan cukup keberanian untuk mengungkapkan apa yang sedang mengganggunya. Tetapi ketika matanya bertemu dengan sorot tajam Alfian, kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya. “Ada apa, Nina?” Alfian memulai pembicaraan, tetapi ekspresinya menunjukkan ketertarikan dan sedikit kebingungan. Venina berdiri di depan meja Alfian, matanya bergerak ke segala penjuru ruangan, mencari keberanian dalam dirinya. Dia meremas jari tangannya, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum membuka suara. “Saya…” suaranya terputus sebentar, dan dia menelan ludah lagi. “Saya….” “Katakan saja, Nina!” desak Alfian ketika dia melihat Venina masih berdiam diri. “Saya… saya ingin bertanya apa benar Bapak memecat Pak Bayu karena masalah kemarin?” Alfian mengangkat alisnya, menunjukkan keheranan. “Bayu? Siapa dia?” tanyanya dengan nada yang terdengar kurang berminat. “Dia… dia
Setelah sampai di Surabaya, Venina langsung menuju ke kantor cabang di sana. Wanita itu diberikan sejumlah tugas yang harus diselesaikan. Dia membenarkan kerah blusnya dan menyusun catatan dengan cermat, mencatat setiap instruksi yang diberikan oleh Alfian.Sementara itu, Alfian dan rekan kerjanya langsung menuju ke lokasi proyek perumahan yang baru saja dimulai. Venina hanya bisa membayangkan betapa sibuknya mereka dengan berbagai pertemuan dan perencanaan yang harus diselesaikan.“Saya akan usahakan untuk kembali secepatnya! Saya mohon bantuanmu di sini, Nina,” kata Alfian sebelum pergi.Saat Alfian kembali ke kantor cabang, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan warna oranye dan merah yang memukau di langit. Namun, bukan itu yang menjadi perhatiannya sekarang.
Selama dalam perjalanan menuju hotel, Venina hanya terdiam. Matanya menatap kosong ke luar jendela, mencoba memahami alasan di balik keputusan Alfian. Di sebelahnya, Surya, sang supir, berkonsentrasi pada jalanan yang mereka lalui, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya.Di kursi belakang, Alfian dan Erlangga terlibat dalam pembicaraan bisnis yang serius. Suara-suara rendah mereka menyusup ke telinga Venina, namun isinya hanya hembusan angin yang berlalu begitu saja.Saat mobil berhenti di depan lobi hotel, hanya Venina dan Erlangga yang turun. Venina merasa heran dan bertanya-tanya mengapa Alfian tidak ikut turun. Tapi jawabannya datang sebelum dia sempat bertanya.“Saya akan kembali lebih dulu, Nina. Karena kebetulan urusan Pak Angga sudah selesai, dia bisa melanjutkan pekerjaannya.&rd
Keesokan harinya, Venina tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang belum selesai di kantor cabang. Sementara dia masih belum melihat sosok Erlangga sama sekali. Entah pria itu sedang meninjau lokasi proyek atau melakukan hal lainnya. Dia berusaha untuk tidak mempedulikannya.Saat senja mulai memudar, Venina merenggangkan otot-ototnya yang tegang dari beban pekerjaan. Namun, ketenangannya terusik oleh suara yang tak terduga.“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya suara yang tiba-tiba saja muncul dari balik pintu.Venina hampir terjatuh dari kursinya, dadanya terasa berdebar kencang ketika dia menyadari bahwa itu adalah suara Erlangga. Matanya membelalak, tidak percaya bahwa pria itu muncul begitu tiba-tiba.“Astaga! Pak Angga!” serunya sambil menep
Erlangga langsung memeluk tubuh Venina yang bergetar ke dalam pelukannya. Hatinya terasa berat dengan rasa bersalah yang menghimpit. Meskipun dia mencoba menyangkalnya, tapi perasaan itu tetap menghantuinya. Dia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya telah menempatkan Venina dalam situasi yang sulit.“Maafkan saya karena menempatkanmu di posisi ini, Nina,” katanya dengan suara penuh penyesalan, sambil mencoba meredakan getaran tubuh Venina dalam pelukannya.Venina tidak menjawab. Hanya isak tangisnya saja yang terdengar semakin pilu di dada pria itu. Rasanya begitu lelah, dia ingin terbebas dari segala perasaan yang mengganggunya.“Saya ingin pulang,” bisik Venina setelah beberapa saat, suaranya rapuh karena isak tangis yang belum juga mereda.
Malam itu, Venina tidak bisa tidur karena terus memikirkan keseriusan perkataan Erlangga padanya. Bahkan, makanan yang dia pesan pun sampai dingin karena tiba-tiba selera makannya hilang begitu saja.Saat dia baru saja mencoba memejamkan matanya, terdengar suara alarm kebakaran yang berbunyi nyaring. Venina tersentak dan tanpa pikir panjang dia segera bangkit, mengambil kacamata, ponsel dan tasnya dengan gerakan refleks, lalu bergerak cepat keluar dari kamarnya.Di koridor, suasana menjadi hiruk-pikuk. Orang-orang bergerak dengan tergesa-gesa, berusaha menyelamatkan diri dari bahaya yang mengancam.“Ayo cepat turun, Mbak. Ada kebakaran di lantai bawah,” seru seorang tamu yang lewat, menambah ketegangan di dalam diri Venina. Tanpa banyak bicara, Venina hanya mengangguk cepat, hatinya berdegup kencang dala
Kedua mata Venina terbelalak dalam kebingungan saat mendengar pengakuan Erlangga. Dia tak pernah membayangkan bahwa di balik segala kesuksesan yang dimiliki pria itu, tersimpan kisah percintaan yang rumit.“Mungkin sejak awal rumah tangga saya memang sudah hancur, Nina!” ujar Erlangga dengan suara yang penuh penyesalan, meremas tangan Venina dalam genggaman eratnya. Tatapannya menusuk tajam, mencari pemahaman di dalam mata wanita di hadapannya.Venina masih terdiam, mencerna setiap kata yang terucap dari bibir Erlangga. Benaknya berputar cepat, mencoba memahami kompleksitas hubungan di antara mereka. Apakah semua yang dia ketahui selama ini hanyalah permukaan dari kebenaran yang jauh lebih dalam?“Dan kamu bukanlah penyebab dari semua itu,” lanjut Erlangga dengan suara yang mengal
Venina duduk di depan layar komputernya dengan tatapan kosong. Beberapa hari setelah kembali dari Surabaya, dia tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Seringkali dia membuat kesalahan.Tiba-tiba, suara Alfian mengagetkannya. "Ada apa, Nina? Apa kamu sakit?"Venina tersentak, matanya terbelalak saat menyadari kehadiran Alfian di hadapannya. "Ti-tidak, Pak," jawabnya dengan gugup, mencoba menutupi kegelisahannya.“Sejak tadi saya perhatikan kamu tidak fokus? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alfian lagi, ekspresinya penuh perhatian.“Sebenarnya… saya… saya hanya sedikit lelah, Pak,” jawab Venina dengan ragu, meremas jari-jemarinya dengan gelisah.“Kalau memang kamu butuh is