Share

Part. 3

"Katakan sesuatu! Atau aku benar-benar akan membungkam mulutmu!"

Kukedikkan bahu, lalu mengalihkan pandangan menatap jalan yang tampak sedikit lenggang malam hari ini.

Sejak adegan tabokan tadi, aku memutuskan untuk tak mengeluarkan suara apa-apa lagi kecuali helaan napas dan kentut yang tanpa sadar keluar.

Walau bagaimana pun tindakannya tadi benar-benar keterlaluan terlepas itu tak sengaja atau bukan.

Sungguh aku acungkan sepuluh jempol pada Nyonya Intan yang masih bisa bertahan dengan lelaki sepertinya.

Stevan Alexander dan Intan Permata, aku ketahui keduanya menikah di Bali 17 Januari 2019 tiga bulan sebelum aku kerja di sini. Mereka sama-sama berasal dari keluarga konglomerat yang sederajat.

Ucapan Tuan Stevan sore tadi semakin menyakinkan asumsiku bahwa memang benar mereka menikah tanpa cinta.

Ya, itu semua jelas terlihat dari sikap nggak ada akhlak lakinya.

"Aku, kan sudah minta maaf kenapa kamu masih marah?"

Tahan, Mil. Nggak boleh nanggepin. Kacangin aja.

"Lagi pula perubahan sikapmu terlalu singnifikan, Intan. Biasanya kau tak banyak bicara apalagi membantah."

Biarin dia ngoceh, pura-pura tuli aja.

"Bagaimana mungkin sikapmu bisa berubah seperti wanita kampung yang tak punya pendidikan! Barbar, ceplas-ceplos. Tak jelas, itu memuakkan!"

Oke, sekarang aku sudah tak bisa diam lagi. Ucapannya sudah bukan  menyangkut personal tapi harga diri seorang wanita yang ia anggap rendah.

"Setop! Cukup Tuan Stevan Alexander yang terhormat ... tapi breng sek." Kuhela napas sejenak, menunggu responsnya. Betul saja, lelaki itu tampak mencengkeram setir dengan rahang mengetat. "Wanita berpendidikan seperti apa yang Anda maksud sebenarnya? Dia yang tetap diam meski ditindas? Atau bungkam kala ditikam? Wanita seperti itukah yang Anda anggap anggun dan elegan?"

Dia terdiam.

"Cuma lelaki pengecut yang berani menempatkan pasangannya dalam posisi tak berdaya. Tak diberi kesempatan untuk menyela atau mengemukakan pendapat. Situ waras?"

Cekitt!

Lelaki itu tiba-tiba menepikan mobil dan menginjak pedal rem tiba-tiba. Melebar matanya seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar keluar dari mulutku, eh maksudnya mulut Nyonya Intan, karena aku cuma pelantara.

Laki model begini sekali-kali emang perlu dikasih pelajaran biar sadar.

"Siapa kau sebenarnya?"

Aku menggaruk kepala seketika.

"Aku? Aku siapa?"

***

"Emaaak ...!"

Aku berlari dan menerjang tubuh Emak erat sembari menangis pilu di pelukannya, sesampainya di bangsal rumah sakit di mana tubuhku dengan jiwa Nyonya Intan yang terbaring tak sadar.

Menurut penjelasan Tuan Stevan--setelah kita baikan. Kulit punggungku robek yang menyebabkan tulang punggung retak hingga diperlukan operasi juga belasan jahitan setelah kecelakaan. Akibatnya tubuhku hanya bisa terbaring koma.

Cepat atau lambat aku berharap jiwa Nyonya Intan segera sadar dalam tubuhku. Dengan begitu kita bisa bertukar pikiran untuk memecahkan misteri dari pertukaran jiwa ini.

"Emak sama Bapak dari Cikarang ke sini naek apa? Punya ongkos nggak?" tanyaku setelah menyeka ingus menggunakan jilbab Emak.

Namun, bukannya menjawab kedua orang tuaku itu justru menatap kebingungan.

"Intan!" Seketika Tuan Stevan menarik tanganku kasar, menjauhkan dari mereka. "Apa yang kamu lakukan?"

Tak mengindahkan pertanyaannya, kutepis tangan Tuan Stevan, lalu merogoh dompet di dalam tas Nyonya Intan.

Sompret! Nggak ada duit, cuma bon parkir sama kartu-kartu aja di dalamnya.

Tak habis akal, aku langsung berbalik dan menatap Tuan Stevan.

"Bang! Bagi duit dua ratus rebu, buat gantiin ongkos mereka!"

Dia hanya menatapku sembari mengernyitkan dahi.

"Alah kelamaan." Tak mengindahkan kebingungannya, tanpa permisi kurogoh dompet di saku samping kanan celana trainingnya, mudah-mudahan tak sampai salah pegang yang lain.

Setelah menemukannya, langsung saja kuambil dua lembar uang pecahan seratus ribuan dan memberikannya pada Emak.

"Ini buat ongkos pulang."

"Nggak usah repot-repot, Bu. Kalian bayarin biaya perawatan Milah aja kita udah bersyukur banget," tolak Emak yang melipat kembali uang tersebut dalam genggaman tanganku.

"Nggak apa-apa, kok. Lagian Milah yang nyelamatin nyawa saya. Maka dari itu dia wajar dapet yang lebih dari ini. Iya, kan, Sayang."

Kukerlingkan mata ke arah Tuan Stevan yang hanya menanggapi dengan delikan tajam.

Idih. Cocok banget jadi tokoh antagonis lu, Bang!

"Itung-itung ini bayaran tabokan tadi! Segini mah nggak ada apa-apanya dibanding ane laporin ente ke pengadilan dengan tuduhan KDRT!" bisikku di telinganya.

Seketika dia melotot.

"Ah, makasih kalau gitu, Bu. Bersyukur banget saya Milah punya majikan sebaik kalian," puji Emak dengan senyum lebar.

Ralat, Mak. Yang baik cuma bininya, lakinya mah nggak punya perasaan. Lucnut sekali.

"Eh, omong-omong apa kalian sudah makan?"

Emak dan Bapak tampak berpandangan. Sebetulnya tanpa ditanya udah keliatan kalau roman-romannya mereka kelaperan.

"Hehe ... belum, Bu."

"Ah, sebentar, ya."

Aku kembali berjalan menghampiri Tuan Stevan, lalu mencolek lengannya.

"Bang! Dua ratus rebu lagi!"

Dia melotot lagi.

"Kamu ini kenapa, sih, Intan!"

"Bagi, atau aku teriak!"

Kini matanya membelalak.

"Oke, oke. Tapi berhenti panggil aku Bang, aku bukan tukang martabak, Intan!"

"Daripada dipanggil Mamang, kayak tukang Odading. Mending mana ayo?"

Sempat kulihat dia mengacak rambut frustrasi sebelum akhirnya menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.

"Terserah."

"Nah, gitu, dong."

***

Di samping brankar bertuliskan Ny. Milah Jamilah itu aku duduk termenung. Menatap tubuh malangku yang ternyata kalau dilihat dari sudut pandang lain kayak ada manis-manisnya gitu.

Meraih sebelah tangan tangguh berwarna eksotis yang setiap hari digunakan untuk bekerja keras ini. Mulai dari angkat jemuran, sampai nyuci sempak Tuan Stevan.

"Pokoknya Milah janji, Nya. Sampai saat Nyonya bangun nanti ... Milah akan buat Tuan Stevan Jatuh cinta sampai terbucin-bucin sama Nyonya Intan!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status