Rena menggeliang tak nyaman di tempat tidur, merasakan sinar matahari terlalu menyilaukan mengusik kantuknya. Ia paham hal ini akan lazim terjadi karena letak kasur tempatnya berbaring saat ini hanya berjarak lima atau enam langkah dari jendela lebar menghadap ke arah timur matahari. Tentu saja jika ia terlelap terlalu lama hingga cahaya pagi makin tinggi menapaki langit---Astaga!
Seperti ditarik langsung dari ambang kesadaran, Rena sontak membelalak lebar ketika keadaan ruangan di sekelilingnya berubah drastis dari apa yang sempat tertanam diingatannya semalam.
Otak gadis itu langsung mereka ulang tiap kejadian yang menari-nari di kepala, tentang bagaimana ia yang terbangun di penghujung malam atau mungkin lebih tepatnya disebut dinihari, berniat memanggil kembali rasa kantuk dengan secangkir teh hangat, lalu niat itu harus terurungkan karena mendapati keberadaan Andreas yang terbaring demam di sofa ruang santai. Hingga berujung pada perdebatan sengit yang ter
Rena tak pernah bisa mengerti jalan pikiran manusia-manusia langka sejenis Andreas ini. Mengeluarkan kocek sampai setebal itu hanya untuk bayaran perawatan demam yang bahkan menggunakan lap dapur sebagai kain kompresnya, sungguh di luar nalar yang bisa diterima rakyat jelata seperti dirinya. Meskipun tentu saja uang yang diberikan Andreas bagaikan durian runtuh yang tak mungkin bisa ditolak Rena. Apalagi di tengah kondisi palit keuangan keluarga dan kebutuhan biaya berobat sang ibu. Hanya saja otaknya benar-benar tak sampai kalau dipaksa menyelami isi kepala seorang Andreas Pramoedya. Gadis itu mengambil ponselnya untuk menimbang-nimbang apa perlu meninjau langsung bahwa yang terjadi ini bukan ilusi semata, atau lebih parahnya lagi semua hanya bentuk cara lain Andreas membalas dendam dengan mengerjainya seperti sekarang. Cukup lama Rena tenggelam dalam kecamuk pikirannya sendiri, sampai akhirnya suara ketukan pintu kamar menyentak halus lamunannya. Mbok Irma berd
Rena menatap ponselnya yang menampilkan layar kontak Andreas. Ia sedari tadi berkutat bimbang antara kata hati dan ego saling bergantian mempengaruhi isi kepalanya. Banyak pertimbangan yang ia lakukan untuk memantapkan niat menghubungi Andreas. Selain ingin membahas masalah cek tunai yang pria itu berikan, di sisi lain ada kekhawatiran diam-diam menggerakan nuraninya untuk memastikan bahwa kondisi tubuh lelaki itu cukup mampu dibawa bekerja setelah demam tinggi semalam. Apalagi Mbok Irma sendiri yang mengatakan bahwa Andreas memang tidak terlihat baik-baik saja sewaktu berangkat dari sini pagi tadi. Rena berdecak ketika menyadari kebodohan apa yang baru saja ia lakukan. Kenapa pula ia harus memusingkan apa yang bukan menjadi bagiannya? Kesehatan Andreas atau apapun tentang kehidupan pria itu sama sekali tidak ada urusan dengannya. Benar, tidak seharusnya Rena dipusingkan oleh sosok asing yang bahkan baru dikenalnya secara pribadi kurang dari satu
Derit pintu yang bergesekan dengan lantai terdengar nyaring di telinga Rena, sesaat tangannya mendorong kayu penghalang tersebut hingga benar-benar terbuka. Ruangan remang yang hanya diisi oleh titik-titik sinar matahari sore dari ventilasi di atas jendela, menyapu pandangan Rena ketika kakinya beranjak masuk. Udara pengap begitu terasa menyentuh indra penciumannya, khas ruangan yang terkunci rapat dalam jangka waktu lama. Menyalakan mode senter pada ponsel, Rena mengarahkan cahaya bantuan itu pada sisi dinding di dekatnya untuk mencari saklar. Begitu berhasil menemukan apa yang ia cari, ruangan terang benderang oleh nyala lampu kamar sontak menyingkirkan keremangan sekitar. Rena pun mengamati sudut ruangan secara keseluruhan. Tempat ini jauh terlihat lebih mirip gudang penyimpanan barang bekas ketimbang kamar yang ia bayangkan. Di sisi kiri dari jarak pandangnya, Rena bisa melihat benda-benda berukuran besar saling bertumpukan berantakan tepat di sampi
Andreas mengetuk-ngetukan jemarinya pada daun pintu bagian dalam mobil, menatap guyuran hujan menerpa kaca di sampingnya. Satu jam lagi dari sekarang konferensi pers akan diadakan, tapi Lukman sudah menjemputnya lebih dulu ke apartemen karena kondisi tubuhnya belum cukup pulih sepenuhnya diajak menyetir sendiri. Jalanan licin dan kepadatan lalu lintas Jakarta mungkin akan sedikit membuat perjalanan mereka terhambat. Untuk itu Lukman mempercepat kedatangan setengah jam lebih awal, karena si personal asistennya itu juga harus memastikan bahwa semua persiapan yang ada telah berjalan sebagaimana mestinya. "Pak Komisaris Utama tadi menghubungi saya, dia minta alamat tempat konferensi pers anda dilangsungkan, karena ponsel anda yang sedari tadi susah dihubungi. Kemungkin Beliau juga akan menyusul hadir di sana." Lukman membuka pembicaraan setelah keheningan melingkupi seperempat perjalanan mereka. Ia diam-diam melirik wajah Andreas yang masih terlihat sedikit pucat, meskipun demam
Rena menatap dreamcatcher yang berayun pelan dicumbu semilir angin sore. Tergantung pada jendela terbuka tak jauh di depannya. Ia merasa cukup puas walaupun tampilan benda itu tak secantik yang biasa ia temukan di toko-toko. Lagipula untuk ukuran pemula seperti dirinya, penangkal mimpi itu cukup terlihat mengagumkan meski hanya didesain ala kadarnya dengan alat dan bahan seadanya. Benang rajut, lingkaran kayu, solasi warna, lem tembak, gunting, dan bulu kemoceng, tidak sulit baginya menemukan kumpulan benda itu dengan sedikit bantuan Mbok Irma. Rena memeluk tubuhnya sendiri sembari merapatkan jarak pada jendela berkusen lebar di hadapannya. Membiarkan gerakan rumbai-rumbai piringan penangkal mimpi itu menyapu kepalanya saat kembali tertiup angin. Berbanding terbalik dengan kamar yang ia tempati, ruangan ini tidak memiliki balkon luar dan hanya dihiasi empat jendela besar berdampingan menghadap langsung ke arah barat mata angin, memungkinkan sinar mataha
"Saya mohon maaf atas semua kekacauan yang terjadi. Pemberitaan yang terlanjur menyebar luas dan menciptakan berbagai keresahan massa, murni sebagai kelalaian saya. Ke depannya hal serupa saya janjikan tidak akan terulang kembali." "Terkait kecelakaan dan kematian Istri saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kejadian ini. Harap untuk tidak menebarkan kabar menyimpang demi menghargai privasi rumah tangga kami dan juga nama baik almarhumah." "Dalam hal ini saya kembali menegaskan bahwa perihal kesalahan yang terlanjur menjadi konsumsi publik, semuanya adalah murni kelalaian saya. Pihak lain manapun yang terlibat ke dalam pemberitaan, tidak lebih dari korban yang ikut terseret ke dalam masalah yang saya ciptakan. Kasus ini akan saya jadikan cerminan diri dan perenungan agar tidak lagi bersikap gegabah di waktu mendatang." Rena mengakhiri cuplikan terakhir video klarifikasi berdurasi 20 menit dari link yang dikirimkan Mala melalui aplikasi pesan pribadi. Ia menyanggakan pung
"Selama satu minggu di sana, Pak Remond akan secara langsung memenuhi semua akomodasi dan kebutuhan anda. Jika memerlukan sesuatu, anda hanya perlu mengontak Beliau.""Terkait masalah akses jaringan yang cukup sulit, akan ada petugas penginapan yang bersedia mengantarkan anda ke pemukiman lebih ramai yang cukup ramah signal kalau diperlukan.""Saya akan selalu rutin melaporkan perkembangan perbaikan mesin produksi pabrik di Tangerang melalui laman surel, dan bisa anda pantau dari sana setiap rinciannya ketika mendapatkan akses jaringan memadai.""Vitamin dan obat dari dokter kemarin-kemarin, sudah saya sisipkan ke salah satu kantung bagian dalam koper. Anda mungkin masih membutuhkannya, mengingat kesehatan anda juga belum pulih sepenuhnya.""Ada tas kecil serbaguna berisi perlengkapan P3K juga yang sudah saya masukan tadi ke dalam koper sebagai pertolongan pertama kalau ada kecelakaan kecil tak disengaja. Atau buat jaga-jaga kalau misalnya---"
"Nggak usah ditunggu, Neng. Si Aden nggak akan datang. Mbok baru dapat kabar dari Den Lukman waktu kemarin berkunjung, pas ngambil pakaian kerja Den Andreas yang Mbok cuci minggu lalu." Rena sedikit tersentak saat suara Mbok Irma yang muncul dari arah belakang, menyela lamunannya. Dengan gelagapan dan pipi bersemu merah, ia tersenyum canggung. "Sa-saya nggak nunggu siapa-siapa, Mbok. Cuma pengen ngadem di teras sini aja." "Oalah, Mbok pikir Neng Rena yang keseringan nongkrong di teras depan tiap sore akhir-akhir ini, memang karena lagi nunggu si Aden yang sudah satu minggu nggak muncul-muncul." Rena sontak menggeleng cepat. Bahkan terlalu cepat sampai Mbok Irma mengerutkan dahi. "Mana mungkin." Ia kembali tertawa canggung. "Saya memang butuh udara segar sehabis seharian kerja di kamar, Mbok." Wanita paruh baya itu manggut-manggut pertanda paham. Meskipun Rena sempat menangkap seulas senyum kecil terukir di bibirnya. Membuat gadis itu mer