Share

Bab 4

Dalam sekejap, Hazel membaca sekilas perjanjian pernikahan dan terdiam sejenak.

Hati Sergio menegang tanpa alasan yang jelas ketika melihat Hazel tidak berbicara. Jadi, dia bertanya, "Apa ada masalah?"

Hazel menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Om, apa kamu yakin mau menandatangani perjanjian ini denganku?"

Tidak ada yang salah dengan perjanjian itu. Bahkan setiap isi di dalamnya hampir bisa dikatakan menguntungkan Hazel.

Dengan menikahi Sergio, dia tidak hanya akan memiliki status dan kedudukan sebagai Nyonya Hardwin, tetapi juga akan mendapatkan tiga persen saham Perusahaan Hardwin, serta real estat atas nama pribadi Sergio.

Dia juga akan mendapatkan setengah dari aset pribadi Sergio jika mereka bercerai.

Perusahaan Hardwin adalah konglomerat multinasional terbesar di Kota Palapa yang bergerak di bidang keuangan, real estat, katering, hotel dan berbagai industri lainnya. Nilai pasar sahamnya pun terus meningkat.

Dengan keluarga kelas tiga seperti Keluarga Vandana, jika semua aset mereka digabungkan, itu saja masih tidak mampu membeli satu persen saham Perusahaan Hardwin.

Dia baru menikah dan sudah menjadi kaya dalam semalam?

Ekspresi Sergio tetap datar dan tidak terpengaruh. Dia bahkan masih sempat menyeduh secangkir minuman pencegah masuk angin. "Ya. Tanda tangan saja."

Sergio cukup yakin bahwa dia tidak akan bercerai.

Baginya, uang hanyalah sekumpulan angka.

Bukankah tujuan mencari uang adalah untuk menabung dan mendapatkan istri?

Mendengarkan apa yang dikatakan para bawahannya, semua gaji mereka akan diserahkan kepada istri setelah menikah, begitu juga dengan aset yang mereka miliki.

Terkait perceraian ....

Cih, dia tidak akan pernah melakukannya dalam hidup ini.

Sangat sulit untuk membawa istri mungil ini pulang ke rumah. Begitu sudah berada di dalam pelukan Sergio, jangan harap dia bisa melarikan diri.

Hazel menggertakkan gigi dan langsung menandatangani surat perjanjian itu.

Tidak peduli berapa lama pernikahan ini akan berlangsung, dia tidak mau kehilangan semua keuntungan ini.

Melihat Hazel membubuhkan namanya di pojok kanan bawah, Sergio mengatupkan bibirnya dengan puas.

Dia mengambil surat perjanjian pernikahan dan menyerahkan minuman yang sudah diseduh. "Minumlah. Kamu habis kehujanan, jadi jangan sampai sakit."

"Terima kasih, Om," Hazel tersenyum manis dan mengambil sodoran gelas dari Sergio.

Hawa panas yang mengepul terus bergerak naik, menguarkan aroma pahit khas jamu. Hazel mencubit hidungnya dan meminum obatnya dalam satu tegukan.

Sergio menunduk, menahan lekukan senyuman di sudut bibirnya. Lalu, dia mengatakan, "Sudah malam, istirahatlah."

Hazel tersentak. Apa malam ini dia akan ... tidur dengan Sergio?

Jantungnya berdegup kencang saat membayangkan kemungkinan itu. "Om, kenapa nggak kasih kamar terpisah untukku?"

Sergio mengangkat alisnya sedikit. "Kenapa? Kamu khawatir aku akan melakukan sesuatu padamu?"

"Bukan begitu!" Hazel langsung menyangkalnya tanpa berpikir panjang.

Dia tidak terbiasa tidur dengan orang asing.

Baginya, Sergio adalah orang yang lebih tua darinya, om dari tunangannya sendiri.

Mata Sergio yang gelap dan dalam menatapnya, bahkan hawa dingin terpancar dari tubuhnya. "Nggak ada yang namanya tidur di kamar yang terpisah dalam perjanjian kita."

Hazel sedikit tercengang. Sepertinya memang tidak ada syarat seperti itu dalam surat perjanjian.

Dia tiba-tiba menyesal telah menandatangani perjanjian pranikah itu. Sergio orang yang terlalu misterius dan berbahaya.

Bekerja sama dengannya sama saja dengan menguliti kulit harimau.

Melihat rasa takut di mata Hazel, Sergio menghela napas pelan. "Kalau kamu nggak terbiasa tidur sama orang lain, aku bisa memberimu waktu untuk membiasakan diri. Tapi yang namanya suami istri, ini tentang menghabiskan sisa hidupmu bersama."

Kata-kata menghabiskan sisa hidup bersama diucapkan Sergio dengan sangat serius.

Hazel menundukkan kepalanya karena malu, tidak berani menatap mata Sergio.

Setelah terdiam beberapa saat, Hazel menggertakkan gigi dan berkata, "Nggak perlu. Aku bisa langsung membiasakan diri!"

Sejak kontrak ditandatangani, harus ada semangat dan niat dalam menjalani kontrak.

Bukankah ini hanya sekadar tidur di ranjang yang sama? Bukan Hazel juga yang akan menderita.

Hazel dibawa ke kamar tidur oleh Sergio dalam keadaan sedikit linglung.

Saat pertama kali masuk ke kamar ini sebelum makan malam, Hazel terlalu panik dan langsung masuk ke kamar mandi. Setelah tenang, dia mulai mengamati kamar Sergio.

Apakah ini benar-benar tempat yang ditinggali oleh seseorang? Apa tidak terlalu kosong dan dingin?

Kamar tidur yang besar, gaya dekorasinya sebagian besar hitam dan putih. Tatanan yang ada sangat sederhana dan perabotan yang ada pun cukup menyedihkan.

Kamar tidur Sergio adalah kamar tidur utama, jadi terkesan terlalu kosong dan tidak ada hiasan atau apa pun. Tidak seperti rumah, ini malah lebih seperti tempat tinggal sementara.

Hazel menatap Sergio dengan tatapan rumit, bergidik sendiri saat memikirkan bagaimana Sergio bisa tinggal di lingkungan yang begitu dingin dan kosong seperti ini.

Sergio berdeham tidak nyaman, lalu mengatakan, "Kamu bisa tidur di sini malam ini. Besok baru minta seseorang membelikan keperluanmu."

"Ya."

"Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Jadi kamu bisa tidur dulu."

"Ya!"

Nada suara Hazel jauh lebih tinggi dari sebelumnya, memberi kesan kalau dia ingin Sergio pergi secepat mungkin.

Sergio menatapnya dalam-dalam. "Sebegitu inginnya aku pergi?"

Menatap tatapan dalam Sergio, Hazel tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. "Selamat malam, Om."

"Hmm." Sergio berbalik dan meninggalkan kamar tidur utama. Sudut bibirnya yang tadinya tertahan dan tegang menjadi sedikit mengendur saat pintu kamar tertutup, membentuk lengkungan yang dangkal.

Matanya tertuju pada pintu kamar yang tertutup dan dia menjawab dengan suara rendah, "Selamat malam."

Di dalam kamar, Hazel berbaring di tempat tidur yang empuk. Saraf-sarafnya yang tegang perlahan-lahan mengendur, tidak lupa menghela napas dalam kenyamanan.

Seprai tempat tidur ini menguarkan aroma khas seorang Sergio, aroma pinus. Rasanya begitu segar dan menyenangkan.

Awalnya Hazel mengira kalau dirinya akan sulit tidur karena tidur di tempat baru. Namun, tidak disangka dia langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal.

Sergio menyelesaikan konferensi videonya dan menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari.

Dia menutup komputer dan berjalan menuju ke kamar tidur.

Dalam kegelapan malam, pintu kamar tidur dibuka tanpa suara. Pria jangkung itu perlahan-lahan mendekat ke samping tempat tidur, menatap orang yang sudah terlelap di tempat tidur.

Cahaya bulan yang terang masuk melalui jendela, menyinari pipi putih dan halus gadis itu. Wajahnya pun terlihat jauh lebih lembut dan tenang.

Sergio mengulurkan tangannya. Ujung jarinya yang kasar membelai pipi Hazel dengan lembut sebelum dirinya pun turut berbaring.

Hazel tidak tidur nyenyak malam ini. Dia merasakan datangnya bahaya dalam tidurnya.

Rasanya seperti diawasi oleh seekor binatang buas yang sedang berhibernasi di hutan. Hal itu membuat tubuhnya menggigil.

Ketika terbangun, keringat sudah membasahi punggung dan dahinya.

Melihat ruangan yang tidak dikenalnya, Hazel terdiam selama beberapa detik sebelum mengingat apa yang terjadi kemarin.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu, yang dibarengi suara pria yang bicara dengan hormat dan tenang.

"Nyonya, apa Nyonya sudah bangun? Saya pengurus rumah tangga di Grand Permata, Adam Sandiga."

"Ya, tunggu sebentar."

Hazel buru-buru turun dari tempat tidur dan pergi untuk membuka pintu. Meski baru bangun tidur dengan penampilan yang sedikit berantakan, kecantikannya masih tidak terpengaruh sedikit pun.

Pipi putihnya begitu mulus, matanya masih menyiratkan kesan kantuk karena baru bangun tidur. Dia bahkan masih sedikit linglung.

Sorot mata Adam menunjukkan keterkejutan. Dia mengangguk lega karena tuannya akhirnya mendapatkan apa yang dia inginkan.

Tuannya itu selalu mendapatkan apa yang dia inginkan.

Caranya memang sedikit kurang pas, yang kalau sampai tersebar mungkin akan merusak reputasi Keluarga Hardwin.

Namun, itu hanya masalah kecil.

Reputasi Sergio di luar sana sudah tidak baik, dia pun tidak takut untuk dianggap lebih buruk lagi.

Adam tersenyum, lalu mengatakan, "Sarapan sudah siap. Apa Nyonya mau makan sedikit?"

Saat Adam tengah mengamati Hazel, Hazel pun tengah menatapnya.

Mungkin Adam sudah berusia pertengahan empat puluhan. Dia mengenakan jas dan sepatu bot. Rambutnya disisir rapi, wajahnya menunjukkan senyum yang sopan dan lepas.

"Ya." Hazel tersenyum saat menjawab. Setelah membersihkan diri sebentar, dia pun turun ke bawah.

Saat duduk di meja makan, dia menjadi penasaran karena tidak melihat Sergio.

Adam sepertinya menyadari akan kebingungannya, jadi dia menjelaskan, "Pak Sergio ada rapat pagi, jadi sudah berangkat ke kantor satu jam yang lalu."

"Hmm." Hazel mengangguk mengerti.

Dia menunduk dan menikmati makanannya dengan tenang, entah kenapa hatinya merasa lega.

Meskipun sudah setuju untuk menikah dengan Sergio, dia masih merasa gugup saat memikirkan Sergio.

Mungkin karena Sergio selalu memancarkan aura yang membuat orang lain tidak berani mendekatinya dengan mudah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status