Share

Hello, Dr. Jack
Hello, Dr. Jack
Author: Rini Ermaya

Janu Banyuaji

Janu bangun pukul lima subuh saat langit masih gelap dan ayam jago berkokok, lalu membersihkan diri di kamar mandi. Laki-laki itu mengambil sepatu sport dan berlari pagi di sekitar komplek perumahan. Kebiasaan yang selalu dilakukannya setiap hari untuk menjaga stamina agar tetap fit. Dia seorang dokter. Apa kata dunia jika sang penyembuh malah sakit? Oh, tidak bisa!

"Sarapan dulu, Nak. Ini mama buatin makanan kesukaan kamu. Roti isi."

Sarah, mamanya Janu yang berusia lima puluh tahun tetapi masih cantik, mengambilkan sepotong roti untuk putra kesayangan. Tangannya dengan cekatan mempersiapkan menu sarapan untuk anak tunggalnya itu.

"Satu aja, Ma. Nanti Aku makan lagi. Ini masih gerah."

Janu mengipas tangan di wajah. Lari tadi cukup menguras energi dan membuat kausnya basah. Dia merasa tak nyaman sehingga berencana ingin mandi dulu baru sarapan. Namun, jika mamanya sudah bertitah, mana berani dia melawan. Lebih baik diam dan menurut biar tidak panjang cerita.

"Makan yang banyak, dong. Di rumah sakit mana sempat kamu makan. Pasien rame."

Sarah sibuk menuangkan susu dalam gelas. Sementara mulutnya berkomat-kamit tiada henti. Entah apa yang dia bicarakan. Perempuan memang suka begitu. Mungkin wanita itu sedang membaca mantra, agar putranya segera menikah dan naik pelaminan tahun ini.

"Makan juga, Ma. Kalau gak makan aku bisa pingsan," ucap Janu sembari mengunyah.

Sarah memang jago memasak. Roti isi rasanya paling juara. Ada daging dan mozarella yang lumer di mulut. Juga paprika dan bawang bombay yang membuat cita rasanya menjadi lengkap.

Walaupun sesekali Janu akan makan di luar bersama teman-temannya. Dia tetap akan rindu dengan masakan rumah.

"Tapi telat, kan? Harusnya jam dua belas, jadi molor jam dua."

Sarah duduk di sebelah Janu, lalu mengambil tissue dan membantu membersihkan bibir sang putra. Dia juga menambahkan roti dan susu.

"Ya tergantung pasien. Kalau lagi sepi, jam dua belas aku udah makan. Kalau rame jadinya telat. Kan disediain snack juga. Mama ini kayak gak tau aja."

Kadang-kadang Janu merasa kesal dengan sikap mamanya yang terlalu berlebihan. Seperti tadi, saat membersihkan bibirnya. Dia bukan anak kecil, tetapi percuma saja bicara.

"Eh, anak Mama udah gede ternyata. Anak laki jangan suka ngambek. Nanti mama kasih istri.

Janu malas menjawab. Dia malah melahap sepotong roti isi, lalu meneguk susu dengan cepat.

"Kalau kamu udah gak suka diurusin sama Mama lagi, berarti harusnya udah diurusin sama istri."

Kuliah tujuh menit oleh Sarah pun dimulai. Janu hanya terdiam saat mendengarkan nasihat itu. Entah berapa menit durasinya. Satu hal yang pasti, setelah selesai berceramah, mamanya menjadi lebih ceria. Mungkin penyaluran dua puluh ribu kata seharinya telah tercukupi.

Sejak jaman Coass bertahun-tahun yang lalu, Sarah selalu menyinggung hal itu. Janu hanya menganggap itu seperti angin lalu, setiap kali mamanya mengungkit hal yang sama. Ibarat kata pepatah, masuk ke telinga kanan keluar dari telinga kiri.

Sejujurnya Janu bosan mendengar itu. Bukan hanya mamanya, tetapi banyak sekali suara-suara sumbang yang sering mengomentari statusnya.

"Ma, udahlah. Jangan gitu kenapa? Aku udah dewasa."

Janu menepiskan tangan sang mama saat kembali mengusap mulutnya dengan tissue.

"Itu bibir kamu kotor. Biar mama bersihin. Nanti hilang kegantengan anak mama. Batal deh dapet mantu."

"Entar juga ada masanya."

"Kapan? Udah lama Mama nunggu. Kamu jangan PHP, dong. Gak baik loh ngasih harapan palsu ke orang. Apalagi sama Mama sendiri," sungut wanita paruh baya itu sembari makan.

"Entar tahun depan," jawab Janu santai.

"Itu kata-kata kamu dari lima tahun yang lalu. Mama bosen dengernya. Paling gak, bawain satu cewek ke rumah ini. Biar kita agak legaan dikit. Jadinya gak berprasangka, kamu normal apa gak."

"Aku normal, lah. Mama ini mikir apaan, sih. Gak usah dengerin kata orang. Percaya aja sama anaknya," bantah Janu kesal.

"Kalau gitu, buktiin. Mama malu tiap arisan suka ditanyain sama ibu-ibu yang lain."

"Memangnya mereka bilang apa?"

"Janu kapan nikahnya, Jeng? Kok masih betah sendirian aja. Si ini lagi hamil. Si anu cucunya udah dua." Sarah menirukan ocehan teman-temannya.

Janu tergelak mendengar cerita mamanya. Kebiasaan ibu-ibu kalau berkumpul biasanya suka bergosip.

Berhubung  Sarah hanya punya satu anak yang tampan nan mapan tetapi belum sold out juga. Jadinya wanita itu merasa resah. Apalagi selama ini Janu belum pernah mengenalkan siapa pun sebagai kekasih. Kekhawatirannya semakin bertambah.

"Gak usah dipikirin. Aku normal. Biar aja orang mau ngomong apa. Masa' Mama gak percaya sama anak sendiri," katanya mencoba menenangkan.

"Kalau memang kamu normal, bawa cewek ke sini. Paling gak, posting foto sama cewek gitu. Nanti mama bisa pamer di IGe. Calon menantu eike yang cakep dan cantik jelita."

"Buat apa?"

"Biar ada bukti. Jadi mereka gak usah ngomong macem-macem lagi," jelas Sarah panjang lebar.

"Kalau mama sebel, mereka makin seneng. Lagian ngapain mama temenan sama orang kayak gitu. Gak ada faedahnya juga," saran Janu.

"Kalau Mama gak nongkrong nanti dibilang gak gaul. Masa ibu pejabat kuper. Kasian dong suaminya pejabat terkenal. Gak cucok."

Janu menunduk dan kembali makan. Jika semua wanita setelah menikah menjadi cerewet seperti mamanya, apa dia akan sanggup menjalani rumah tangga. Mungkin lebih baik dia tidak usah menikah aja. Jadi hidup bisa lebih tenang, tanpa perlu mendengarkan ocehan yang tidak penting setiap harinya.

Eh, tapi jangan. Nanti Janu bisa dituduh macam-macam. Dia masih normal. Hanya belum bertemu dengan wanita yang cocok di hati. Laki-laki itu juga malas menjalin hubungan semu, hanya untuk membantah tuduhan orang lain.

"Ada apa, nih? Berisik pagi-pagi."

Percakapan mereka terhenti saat melihat seorang lelaki paruh baya datang dan ikut bergabung di meja makan. Anton, papanya Janu yang berusia enam puluh lima tahun, tetapi masih terlihat gagah.

"Ah gak, Pa. Biasalah obrolan mama sama anak lelakinya." Sarah mengedipkan mata. Jangan sampai Janu mengadu, nanti dia yang ditegur suaminya.

Berbeda dengan Sarah, Anton memang lebih santai. Dia tidak banyak memaksakan kehendak kepada Janu. Lagipula usianya sama seperti sang putra saat menikah dulu.

"Masak apa nih, Ma?"

"Papa mau apa? Ada mie goreng jawa, roti isi, salad buah, omelette, ayam sama nasi goreng."

Mata Anton terbelalak saat melihat sajian di meja. Sarah membuka satu per satu hidangan yang sejak subuh sudah dimasak. Ada berbagai macam makanan dan semua bebas memilih.

"Banyak amat, Ma. Entar gak habis dimakan, kan sayang."

Anton mengambil piring, lalu mengisinya dengan mie goreng, nasi goreng, omelette dan dua potong ayam. Porsinya cukup banyak, sehingga tak salah jika Sarah memasak sebanyak itu.

"Kalau gak habis kan, bisa dikasihkan ke security yang jaga di depan. Kasian banget mereka makan Indomie terus."

Anton melirik Janu yang masih makan dalam diam. Jika sudah begini, maka ceramah Sarah akan lebih panjang.

"Mama gak tega, deh. Lagian itu istri mereka pada ngapain aja di rumah. Paling gak, bawain bekal buat suaminya. Masa nasi goreng telur ceplok juga gak bisa bikin. Suami makan mie instan terus itukan gak sehat." lanjut Sarah.

Anton dan Janu saling berpandangan. Ternyata dari tadi Sarah belum puas berkicau. Mereka tertawa geli melihat kelakuan wanita itu sembari menggeleng.

Terlebih lagi Anton. Hampir tiga puluh tahun menikah dengan Sarah, membuatnya hafal dengan kebiasaan sang istri.

Kata orang-orang, wanita yang cerewet itu masakannya enak. Itu terbukti kepada Sarah. Mungkin itu sebabnya mengapa Anton begitu sayang kepada sang istri. Hobinya adalah makan. Maka, cocoklah mereka.

"Udah, Ma. Ini lagi makan juga. Berhenti dulu kenapa ngomelnya." Anton bersuara. Bisa hilang mood kalau begini terus setiap hari.

"Eh, iya. Papa mau nambah, gak?" tanya Sarah.

Isi piring Anton belum habis dan dia sudah disuruh makan lagi. Laki-laki itu kembali menahan tawa, lalu berkata, "Udah cukup. Begah nanti perut."

"Ih, tapi kan papa kurus. Mama suka yang buncit gitu. Biar jadi bukti kalau sejahtera. Istrinya pinter masak di--"

"Maaa .... " tegur Anton.

Sarah terdiam dan berhenti makan, lalu pergi ke dapur. Wajahnya seketika cemberut. Anton dan Janu yang yang melihat itu kembali tertawa geli.

"Mama ngambek?" bisik Janu.

"Biarin aja. Biasalah cewek-cewek emang suka gitu."

"Wah gawat, dong! Ntar gak dapet jatah makan malam kita."

"Makan malam sih gampang tinggal beli. Jatah malam papa ini yang gawat kalau sampai gak dapat."

Tawa Janu hampir meledak. Papanya masih saja suka bercanda. Istrinya memang cantik, makanya dia betah.

"Diemin aja, Pa. Bentar lagi juga baikan."

"Udah tau. Mama paling cuma ngomel bentar. Hatinya baik seputih salju," ucap lelaki paruh baya puitis.

Janu mengulum senyum melihat keromantisan orang taunya. Kadang ada rasa iri dalam hati laki-laki itu. Benaknya selalu bertanya akankah bisa mendapatkan istri seperti mamanya, dengan rumah tangga yang langgeng. 

"Kerjaan kamu gimana? Ini kerja hari pertama, kan?"

"Iya, bentar lagi jalan."

"Gimana situasinya di sana?" tanya Anton serius.

"Aman terkendali, Pa."

"Syukurlah, Nak. Semoga kamu betah. Mana tau ada yang nyantol di hati," sindir Anto  sembari menggoda.

Janu bergumam, kalau sudah begini papanya sama saja dengan mama.

"Siap. Entar Janu gebetin itu perawat yang cakep," jawabnya asal.

"Loh, kalau bisa jodohnya dokter juga. Yang masih single. Biar anak mantu Papa dokter semua."

"Iya. Ntar liat aja. Baru juga hari pertama. Pasien dulu, lah. Jodoh nyusul."

"Pasien nomor satu, Nak. Tapi, kamu juga harus memikirkan diri sendiri."

Anton mengerti tugas seorang dokter adalah mengabdi untuk pelayanan masyarakat. Hanya saja, mereka tak ingin Janu terlalu sibuk sehingga lupa dengan kebahagiaan sendiri.

"Baru juga tiga puluh dua. Masih panjang perjalanan," jawab Janu santai.

"Itu udah cukup. Papa juga kalau seandainya lebih cepat dipertemukan sama mama kamu, pasti bakalan nikah muda."

"Iya. Doakan aja aku dapat jodoh di sana. Sesuai dengan kriteria kalian. Jadi udah gak punya beban hidup lagi. Pusing."

Janu meletakkan sendok dan garpu. Makanan sebanyak itu habis dilahap mereka dalam sekejap. Jadi tidak percuma jika tadi Sarah masak banyak.

"Jam berapa kamu berangkat?" tanya Anton mengganti topik pembicaraan.

"Ini mau siap-siap dulu. Mau mandi."

"Papa pamit sekalian. Mau ke kantor pagi-pagi."

"Hati-hati di jalan. Jangan lupa pamitan sama istrinya. Entar ngambeknya lama. Bahaya bagi kesejahteraan perut kita," canda Janu.

Tawa menggema di ruangan itu. Walaupun sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mereka saling memberikan perhatian. Keluarga yang hangat dengan banyak kasih sayang di dalamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status