Share

Poli Penyakit Dalam

"Nomor antrean dua puluh tiga. Poli penyakit dalam."

Seorang ibu-ibu paruh baya dibantu anaknya masuk ke ruang periksa. Ibu itu memakai kursi roda. Sepertinya sakitnya sudah parah. Ada seorang perawat yang mendampingi, sepertinya pasien rujukan dari poli lain.

Nadine merasa gelisah sedari tadi, berkali-kali melirik kertas di tangan. Antreannya masih panjang dengan nomor urut tiga puluh tujuh. Itu berarti, masih enam belas orang lagi yang akan masuk dan diperiksa sekian lama. Setelah itu baru gilirannya. Perutnya sudah sangat nyeri, karena asam lambung yang kumat.

Nadine meminta izin tidak masuk kerja hari ini untuk pergi ke rumah sakit supaya cepat ditangani. Padahal ini awal bulan, laporan pasti menumpuk. Dia merasa tidak enak hati, tetapi apa mau dikata. Namanya sakit, siapa juga yang mau.

"Suster!"

Nadine memanggil seorang perawat yang keluar dari ruangan itu. Di tangannya terdapat setumpuk rekam medis milik pasien.

"Ya, Ibu?"

"Apa saya boleh duluan?"

"Maaf, Ibu. Pasien masuk sesuai nomor antrean."

"Saya, kan pasien umum. Bukan asuransi."

"Benar. Tapi, aturannya memang begitu. Pasien masuk sesuai nomor antrean. Ibu bersabar aja, sambil menunggu."

"Ini saya udah sakit banget, tau!"

"Boleh saya lihat sakitnya apa?"

Perawat itu meminta kertas yang dipegang Nadine. Gadis itu menyerahkannya dengan cepat.

"Oh, asam lambung. Apa Ibu sudah sarapan?" tanyanya sopan.

"Belum. Perut saya mual gini, mana bisa makan."

Nadine menjawab dengan kesal. Perih yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Di tambah mual yang semakin lama semakin memuncak.

Niatnya urung melihat banyak orang yang sedang menunggu. Mungkin karena bercampur baur dengan pasien lain, membuatnya mualnya semakin menghebat.

Bau minyak angin, minyak gosok, entah bau apa saja menyebar di segala penjuru ruangan. Ruangan ini memakai AC, sehingga segala macam aroma bercampur menjadi satu.

"Ibu beli roti di kantin sebelah, ya. Dicemil sedikit-sedikit biar mengurangi mual. Ini sebentar saja kok periksanya. Sabar menunggu," saran perawat itu sembari tersenyum.

Pelayanan adalah yang terutama bagi rumah sakit ini. Sekalipun kadang mendapat tindakan yang kurang baik dari pasien, karyawan di rumah sakit ini tetap berlaku sopan.

"Ini udah perih banget. Saya nggak kuat. Saya masuk aja duluan boleh, gak? Yang penting diperiksa aja. Nanti obatnya nyusul," ucap Nadine setengah memaksa.

Si perawat masih bersabar dan tersenyum. Ada banyak pasien yang seperti ini, ingin selalu didahulukan dan tidak mau ikut antrean.

"Berikan sama saya nomor antrean Ibu. Tunggu sebentar, saya tanyakan dulu," jawabnya tenang.

Setelah menerima kertasnya, perawat tadi mengetuk pintu ruang poli penyakit dalam.

"Permisi, Dokter." Si perawat mengintip dari balik pintu yang sedikit terbuka.

"Ya, ada apa?" Terdengar suara lelaki menyahut dari dalam ruangan.

"Ini ada pasien umum. Minta didahulukan. Apa boleh?" Dia bertanya dengan sopan.

"Ikut antrean aja," jawab si dokter.

"Tapi maksa, Dok. Katanya udah gak kuat."

"Keluhannya apa?" lanjut si dokter.

"Asam lambung."

"Suruh tunggu sebentar. Saya periksa Ibu ini dulu. Mau dirawat inap setelah ini," kata dokter itu tegas.

"Baik, saya sampaikan."

Perawat itu keluar untuk mendatangi Nadine yang sedang duduk di sebelah seorang bapak tua yang sedari tadi tersenyum senang melihat wajahnya.

Nadine memang cantik dengan tubuh yang semampai. Lekuknya indah dan pas di semua bagian. Kulitnya juga halus putih bersih, tidak ada cacat atau tanda. Make-up natural yang dipakainya semakin menambah kecantikan.

Hari ini Nadine menggelung rambut panjangnya. Ditambah aroma tubuh yang selalu harum, gadis itu semakin memikat. Apalagi dia memakai segaram kantor sebuah bank swasta terkenal. Siapa saja pasti akan tertarik melihatnya.

Nadine menekuk bibir sembari menyilang kaki karena kesal ditatap terus oleh bapak yang tadi.

Mending juga kalau ganteng kayak Zayn Malik. Dasar tua-tua keladi, umpat Nadine dalam hati.

"Permisi, Ibu."

"Ya?"

"Kata dokternya sebentar, ya. Boleh masuk setelah pasien yang ini," ucap si perawat.

"Kok gitu?" Dahi Nadine berkerut tak senang.

"Pasien yang ini mau dirawat inap. Jadi dokter perlu melakukan beberapa pemeriksaan tertentu," jelas si perawat dengan tenang.

"Ya udah. Saya nunggu, tapi abis ini giliran saya, ya? Saya mau balik kantor, nih. Nggak enak izin terus."

Nadine menatap si perawat dengan wajah galak.

"Iya, Bu. Sebentar, ya. Nanti dipanggil."

Nadine dengan sabar menunggu. Bapak yang tadi sudah pergi entah kemana. Syukurlah, sekarang dia bebas. Lehernya berasa pegal karena sedari tadi menoleh ke kiri.

"Nomor antrean dua puluh empat. Poli penyakit dalam."

Tidak ada yang masuk. Beberapa pasien saling berpandangan, kemudian terdiam karena belum giliran mereka.

Nadine masih berada posisinya, duduk sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Ada pasien yang masuk ke poli mata dan poli penyakit jantung. Ada juga ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya karena menumpahkan minuman di baju.

"Nomor antrean dua puluh empat. Poli penyakit dalam."

Panggilan antrean diulang untuk kedua kalinya dan belum ada yang masuk. Seorang perawat keluar dari ruangan itu. Di tangannya terdapat sebuah berkas.

"Bapak Khairul. Bapak Khairul." Dia memanggil dan mencari pasien yang dimaksud, tetapi tak seorang pun yang masuk.

"Bapak Khairul. Poli penyakit dalam." Panggilan diulangi sekali lagi.

Seorang bapak tua tegopoh-gopoh masuk. Dia duduk di kursi paling ujung. Bapak ini sepertinya lupa. Wajar saja, usianya juga sudah sepuh. Beliau juga datang sendirian, sepertinya tidak ada yang mendampingi.

"Maaf. Saya lupa, Suster," kata dengan lemas. Sepertinya bapak itu menahan sakit sedari tadi, hanya sejak tadi diam saja.

"Silakan masuk, Pak."

Nadine tersadar ketika bapak itu masuk ke ruangan dan merasa heran. Bukannya perawat itu sudah berjanji kalau selesai pasien yang tadi, sekarang giliran dia. Kenapa malah yang lain didahulukan?

Nadine bergerak menuju pintu dan mengetuknya.

"Ya, Ibu" tanya si perawat kebingungan.

"Perawat yang tadi bilang, katanya setelah pasien yang tadi, sekarang giliran saya."

"Oh iya, Ibu. Maaf saya terlupa. Ibu, pasien yang umum, kan?"

"Iya. Saya ini udah nggak tahan suster. Lambung saya perih. Habis ini harus balik kantor lagi. Saya dikejar waktu," keluh Nadine.

"Sebentar, ya. Bapak ini sudah terlanjur masuk. Ibu boleh masuk setelah ini."

"Gak bisa! Harus saya yang duluan. Saya gak mau nunggu lama. Saya mau masuk sekarang!"

Nadine mencoba menerobos ke arah pintu. Perawat itu menghalangi agar gadis itu jangan sampai masuk.

Nadine mencoba lagi, hingga kejadian itu belangsung terus dan mereka masih saling dorong. Lama-lama perawat itu menyerah juga. Pasien yang satu ini benar-benar luar biasa.

Luar biasa tidak sopannya.

"Ibu, sebentar. Bapak itu lagi diperiksa. Kasihan. Ibu harap menunggu sebentar!" Nada suara perawat itu sedikit meninggi.

"Nggak bisa, dong! Pokoknya saya mau masuk! Mau diperiksa sekarang." Nadine masih saja mencoba.

Perawat itu kalah. Tubuhnya kecil. Jelas saja Nadine yang menang. Gadis itu bergegas masuk untuk mencari di mana dokternya. Ternyata ada di sebuah bilik yang dibatasi oleh kain putih dan sepertinya sedang memeriksa pasien.

Nadine duduk di kursi yang telah disediakan dan dengan santainya mengetukkan jari di meja.

"Suster, periksanya kok lama?"

Perawat itu hanya bisa menggeleng melihat kelakuan Nadine. Gadis itu cantik tetapi attitude-nya kurang baik. Sudah menyerobot antrean, minta diperiksa dengan cepat lagi. Salah satu cobaan bagi para pekerja medis untuk menguji kesabaran.

"Masih diperiksa. Ibu tunggu saja."

"Lama banget, sih. Dokternya masih baru ya?" tanya Nadine usil.

"Iya, Ibu. Baru praktek hari ini."

"Oh, belum pengalaman. Pantas aja periksanya lama."

Hingga lima belas menit kemudian, Nadine masih menggerutu tidak jelas, membuat perawat itu mengucap istigfar berulang kali.

***

Sementara itu, di balik bilik periksa, sang dokter mendengarkan pembicaraan mereka. Hanya saja, dia tidak memerdulikan. Pasiennya yang sekarang lebih membutuhkan pertolongan.

"Ih, kok lama, sih."

Nadine menggerutu lagi, kebiasaan jeleknya jika sedang kesal. Dia menatap hiasan yang dipasang di dinding. Gambar organ tubuh manusia dan beberapa poster tentang penyakit. Pandangannya fokus ke salah satu poster mengenai penyakit pencernaan. Pikirnya, mungkin seperti inilah yang sedang dia alami.

Tak lama tirai dibuka. Seorang laki-laki berjas putih menampakkan wajah.

"Ini ada apa ya, Suster?" tanya Janu kebingungan.

"Ibu ini minta didahulukan, Dok. Gak sabar nunggu." Perawat itu menunjuk ke arah Nadine.

Janu menoleh. Bersamaan dengan itu juga Nadine ikut menoleh.

Nadine tertegun dengan lidah kelu. Sosok yang berdiri di depannya ini begitu memukau. Lelaki itu sangat menawan dengan perawakan jangkung. Wajah dan tubuhnya seperti pahatan patung dewa-dewa Yunani, kokoh dan sangat jantan. Jika digambarkan mirip seperti Brad Pitt si Archilles, ksatria paling tampan dalam kisah perang Troya.

"Eh, Dokter. Maaf, saya tidak bermaksud begitu," ucapnya terbata karena gugup. Nadine menelan ludah dengan hati yang sedang tak karuan. Matanya tak berkedip melihat Janu.

Janu mengulum senyum, merasa lucu melihat gadis itu menatapnya lekat. Dia sudah terbiasa dilihat para wanita seperti itu.

Ekspresi wajah Nadine saat ini sama seperti si bapak yang menatapnya tadi, senyum-senyum tidak jelas seperti orang gila.

"Jadi gimana?"

"Silakan, Dokter. Saya menunggu antrean aja," kata Nadine tersipu malu.

Janu tergelak dan melanjutkan tindakan untuk pasien yang tadi. Sekilas sempat diliriknya logo yang melekat di baju Nadine. Ternyata karyawati sebuah bank nasional. Pantas saja cantik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status