Rena bisa saja memilih beranjak pergi dari sana, mengabaikan Andreas yang masih saja membuatnya terbawa perasaan kesal karena tingkah pria itu padanya beberapa saat lalu di teras belakang. Tapi membiarkan Mbok Irma harus kerepotan di dapur sendirian menyediakan nasi dan lauk untuk makan malam lelaki itu, mengurungkan niat Rena yang ingin sekali melangkah menjauh, dan justru berakhir ikut membantu memanaskan makanan dingin yang terlanjur disimpan Mbok Irma di kulkas.
Ikan kuah kuning, ayam suir rica-rica, sayur lodeh, sayur asem, lele goreng, kupat tahu, dan masih banyak lagi menu yang disediakan Mbok Irma di atas meja makan, benar-benar mengundang decak pelan Rena karena sepertinya pekerjaan mencuci piring yang baru saja ia selesaikan akan terulang lagi di ronde kedua.
Kenapa pula laki-laki ini harus berubah pikiran dan justru membuat mereka semua jadi kerepotan! Padahal harusnya sekarang Rena sudah bisa telentang nyaman di kamar atas dan mulai menapaki alam mimpi in
Rena memang selalu gampang dibuat terbangun oleh riuh hujan yang berlomba-lomba mencumbu atap. Ditambah gemuruh angin dan sesekali gelegak petir di luar sana yang mengusik lelapnya, seketika akan membuat ia kembali terjaga. Bahkan tak sering juga berakhir tertahan dari rasa kantuk sepanjang malam. Seperti sekarang ini.Padahal baru terhitung kurang dari tiga jam lalu ia tertidur setelah melakukan pekerjaan melelahkan seharian. Tapi udara menipis khas perbukitan yang lebih dingin dari kemarin malam, membuat matanya sulit diajak bekerjasama untuk kembali beristirahat. Setiap kali terjebak pada kondisi menyebalkan ini, Rena akan memilih mengisi waktu begadangnya dengan menyelesaikan pekerjaan kantor tersisa. Namun berhubung saat ini ia sedang dalam misi pelarian, tidak banyak tambahan deadline yang perlu ia selesaikan dalam rentang waktu dekat. Selain strategi promosi pengembangan Kopi Robusta yang sudah dibereskannya sore tadi. Rena melirik jam ponsel
Jangan lagi. Ia berharap takdir keji ini akan berhenti menariknya pada pusaran menyakitkan ini lagi. Namun bunyi bantingan benda pecah belah di luar sana, diikuti hentak teriakan menggema saling merampas bersahutan, membuat ia sepenuhnya sadar, tak ada jalan kembali sebelum melalui kesakitan ini setuntas mungkin. Mendekap erat-erat tubuhnya meringkuk di sudut kamar, telinganya makin awas menangkap semua suara serapah menyakitkan yang masih terus memecah keheningan malam. Tak jarang juga rintih kesakitan diikuti gema pukulan atau tamparan, menjadi alunan memekakan menyembilu dada. Sampai akhirnya gedebum pintu dibanting kasar diiringi makian suara berat seseorang, menjadi akhir penutup dari segala kakacauan yang ada. Kemudian tak lama berselang, deru mesin mobil mulai menjauhi pekarangan adalah satu-satunya hal terakhir yang ia dengar sebelum kungkungan sepi kembali datang meraja. Tapi hal itu sama sekali tidak membuatnya merasa lega. Karen
Rena tak pernah merasakan ketakutan sebesar ini saat berhadapan dengan tatapan murka seseorang yang menghujamnya begitu mengerikan. Netra itu seolah menyimpan kemarahan besar seolah siap melenyapkan atau mematahkan pergelangan tangannya jika ia sedikit saja salah bersuara. Apalagi melihat bagaimana tubuh itu menjulang di atasnya dengan raut penuh intimidasi, semakin membuat Rena terperanjat bisu tanpa kata. "Apa yang kamu lakukan, Sialan?!" desis lelaki itu tajam. Remasan kian bertambah kuat pada pergelangan tangannya, berhasil meloloskan ringisan kesakitan dari getar bibir Rena. Tapi ia terlalu takut untuk sekedar mengucap sepatah kata. "Jawab!" sentak Andreas kembali saat tak mendapat jawaban apapun.Mendengar itu, Rena kembali terperanjat dengan bibir makin mengatup rapat. Hingga tanpa sadar, satu tetes air mata pun jatuh meluruh dari pelupuknya karena rasa takut yang tiba-tiba melanda. Hal yang justru membuat pria di hadapannya sontak terperangah.
Hal pertama yang Rena lakukan setelah kakinya menginjak lantai dapur, adalah menjatuhkan dirinya ke atas kursi dengan kedua lutut lemas yang masih bergetar samar. Meskipun berusaha menyembunyikan segala kegugupan dan rasa takutnya dengan bersikap sepercaya diri itu dalam menentang kekeras kepalaan Andreas, tetap saja jiwa pecundangnya yang sudah terbentuk secara lahiriah akan langsung muncul ke permukaan begitu penyesalan datang menyapa.Apalagi setelah menyadari kebodohan macam apa yang baru saja ia ciptakan barusan. Astaga. Padahal baru terhitung beberapa belas menit lalu ia dibuat gemetar nyaris kehabisan napas, dan hampir berakhir kehilangan sebelah tangan karena mendapati kemurkaan Andreas akibat sikap lancangnya karena berani mengusik tidur lelaki itu. Walaupun ia sendiri benar-benar tak mengerti alasan apa yang memantik kemarahan Andreas sampai sebegitu besarnya hanya karena satu kesalahan kecil yang tak sengaja Rena buat. Dan sekarang hati nu
Andreas terbangun dengan denyutan kepala yang masih meninggalkan sisa-sisa pening dari demam menggigilnya semalam. Entah sudah berapa lama ia jatuh tertidur, sampai tak menyadari detik dan menit berlalu cukup singkat hingga seberkas cahaya merangsek masuk dari ventilasi tinggi yang tidak terhalang gorden, menunjukkan bahwa waktu sudah menyongsong pagi di luar sana. Dengkuran halus terdengar cukup dekat di telinga, menyadarkan Andreas tentang apa yang telah ia lewati semalam sehingga berakhir jatuh terlelap di atas sofa dengan posisi duduk, berbantalkan bahu seseorang menjadi sandaran. Bahkan tangan yang masih melingkar mendekap gadis yang tampaknya juga ikut terlelap di sampingnya, masih bertahan pada posisi semula ketika lelaki itu membuka mata. Mendesah pelan, Andreas menarik diri secara perlahan dari tubuh gadis itu dan mulai beringsut memberi sedikit jeda ruang di antara mereka. Bisa-bisanya ia membiarkan dirinya jatuh cukup mudah pada godaan kantuk hanya karena
Rena menggeliang tak nyaman di tempat tidur, merasakan sinar matahari terlalu menyilaukan mengusik kantuknya. Ia paham hal ini akan lazim terjadi karena letak kasur tempatnya berbaring saat ini hanya berjarak lima atau enam langkah dari jendela lebar menghadap ke arah timur matahari. Tentu saja jika ia terlelap terlalu lama hingga cahaya pagi makin tinggi menapaki langit---Astaga! Seperti ditarik langsung dari ambang kesadaran, Rena sontak membelalak lebar ketika keadaan ruangan di sekelilingnya berubah drastis dari apa yang sempat tertanam diingatannya semalam. Otak gadis itu langsung mereka ulang tiap kejadian yang menari-nari di kepala, tentang bagaimana ia yang terbangun di penghujung malam atau mungkin lebih tepatnya disebut dinihari, berniat memanggil kembali rasa kantuk dengan secangkir teh hangat, lalu niat itu harus terurungkan karena mendapati keberadaan Andreas yang terbaring demam di sofa ruang santai. Hingga berujung pada perdebatan sengit yang ter
Rena tak pernah bisa mengerti jalan pikiran manusia-manusia langka sejenis Andreas ini. Mengeluarkan kocek sampai setebal itu hanya untuk bayaran perawatan demam yang bahkan menggunakan lap dapur sebagai kain kompresnya, sungguh di luar nalar yang bisa diterima rakyat jelata seperti dirinya. Meskipun tentu saja uang yang diberikan Andreas bagaikan durian runtuh yang tak mungkin bisa ditolak Rena. Apalagi di tengah kondisi palit keuangan keluarga dan kebutuhan biaya berobat sang ibu. Hanya saja otaknya benar-benar tak sampai kalau dipaksa menyelami isi kepala seorang Andreas Pramoedya. Gadis itu mengambil ponselnya untuk menimbang-nimbang apa perlu meninjau langsung bahwa yang terjadi ini bukan ilusi semata, atau lebih parahnya lagi semua hanya bentuk cara lain Andreas membalas dendam dengan mengerjainya seperti sekarang. Cukup lama Rena tenggelam dalam kecamuk pikirannya sendiri, sampai akhirnya suara ketukan pintu kamar menyentak halus lamunannya. Mbok Irma berd
Rena menatap ponselnya yang menampilkan layar kontak Andreas. Ia sedari tadi berkutat bimbang antara kata hati dan ego saling bergantian mempengaruhi isi kepalanya. Banyak pertimbangan yang ia lakukan untuk memantapkan niat menghubungi Andreas. Selain ingin membahas masalah cek tunai yang pria itu berikan, di sisi lain ada kekhawatiran diam-diam menggerakan nuraninya untuk memastikan bahwa kondisi tubuh lelaki itu cukup mampu dibawa bekerja setelah demam tinggi semalam. Apalagi Mbok Irma sendiri yang mengatakan bahwa Andreas memang tidak terlihat baik-baik saja sewaktu berangkat dari sini pagi tadi. Rena berdecak ketika menyadari kebodohan apa yang baru saja ia lakukan. Kenapa pula ia harus memusingkan apa yang bukan menjadi bagiannya? Kesehatan Andreas atau apapun tentang kehidupan pria itu sama sekali tidak ada urusan dengannya. Benar, tidak seharusnya Rena dipusingkan oleh sosok asing yang bahkan baru dikenalnya secara pribadi kurang dari satu