Venina duduk sendirian di dalam kamar, meratapi sikapnya yang berlebihan pada Erlangga malam sebelumnya.
"Saya terima kalau kamu masih marah, Nina. Tapi mau sampai kapan kamu terus menyalahkan keadaan?"
Kata-kata yang diucapkan pria itu sebelum pergi masih menggema di telinganya, memantik rasa sesal yang mendalam. Wajah Erlangga, yang terlihat tegang dan terbebani oleh emosi, terbayang jelas dalam benaknya, memunculkan kekhawatiran yang membelenggu hatinya.
Erlangga pergi dalam keadaan emosi, dan Venina merasa kecemasan merayap di dalam dirinya. Setiap detik terasa seperti seabad saat dia menunggu panggilannya dijawab. Namun, pria itu tak kunjung pulang, menyisakan kekosongan yang membuat hatinya semakin gelisah.
"Lindungi dia, Tuhan," gumam Venina dengan tulus, ha
Selama masa istirahatnya, Venina merasa sangat terharu melihat perhatian yang diberikan Erlangga padanya. Pria itu merawatnya dengan penuh cinta, melayani segala kebutuhannya dengan hangat dan hati yang tulus.Mulai dari menyuapkan makanan, mengambilkan obat, membantu ke kamar mandi, hingga tugas-tugas kecil lainnya, semuanya dilakukan Erlangga dengan penuh kasih sayang."Jangan manjakan saya seperti ini, Mas. Nanti saya malah rusak," kata Venina, merasa sedikit tidak nyaman namun juga tersentuh saat Erlangga dengan telaten melepas pakaian dalamnya dan menggantinya dengan yang baru."Saya merasa seperti wanita sakit kalau begini terus, Mas. Padahal saya kan hamil, bukannya kena penyakit jantung," lanjut Venina sambil memejamkan mata, berusaha menahan suara gemetarnya ketika merasakan sentuhan lembut Erlangga p
Venina merasakan limpahan perhatian dan kasih sayang yang luar biasa dari Erlangga seiring dengan kehamilannya yang semakin membesar. Hubungan mereka kini semakin erat dan intim.Tidak peduli sesibuk apa pun Erlangga, dia selalu memastikan Venina mendapatkan perhatian dan dukungannya. Pria itu seolah tak bisa lama-lama meninggalkannya, bahkan ketika proyek pembuatan real estate baru yang tengah dia jalankan semakin menyita waktunya.Namun, tak ada satu pun pemeriksaan kehamilan yang dilewatkannya. Erlangga selalu ada di sana, menggenggam tangan Venina dengan penuh kasih saat mereka duduk di ruang tunggu dokter. Bahkan, dia dengan sabar menemani kekasihnya melakukan senam kehamilan, meski kelelahan mulai terlihat di wajahnya yang kerap kurang tidur.Hal ini membuat Venina merasa sangat dihargai dan dicintai. Namun, di dalam hatinya, dia juga khawatir dengan beban yang harus ditanggung oleh pria yang dicintainya.Akhirnya Venina memberanikan diri untuk menyampaikan kegelisahannya saat m
“Saya pasti akan cepat kembali setelah semuanya selesai, Nina. Jangan terlalu khawatir.” Begitulah bunyi pesan yang selalu Erlangga berikan pada Venina hampir setiap hari.Sudah hampir tiga minggu sejak Erlangga kembali ke Jakarta, meninggalkan Venina sendirian di vila mereka. Meskipun telah mempekerjakan orang untuk menjaga dan mengurus kebutuhannya, namun rasa kekosongan di hati wanita itu tak kunjung tergantikan.Setiap hari terasa begitu sepi tanpa kehadiran Erlangga di sisinya. Meski terkadang dia menerima telepon dan pesan dari kekasihnya, namun hal itu tak cukup untuk mengusir rasa rindu yang menyiksanya.Di tengah kekosongan yang menyelimuti hatinya, Venina memutuskan untuk menyusul kekasihnya ke Jakarta. Dia tak bisa lagi menahan rasa hampa dan kerinduannya yang semakin memuncak. Dengan mantap,
Venina berusaha menyingkirkan segala kecemasan dalam hatinya dengan menyiapkan makan malam yang romantis untuk memberi kejutan pada Erlangga. Dia ingin malam ini menjadi kenangan indah yang akan mempererat hubungan mereka.“Semoga dia belum makan malam,” gumam Venina dengan penuh harap.Dengan sepenuh hati, dia menyiapkan makanan kesukaan kekasihnya itu sedemikian rupa. Setiap bahan dipilih dengan cermat, setiap bumbu ditambahkan dengan kasih sayang. Semuanya harus sempurna.Setelah selesai memasak, Venina bergegas untuk bersiap. Dipilihnya gaun terbaik yang pernah Erlangga belikan untuknya, sebuah gaun merah yang anggun dengan potongan elegan yang selalu membuat mata kekasihnya berbinar saat melihatnya. Meski tubuhnya sudah sedikit membengkak seperti sekarang.
Erlangga merasakan kegelisahan yang tak tertahankan saat dia meraih kemejanya dan mengenakannya dengan terburu-buru. "Aku harus menyusulnya, Lia," desahnya dengan suara yang penuh kecemasan.Nathalia, berdiri di sudut ruangan, memandang suaminya dengan tatapan penuh keprihatinan. "Jangan sekarang, Angga," cegahnya tegas. "Saat ini dia masih terguncang.""Tapi dia sedang mengandung, Lia. Bagaimana aku bisa tenang hanya menunggu seperti ini. Bagaimana kalau...." Erlangga tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Hatinya terasa hancur saat membayangkan Venina yang sedang mengandung anak mereka, terluka dan sendirian. Dia memejamkan matanya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin mengguncang hatinya.Nathalia mendekat, meremas tangan suaminya dengan lembut. "Justru karena dia sedang hamil, kamu harus memberinya waktu untuk
Dua jam kemudian, Erlangga tiba di rumah sakit bersama Nathalia. Suasana tegang dan cemas menyelimuti setiap langkahnya menuju ruangan VVIP di mana kekasihnya dirawat. Di sana, Venina telah dipindahkan setelah dokter berhasil menjahit kembali otot-otot perutnya yang terluka."Untunglah pisau itu tumpul sehingga tidak menembus lebih dalam dan merusak organ-organ vital di dalam abdomennya," kata dokter bedah yang menangani Venina. "Kami berhasil menjahit kembali luka di perutnya, dan saat ini dia dalam kondisi stabil.""Jadi mereka baik-baik saja, kan, Dok?" tanya Erlangga dengan nada penuh kekhawatiran, tak sabar menunggu penjelasan lebih lanjut."Sampai saat ini kita masih memantau kondisinya. Seorang psikiater juga akan mendampinginya," sahut dokter tersebut perlahan."Psikiater? tanya Erlangga dengan tak percaya. "Untuk apa? Dia tidak gila.""Kami hanya ingin berjaga-jaga, Pak. Jangan sampai Ibu Venina kembali melakukan percobaan seperti ini lagi," sergah dokter Erick, seorang dokte
Venina menatap punggung Erlangga yang menjauh dengan getir. Rasa sakit dan kekecewaan melanda hatinya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari bahwa pria yang dia pikir sangat mencintainya justru menjadi sumber penderitaannya."Maafkan Nina, Bu," gumam Venina ketika malam itu dia hanya sendiri di dalam kamar perawatannya. Hening malam seolah memperdalam rasa kesepiannya."Maafkan aku, Rio," bisiknya lirih, air mata mulai turun tanpa henti. Wajah ibunya dan Rio silih berganti menerpa benaknya. Masih teringat jelas dalam kotak memorinya bagaimana sakitnya tatapan mata mereka saat dia lebih memilih pergi bersama Erlangga. Kesalahan itu seperti bayangan hitam yang terus menghantuinya, membuatnya sulit bernapas.Namun, semua penyesalan itu sudah tidak ada gunanya. Venina tidak berani menemui mereka lagi dalam
Selepas Nathalia pergi dan pintu kamar tertutup, Venina menangis sepuasnya. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, dan dia masih belum tahu apakah keputusan yang diambilnya ini tepat atau tidak.Setelah beberapa saat, Venina mulai merenungkan segalanya. Dia menganggap semua rasa sakit yang dirasakannya saat ini sebagai hukuman atas kesalahannya sendiri. Dia telah mengecewakan dan menghancurkan hati orang-orang yang mencintainya dengan tulus—ibunya dan Rio. Rasa bersalah yang mendalam menjalar di setiap sudut hatinya, menambah luka yang sudah menganga.Venina bertekad untuk menanggung semua beban itu. Di sisi lain, dia juga ingin memberi pelajaran pada Erlangga yang telah menyakitinya sedalam ini. Dia akan mengajarkan pria itu arti kehilangan dan pengorbanan yang sesungguhnya."Terima kasih, Nina. Terima