"Kamu sakit, Nina?" tanya Erlangga perlahan di samping ranjang, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Venina membuka matanya yang berat, memandang Erlangga dengan lemah. "Cuma pusing, Mas," balasnya sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
"Kita ke dokter, ya," kata Erlangga dengan nada cemas, wajahnya menunjukkan betapa khawatirnya dia.
Venina menggeleng pelan. "Saya mau istirahat aja. Paling juga nanti sembuh sendiri," ujarnya, mencoba meyakinkan kekasihnya.
Erlangga tampak ragu. "Kamu yakin, Nina? Dari kemarin kepalamu juga sering sakit, kan?"
Venina menarik napas dalam. "Kemarin-kemarin kan saya banyak pikiran dan sering memendam emosi, Mas," jawabnya tanpa nada menyinggung, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya yan
Kondisi Venina semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Tekanan darahnya semakin tinggi, dan rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Erlangga terus berada di sampingnya, menggenggam tangan kekasihnya dengan penuh kekhawatiran. Nathalia pun setia menemani, memberikan dukungan yang sama kuatnya.Dokter Risa akhirnya mengambil keputusan yang berat namun perlu. “Pak Erlangga, kita harus melakukan persalinan lebih awal untuk menyelamatkan nyawa Bu Venina dan bayi yang dikandungnya,” katanya dengan tegas.Erlangga menatap dokter itu dengan mata berkaca-kaca. “Tolong, Dok, lakukan yang terbaik. Saya tidak bisa kehilangan Venina,” ujarnya dengan suara serak.Venina terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak rapuh. Melihatnya dalam kondisi seperti ini, Nathali
Erna Putri Krisdiantoro tumbuh menjadi anak yang cantik dan menggemaskan. Dalam usianya yang baru satu tahun, tingkah lakunya selalu berhasil membuat orang-orang langsung jatuh hati padanya. Senyumnya yang manis, celotehannya yang menggemaskan, serta matanya yang bersinar ceria, membuat siapa pun sulit untuk memarahinya.Bahkan, nenek dan kakeknya yang sebelumnya enggan datang ke rumah Erlangga, kini menjadi pengunjung setia. Mereka sangat menyayangi Erna, memanjakannya dengan kasih sayang yang melimpah.Namun, di balik kehangatan dan keceriaan yang dibawa Erna, masih ada bayang-bayang ketidakharmonisan di rumah itu. Amita masih tidak menyukai Nathalia dan Venina. Setiap kali dia datang, selalu ada saja kritik dan omelan yang keluar dari mulutnya.“Kamu harusnya lebih perhatian sama anakmu, Lia,” b
Erlangga melangkah masuk ke ruang keluarga dengan senyum lebar terpancar di wajahnya. Di sudut ruangan, Venina baru saja selesai membereskan mainan Erna. "Hai, Sayang," sapa Erlangga, suaranya lembut dan penuh kasih."Hai," balas Venina sambil tersenyum, wajahnya berseri-seri melihat kedatangan kekasihnya.Erlangga mendekat, merasakan dorongan kuat untuk merasakan kehangatan tubuh kekasihnya. Dirangkulnya tubuh Venina dari belakang, dan dengan lembut dia mengecup leher wanita itu, menyentuhkan bibirnya pada kulit halusnya dengan mesra. Kehangatan bibirnya membuat Venina tersentak pelan."Lepas ah, Mas," kata Venina dengan suara pelan, setengah tertawa. Dia menggeliat, mencoba melepaskan diri dari dekapan kekasihnya. Namun, bukannya merenggang, Erlangga malah mendekapnya semakin erat, seolah tidak ingin melepaskan.
Venina keluar dari kamarnya dengan penuh ketenangan, meski hatinya masih terasa perih. Dia bersikap seolah tidak ada yang terjadi, menampilkan wajah yang tenang dan tabah. Pandangan jijik dan penuh kebencian dari Amita diabaikannya begitu saja, seakan tidak ada artinya."Pokoknya Mama tetap mau merayakan ulang tahun Erna dan mengundang semua orang!" tegas Amita dengan nada otoriter, sambil melirik tajam ke arah Erlangga dan Nathalia tanpa memedulikan keberadaan Venina."Untuk apa lagi, Ma? Erna juga kan belum mengerti," sahut Erlangga, berusaha tetap sabar menghadapi perangai ibunya yang keras kepala."Mama mau memperkenalkan cucu Mama kepada keluarga besar kita, Angga. Mereka harus tahu kalau setelah sekian tahun akhirnya kamu memiliki anak, meski harus dari rahim ibu pengganti," balas Amita dengan nada ketus. Pand
Pesta yang diselenggarakan oleh Amita bukanlah acara biasa. Sebagai salah satu keluarga konglomerat terkemuka, mereka tidak pernah setengah-setengah dalam mengadakan perayaan. Halaman belakang rumah mereka dihiasi dengan lampu-lampu kristal yang menggantung indah, menciptakan suasana megah yang memanjakan mata.Tamu-tamu yang hadir adalah orang-orang penting, mulai dari pebisnis terkemuka hingga anggota keluarga besar yang datang dengan pakaian mewah dan aksesori berkilauan.Di sudut ruangan, berbagai hadiah untuk Erna menumpuk tinggi. Hadiah-hadiah yang jelas sangat mahal, mencerminkan status sosial tamu-tamu yang hadir. Erna, si bintang pesta, duduk manis dalam gaun kecilnya yang berkilauan, wajahnya berseri-seri meski belum sepenuhnya mengerti arti dari semua kemewahan ini."Cantik sekali cucumu, Mita. Akhi
"Lepaskan tanganku, Al!" geram Nathalia sambil mencoba menarik tangannya yang digenggam erat oleh Alfian. Pria itu membawanya menjauh ke sudut taman yang gelap dan sepi, jauh dari keramaian pesta yang sedang berlangsung. Suara tawa dan musik dari pesta masih terdengar samar, namun ketegangan antara mereka lebih mendominasi suasana."Berani sekali kamu membawaku ke sini di saat suami dan keluargaku sedang berkumpul," lanjut Nathalia dengan nada marah."Lantas aku harus membawamu ke mana, Lia? Ke hotel?" bisik Alfian dengan nada yang mesra namun penuh dengan ejekan.Wajah Nathalia merah padam, amarah dan rasa malu bercampur menjadi satu dalam dirinya. "Jaga sikapmu, Al! Jangan kelewat batas," bentaknya dengan kesal, matanya berkilat marah."Kamu semakin cantik saat sedang
"Jangan, Pak...," bisik Venina dengan suara gemetar, tetapi suaranya tenggelam dalam keheningan ketika bibirnya dipagut kasar oleh Erlangga. Seolah mematikan segala keberatan yang hendak diutarakan.Tubuh Venina bergetar, tak hanya oleh sentuhan kasar atasannya itu, tetapi juga oleh rasa takut yang melumpuhkannya. Aroma alkohol semakin terasa menusuk, merayap ke dalam setiap pori-porinya. "Maafkan aku, Lia," bisik Erlangga di tengah-tengah serangkaian ciuman yang ganas.Tapi aku bukan Lia, teriak Venina dalam hatinya. Tenaganya terasa habis saat itu juga. Sementara lututnya lemas, seperti tak bertulang. Tiba-tiba dia menyesali keputusannya untuk memeriksa ruang atasannya sebelum pergi tadi. Seharusnya dia langsung pulang ketika sudah mengambil ponselnya yang tertinggal. Bukannya malah sibuk mencari tahu kenapa lampu di ruangan pria itu masih menyala."Jangan tinggalkan aku, Lia," gumam Erlangga dengan suara yang hampir putus asa, namun dipenuhi oleh hasrat yang meluap-luap."S-saya…
“Apa kamu wanita itu?” Pertanyaan itu berhasil membuat tubuh Venina menegang. Dia memegang erat berkas di tangannya seolah benda itu adalah perisai yang akan menyelamatkannya. “Saya… saya tidak mengerti maksud, Bapak,” sahutnya dengan gemetar. “Apa kamu ada di ruangan saya semalam?” desak Erlangga dengan tak sabar.Ayrin menghela napas sambil berusaha menenangkan diri agar keresahannya tak terlihat. “Saya langsung pulang, Pak.”Namun, Erlangga tidak puas dengan jawaban itu. “Lalu kenapa kacamatamu ada di ruangan saya?” tanya Erlangga dengan suaranya yang berat, menekan Venina untuk memberikan penjelasan yang jelas.Venina merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya yang menyebabkan kacamatanya tertinggal di ruangan Erlangga. "Saya… saya tidak tahu, Pak," ucapnya yang terdengar bodoh, hampir terdengar seperti bisikan yang terhenti di tenggorokannya.Jari-jemari Erlangga menyentuh wajahnya, membuat Venina terkejut. "Kamu tahu betul apa