Share

Part. 4

"Sejak kapan kamu begitu peduli pada Milah sampai menangis tersedu-sedu seperti itu?"

Kutolehkan kepala menatap Tuan Stevan yang munculnya udah macam tukang kreditan yang nagih akhir bulan. Bikin sawan.

Sembari menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi, aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri di sisinya.

"Sejak awal aku memang sudah peduli padanya, Bang. Nyo-- eh Milah bisa dibilang satu-satunya temanku saat ini. Sikapnya yang seolah tanpa beban meski sering kau jadikan pelampiasan entah kenapa membuatku seolah mendapat penghiburan dari tekanan."

Entah setan apa yang merasukiku saat dengan lantangnya melontarkan kalimat itu. Mungkin karena terperangkap di tubuh Ibu Peri gaya bicara pun sesekali berubah macam baca puisi dengan penuh improvisasi.

Tapi, jujur. Untuk beberapa point, ucapanku mungkin bisa dibenarkan atau dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena sama seperti Rapunzel yang dikurung dalam kastil megah oleh sang penyihir jaha nam, Nyonya Intan pun bisa dibilang demikian.

Yang kutahu wanita malang itu hanya diizinkan keluar rumah paling sering dua kali dalam seminggu, itu pun Tuan Stevan yang ajak keluar atau diminta Tuan dan Nyonya besar yang tak lain orangtuanya untuk datang berkunjung ke rumah mereka.

Entah karena dia takut kehilangan, atau hal itu salah satu bentuk dari pengekangan. Percayalah, untuk beberapa situasi aku tak mengerti dengan pola pikir lelaki ini.

Bagaimana bisa dia tega menempatkan seorang istri dalam keadaan yang benar-benar tak berdaya.

Kalau saja aku yang ada di posisi Nyonya Intan, jangankan jatah harian, jatah mingguan saja tak negosiasikan.

"Apa saja yang kamu kamu katakan pada si Milah tentang kita, hah?" Seketika bulu romaku berdiri saat ia mulai melontarkan pertanyaan itu dengan nada dingin cenderung sinis.

"Nggak ada. Aku nggak pernah bilang apa-apa tentang urusan ranjang, eh maksudnya rumah tangga kita. Selama ini cuma Milah yang selalu ngoceh tentang beban hidupnya. Termasuk rasa kesel dia mempunyai majikan yang sempurna kelucnutannya kayak kamu, Bang! Saat itu aku cuma bisa ngakak sambil ngangguk-angguk setuju."

Aku hanya bisa terkekeh geli melihat air mukanya yang semula tegas dan dingin, berubah jengkel.

"Si Milah ... gadis kampung itu. Awas saja kalau dia sudah sadar." Gemeretak gigi Tuan Stevan kala menggerutu mengancamku.

Kagak mempan Tuan, ane udah kebal sama segala macam omelan dan sifat mengintimidasi situ.

"Kenapa kamu tertawa?" Dia menatapku sinis.

"Emangnya nggak boleh? Ketawa, kan nggak dilarang dan bukan termasuk pelanggaran."

"Oh, jadi selain membantah kamu juga udah pinter ngeles sekarang?" Dia berpangku tangan.

"Ya, begitulah." Kukedikkan bahu, tak acuh. "Eh, btw Kalau diliat-liat Milah manis juga, ya, Bang?"

Lelaki itu tampak memicingkan mata sambil memperhatikan tubuhku yang terbaring di brankar.

"Nggak."

"Sedikit pun?"

"Nggak."

"Secuil?"

"Nggak."

"Setitik?"

"Kamu ini kenapa, sih? Apa pandanganku tentang si Milah benar-benar penting bagimu?"

Woiya penting, dong. Setidaknya aku tahu kalau situ bencinya bagian mana, Tuan.

Lagian demen banget panggil orang pake embel-embel 'Si' berasa lagi ngusir dogi.

"Iya, iya, nggak akan nanya lagi aku. Gitu aja ngambek kamu." Kuulurkan tangan, lalu menjawil dagunya. Nyengir lebar.

Namun, bukan tatapan sayang yang didapatkan, roman-romannya aku bakal ditendang.

"Cukup! Ini sama sekali nggak lucu."

Deg!

Seketika aku tersentak saat ia tiba-tiba meraih tanganku dan mencengkeramnya kuat.

Nahkan.

"Kamu tahu, kan tak ada yang boleh menyentuh wajahku, selain dia!"

Idih, dipikir muka situ fosil, Tuan?

Sekalian aja ntu muka plastikin kalau nggak mau kegores.

Eh, bentar. Dia ... dia maksudnya sapa?

"Ya maaf." Seketika aku menarik diri, lalu menepis tangannya. "Gitu aja marah."

Hanya sepersekian detik sampai kulihat sorot matanya kembali berubah dingin.

"Aku tunggu di mobil. Kita pulang sekarang!"

Dia kenapa?

***

Sepanjang perjalanan pulang kami lewati dengan kebungkaman. Perkara colek dagu dikit saja berbuntut panjang. Padahal baru dagu, loh. Belum yang lain. Ketek misalnya.

Ya Allah, ini bahkan belum 1 x 24 jam tapi kenapa aku sudah tak tahan. Kembalikan jiwa kami, Tuhan ... sungguh aku tak sanggup menghadapi lelaki dengan sifat labil dan baperan.

Mon maaf Nyonya Intan, kayak sebelum dia bucin beneran aku udah nyerah duluan.

"Ngapain kamu berdiri di situ, pintunya mau dikunci. Awas!" Seketika aku terlonjak mendengar ucapan datarnya. Baru tersadar ternyata sejak tadi aku berdiri di ambang pintu.

"Eh."

"Ck." Sejenak dia berdecak, lalu menarik pergelangan tanganku untuk masuk ke dalam.

Dengan keadaan setengah linglung, aku menggaruk tengkuk dan berjalan ke kamar.

"Mau apa kamu ke sana?" Lagi-lagi ucapan Tuan Stevan menghentikan pergerakan langkahku.

"Ya tidurlah, masa ngepet!" sungutku sebal.

"KAMAR KITA DI ATAS, INTAN! NGAPAIN KAMU KE KAMAR SI MILAH?"

Lagi-lagi aku terlonjak dibuatnya.

Astagfirullah, Gusti ....

Sungguh aku benar-benar belum terbiasa dengan tubuh ini. Karena bukan hanya fisik yang berubah di sini, tapi juga keadaan, kepribadian, juga latar belakang.

Terlepas dari semua ini menguntungkan karena jiwaku terperangkap dalam tubuh dengan berjuta kelebihan. Sebuah tamparan menyadarkan bahwa selain kelebihan juga terdapat kekurangan.

Satu di antaranya yaitu suami sekaligus majikan tak punya perasaan.

Akhirnya tanpa berniat membantah aku berlari kecil mengekorinya yang berjalan cepat menuju kamar di lantai atas.

Lelah hayati, Bang.

***

"Kamu duluan, aku duluan, atau mau barengan?" Pertanyaan itu terlontar sesaat setelah kudaratkan bokong di atas sofa dan melepas mantel.

Seketika aku mendelik sembari mencebik. "Ogah, duluan aja sana! Lagian aku udah mandi ngapain mandi lagi, buang-buang aer."

Lagian kalau kita mandi barengan, bukannya cepet tapi malah nggak kelar-kelar entar.

Tuan Stevan tampak mengedikkan bahunya, lalu berlalu ke kamar mandi.

Lagian, kok bisa itu mood naik turun terus udah kayak harga emas? Sebentar-sebentar ngambekan, sebentar-sebentar ngajak baikan.

Apa jangan-jangan dia punya kelainan kepribadian? Au, ah.

Mengabaikan Tuan Stevan. Aku memilih untuk membunuh bosan sembari menunggu rasa kantuk menyerang. Kuputuskan untuk menyalakan TV dan mencari chanel luar negeri.

Meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Setidaknya setelah bertemu dengan Emak dan Bapak juga memastikan kondisi keduanya dalam keadaan baik sejak terakhir kali kami bertemu empat bulan lalu-- sejenak aku bisa benapas lega dan menikmati hari ini.

Merasa tak sia-sia walaupun harus menangguhkan masa depan dengan tinggal di rantau orang, dari hasil jerih payah dan keringat yang bercucuran ini penghasilanku bisa digunakan untuk meringankan beban perekonomian yang sempat menekan keluarga kami.

Setelah menit demi menit berlalu dengan memikirkan beban hidup, tanpa sadar mataku meredup, dan terasa kantuk.

Kuubah posisi dari bersandar, jadi meringkuk di atas sofa panjang berwarna hitam.

Sebelum kesadaran benar-benar terenggut, kusempatkan berdoa ... agar saat membuka mata esok hari, aku terbangun sebagai sosok Milah kembali.

Setidaknya ... walaupun terlahir sebagai orang susah, aku bahagia dengan hidup ini.

***

Secercah cahaya tampak mengintip dari lubang ventilasi di bagian depan ruang kamar. Seketika aku terbangun saat tiba-tiba dada terasa sesak seperti tertindih sesuatu.

Dengan mata yang masih memburam dan belum fokus, akhirnya kuedarkan pandangan dan tersadar bahwa sudah terbaring di atas ranjang.

Tepat ketika tubuh merasakan sebuah pergerakan yang tak seharusnya dari sosok di seberang ... kutolehkan pandangan, lalu terlonjak hingga refleks melayangkan tamparan.

Plak!

"Argh!"

Bisa kulihat Tuan Stevan mengusap wajah, lalu menatapku nyalang yang duduk bersandar di kepala ranjang. Kaget bukan main rasanya.

"Suruh siapa pegang-pegang! Saya memang pembantu, tapi masih punya harga diri, ya, Tuan."

Dia tampak menatapku tak percaya antara shock dan murka.

"KAU INI KENAPA? Cicak-cicak di kamar ini bahkan sudah tahu aku biasa melakukan--"

Plak!

Belum sempat Tuan Stevan menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu melayangkan tamparan kedua. Kali ini lebih keras dari yang sebelumnya.

"Tolong jaga sikap Anda kalau nggak mau saya laporkan ke komnas Ham!" ancamku berapi-api.

Bisa kulihat wajahnya benar-benar berang sekarang.

"Lelucon macam apa ini, Intan! Apa yang akan mereka katakan kalau kau melaporkan suamimu sendiri? Kau ini kenapa, sih? Kurasa kecelakaan itu bukan hanya membuat otakmu terbentur, tapi juga merenggut kewarasanmu!"

Kukerjapkan mata, pikiran kosomg seketika.

Jadi, aku masih terbangun dalam tubuh Nyonya Intan?

Argghh ... demi cintaku pada Babang Salman Khan, situasi menyebalkan apa lagi ini?!

Tolong kembalikan tubuh eksotisku!

Ternyata menjadi good looking tak selalu something apalagi semeriwing. Lama-lama mungkin aku bisa jadi orang sinting!

.

.

.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nunu Nugraha nursyamsi
penulisnya emang suka bikin soal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status