Janu bangun pukul lima subuh saat langit masih gelap dan ayam jago berkokok, lalu membersihkan diri di kamar mandi. Laki-laki itu mengambil sepatu sport dan berlari pagi di sekitar komplek perumahan. Kebiasaan yang selalu dilakukannya setiap hari untuk menjaga stamina agar tetap fit. Dia seorang dokter. Apa kata dunia jika sang penyembuh malah sakit? Oh, tidak bisa!
"Sarapan dulu, Nak. Ini mama buatin makanan kesukaan kamu. Roti isi."
Sarah, mamanya Janu yang berusia lima puluh tahun tetapi masih cantik, mengambilkan sepotong roti untuk putra kesayangan. Tangannya dengan cekatan mempersiapkan menu sarapan untuk anak tunggalnya itu.
"Satu aja, Ma. Nanti Aku makan lagi. Ini masih gerah."
Janu mengipas tangan di wajah. Lari tadi cukup menguras energi dan membuat kausnya basah. Dia merasa tak nyaman sehingga berencana ingin mandi dulu baru sarapan. Namun, jika mamanya sudah bertitah, mana berani dia melawan. Lebih baik diam dan menurut biar tidak panjang cerita.
"Makan yang banyak, dong. Di rumah sakit mana sempat kamu makan. Pasien rame."
Sarah sibuk menuangkan susu dalam gelas. Sementara mulutnya berkomat-kamit tiada henti. Entah apa yang dia bicarakan. Perempuan memang suka begitu. Mungkin wanita itu sedang membaca mantra, agar putranya segera menikah dan naik pelaminan tahun ini.
"Makan juga, Ma. Kalau gak makan aku bisa pingsan," ucap Janu sembari mengunyah.
Sarah memang jago memasak. Roti isi rasanya paling juara. Ada daging dan mozarella yang lumer di mulut. Juga paprika dan bawang bombay yang membuat cita rasanya menjadi lengkap.
"Tapi telat, kan? Harusnya jam dua belas, jadi molor jam dua."
Sarah duduk di sebelah Janu, lalu mengambil tissue dan membantu membersihkan bibir sang putra. Dia juga menambahkan roti dan susu.
"Ya tergantung pasien. Kalau lagi sepi, jam dua belas aku udah makan. Kalau rame jadinya telat. Kan disediain snack juga. Mama ini kayak gak tau aja."
Kadang-kadang Janu merasa kesal dengan sikap mamanya yang terlalu berlebihan. Seperti tadi, saat membersihkan bibirnya. Dia bukan anak kecil, tetapi percuma saja bicara.
"Eh, anak Mama udah gede ternyata. Anak laki jangan suka ngambek. Nanti mama kasih istri.
Janu malas menjawab. Dia malah melahap sepotong roti isi, lalu meneguk susu dengan cepat.
"Kalau kamu udah gak suka diurusin sama Mama lagi, berarti harusnya udah diurusin sama istri."
Kuliah tujuh menit oleh Sarah pun dimulai. Janu hanya terdiam saat mendengarkan nasihat itu. Entah berapa menit durasinya. Satu hal yang pasti, setelah selesai berceramah, mamanya menjadi lebih ceria. Mungkin penyaluran dua puluh ribu kata seharinya telah tercukupi.
Sejak jaman Coass bertahun-tahun yang lalu, Sarah selalu menyinggung hal itu. Janu hanya menganggap itu seperti angin lalu, setiap kali mamanya mengungkit hal yang sama. Ibarat kata pepatah, masuk ke telinga kanan keluar dari telinga kiri.
Sejujurnya Janu bosan mendengar itu. Bukan hanya mamanya, tetapi banyak sekali suara-suara sumbang yang sering mengomentari statusnya.
"Ma, udahlah. Jangan gitu kenapa? Aku udah dewasa."
Janu menepiskan tangan sang mama saat kembali mengusap mulutnya dengan tissue.
"Itu bibir kamu kotor. Biar mama bersihin. Nanti hilang kegantengan anak mama. Batal deh dapet mantu."
"Entar juga ada masanya."
"Kapan? Udah lama Mama nunggu. Kamu jangan PHP, dong. Gak baik loh ngasih harapan palsu ke orang. Apalagi sama Mama sendiri," sungut wanita paruh baya itu sembari makan.
"Entar tahun depan," jawab Janu santai.
"Itu kata-kata kamu dari lima tahun yang lalu. Mama bosen dengernya. Paling gak, bawain satu cewek ke rumah ini. Biar kita agak legaan dikit. Jadinya gak berprasangka, kamu normal apa gak."
"Aku normal, lah. Mama ini mikir apaan, sih. Gak usah dengerin kata orang. Percaya aja sama anaknya," bantah Janu kesal.
"Kalau gitu, buktiin. Mama malu tiap arisan suka ditanyain sama ibu-ibu yang lain."
"Memangnya mereka bilang apa?"
"Janu kapan nikahnya, Jeng? Kok masih betah sendirian aja. Si ini lagi hamil. Si anu cucunya udah dua." Sarah menirukan ocehan teman-temannya.
Janu tergelak mendengar cerita mamanya. Kebiasaan ibu-ibu kalau berkumpul biasanya suka bergosip.
Berhubung Sarah hanya punya satu anak yang tampan nan mapan tetapi belum sold out juga. Jadinya wanita itu merasa resah. Apalagi selama ini Janu belum pernah mengenalkan siapa pun sebagai kekasih. Kekhawatirannya semakin bertambah.
"Gak usah dipikirin. Aku normal. Biar aja orang mau ngomong apa. Masa' Mama gak percaya sama anak sendiri," katanya mencoba menenangkan.
"Kalau memang kamu normal, bawa cewek ke sini. Paling gak, posting foto sama cewek gitu. Nanti mama bisa pamer di IGe. Calon menantu eike yang cakep dan cantik jelita."
"Buat apa?"
"Biar ada bukti. Jadi mereka gak usah ngomong macem-macem lagi," jelas Sarah panjang lebar.
"Kalau mama sebel, mereka makin seneng. Lagian ngapain mama temenan sama orang kayak gitu. Gak ada faedahnya juga," saran Janu.
"Kalau Mama gak nongkrong nanti dibilang gak gaul. Masa ibu pejabat kuper. Kasian dong suaminya pejabat terkenal. Gak cucok."
Janu menunduk dan kembali makan. Jika semua wanita setelah menikah menjadi cerewet seperti mamanya, apa dia akan sanggup menjalani rumah tangga. Mungkin lebih baik dia tidak usah menikah aja. Jadi hidup bisa lebih tenang, tanpa perlu mendengarkan ocehan yang tidak penting setiap harinya.
Eh, tapi jangan. Nanti Janu bisa dituduh macam-macam. Dia masih normal. Hanya belum bertemu dengan wanita yang cocok di hati. Laki-laki itu juga malas menjalin hubungan semu, hanya untuk membantah tuduhan orang lain.
"Ada apa, nih? Berisik pagi-pagi."
Percakapan mereka terhenti saat melihat seorang lelaki paruh baya datang dan ikut bergabung di meja makan. Anton, papanya Janu yang berusia enam puluh lima tahun, tetapi masih terlihat gagah.
"Ah gak, Pa. Biasalah obrolan mama sama anak lelakinya." Sarah mengedipkan mata. Jangan sampai Janu mengadu, nanti dia yang ditegur suaminya.
Berbeda dengan Sarah, Anton memang lebih santai. Dia tidak banyak memaksakan kehendak kepada Janu. Lagipula usianya sama seperti sang putra saat menikah dulu.
"Masak apa nih, Ma?"
"Papa mau apa? Ada mie goreng jawa, roti isi, salad buah, omelette, ayam sama nasi goreng."
Mata Anton terbelalak saat melihat sajian di meja. Sarah membuka satu per satu hidangan yang sejak subuh sudah dimasak. Ada berbagai macam makanan dan semua bebas memilih.
"Banyak amat, Ma. Entar gak habis dimakan, kan sayang."
Anton mengambil piring, lalu mengisinya dengan mie goreng, nasi goreng, omelette dan dua potong ayam. Porsinya cukup banyak, sehingga tak salah jika Sarah memasak sebanyak itu.
"Kalau gak habis kan, bisa dikasihkan ke security yang jaga di depan. Kasian banget mereka makan Indomie terus."
Anton melirik Janu yang masih makan dalam diam. Jika sudah begini, maka ceramah Sarah akan lebih panjang.
"Mama gak tega, deh. Lagian itu istri mereka pada ngapain aja di rumah. Paling gak, bawain bekal buat suaminya. Masa nasi goreng telur ceplok juga gak bisa bikin. Suami makan mie instan terus itukan gak sehat." lanjut Sarah.
Anton dan Janu saling berpandangan. Ternyata dari tadi Sarah belum puas berkicau. Mereka tertawa geli melihat kelakuan wanita itu sembari menggeleng.
Terlebih lagi Anton. Hampir tiga puluh tahun menikah dengan Sarah, membuatnya hafal dengan kebiasaan sang istri.
Kata orang-orang, wanita yang cerewet itu masakannya enak. Itu terbukti kepada Sarah. Mungkin itu sebabnya mengapa Anton begitu sayang kepada sang istri. Hobinya adalah makan. Maka, cocoklah mereka.
"Udah, Ma. Ini lagi makan juga. Berhenti dulu kenapa ngomelnya." Anton bersuara. Bisa hilang mood kalau begini terus setiap hari.
"Eh, iya. Papa mau nambah, gak?" tanya Sarah.
Isi piring Anton belum habis dan dia sudah disuruh makan lagi. Laki-laki itu kembali menahan tawa, lalu berkata, "Udah cukup. Begah nanti perut."
"Ih, tapi kan papa kurus. Mama suka yang buncit gitu. Biar jadi bukti kalau sejahtera. Istrinya pinter masak di--"
"Maaa .... " tegur Anton.
Sarah terdiam dan berhenti makan, lalu pergi ke dapur. Wajahnya seketika cemberut. Anton dan Janu yang yang melihat itu kembali tertawa geli.
"Mama ngambek?" bisik Janu.
"Biarin aja. Biasalah cewek-cewek emang suka gitu."
"Wah gawat, dong! Ntar gak dapet jatah makan malam kita."
"Makan malam sih gampang tinggal beli. Jatah malam papa ini yang gawat kalau sampai gak dapat."
Tawa Janu hampir meledak. Papanya masih saja suka bercanda. Istrinya memang cantik, makanya dia betah.
"Diemin aja, Pa. Bentar lagi juga baikan."
"Udah tau. Mama paling cuma ngomel bentar. Hatinya baik seputih salju," ucap lelaki paruh baya puitis.
Janu mengulum senyum melihat keromantisan orang taunya. Kadang ada rasa iri dalam hati laki-laki itu. Benaknya selalu bertanya akankah bisa mendapatkan istri seperti mamanya, dengan rumah tangga yang langgeng.
"Kerjaan kamu gimana? Ini kerja hari pertama, kan?"
"Iya, bentar lagi jalan."
"Gimana situasinya di sana?" tanya Anton serius.
"Aman terkendali, Pa."
"Syukurlah, Nak. Semoga kamu betah. Mana tau ada yang nyantol di hati," sindir Anto sembari menggoda.
Janu bergumam, kalau sudah begini papanya sama saja dengan mama.
"Siap. Entar Janu gebetin itu perawat yang cakep," jawabnya asal.
"Loh, kalau bisa jodohnya dokter juga. Yang masih single. Biar anak mantu Papa dokter semua."
"Iya. Ntar liat aja. Baru juga hari pertama. Pasien dulu, lah. Jodoh nyusul."
"Pasien nomor satu, Nak. Tapi, kamu juga harus memikirkan diri sendiri."
Anton mengerti tugas seorang dokter adalah mengabdi untuk pelayanan masyarakat. Hanya saja, mereka tak ingin Janu terlalu sibuk sehingga lupa dengan kebahagiaan sendiri.
"Baru juga tiga puluh dua. Masih panjang perjalanan," jawab Janu santai.
"Itu udah cukup. Papa juga kalau seandainya lebih cepat dipertemukan sama mama kamu, pasti bakalan nikah muda."
"Iya. Doakan aja aku dapat jodoh di sana. Sesuai dengan kriteria kalian. Jadi udah gak punya beban hidup lagi. Pusing."
Janu meletakkan sendok dan garpu. Makanan sebanyak itu habis dilahap mereka dalam sekejap. Jadi tidak percuma jika tadi Sarah masak banyak.
"Jam berapa kamu berangkat?" tanya Anton mengganti topik pembicaraan.
"Ini mau siap-siap dulu. Mau mandi."
"Papa pamit sekalian. Mau ke kantor pagi-pagi."
"Hati-hati di jalan. Jangan lupa pamitan sama istrinya. Entar ngambeknya lama. Bahaya bagi kesejahteraan perut kita," canda Janu.
Tawa menggema di ruangan itu. Walaupun sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mereka saling memberikan perhatian. Keluarga yang hangat dengan banyak kasih sayang di dalamnya.
"Nomor antrean dua puluh tiga. Poli penyakit dalam."Seorang ibu-ibu paruh baya dibantu anaknya masuk ke ruang periksa. Ibu itu memakai kursi roda. Sepertinya sakitnya sudah parah. Ada seorang perawat yang mendampingi, sepertinya pasien rujukan dari poli lain.Nadine merasa gelisah sedari tadi, berkali-kali melirik kertas di tangan. Antreannya masih panjang dengan nomor urut tiga puluh tujuh. Itu berarti, masih enam belas orang lagi yang akan masuk dan diperiksa sekian lama. Setelah itu baru gilirannya. Perutnya sudah sangat nyeri, karena asam lambung yang kumat.Nadine meminta izin tidak masuk kerja hari ini untuk pergi ke rumah sakit supaya cepat ditangani. Padahal ini awal bulan, laporan pasti menumpuk. Dia merasa tidak enak hati, tetapi apa mau dikata. Namanya sakit, siapa juga yang mau."Suster!"Nadine memanggil seorang perawat yang keluar dari ruangan itu. Di
Janu membuang pandangan saat Nadine membuka kancing baju. Wajahnya merona menahan malu. Biasanya di bagian penyakit dalam pasien yang ditemui setiap hari adalah para lansia. Rezeki katanya kalau pas lagi kerja dapat yang cantik begini.Nadine tersenyum senang. Entah kenapa dia ingin menggoda pak dokter tampan itu. Biasanya juga dia kalem, tidak ganjen pada laki-laki. Padahal nasabahnya banyak. Rata-rata pengusaha, pejabat atau orang-orang pemegang posisi penting di pemerintahan maupun perusahaan.Mereka juga berwajah tampan. Beberapa berstatus single. Ada juga yang sudah menduda. Juga suami orang yang suka menggoda. Untungnya Nadine kuat iman dan tidak mau terjerumus. Harga diri sebagai seorang wanita tetap dijaga."Cukup. Biar saya periksa dulu."Nadine menghentikan aksinya. Gadis itu mengulum senyum. Tadi Janu yang membuatnya nervous, sekarang gilirannya. Adi
Sabtu malam di sebuah kamar yang penghuninya sedang asyik sendirian. Entah apa yang sedang dikerjakan Janu. Matanya fokus dan tak berkedip menatap layar laptop.'Jack, nongkrong, yuk.'Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ternyata dari Abraham. Janu yang sedari tadi hanya bermalas-malasan segera membuka dan membacanya.'Males gue.''Ada cafe baru di dekat rumah sakit. Kopinya enak.''Ajak yang laen aja.''Lu lagi ngapain?''Ngeliatin rekam medis pasien.' Begitulah jawaban yang Janu ketikkan.'Ya elah segitunya. Ini hari libur, Bro. Nyantai dikitlah.''Beneran gue males.''Makanya keluar Jangan ngadem di rumah mulu. Mana tau ketemu cewek cakep?''Yaudah Bentar. Di mana sih tempatnya.' Balas Janu lagi.'Ntar gue share lokasi.'
Nadine langsung masuk ke kamar setelah tiba di rumah dan mengabaikan panggilan sang mama. Dia masih kesal karena perbuatan Janu di cafe tadi. Gadis itu langsung berganti pakaian dan merebahkan diri untuk melepas penat. Malam Minggu bukannya senang, tetapi malah dongkol setengah mati.Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk di whatsapp.'Hei.'Nadine melihatnya sebentar dan tak berniat membalas. Gadis itu sudah menduga jika Janu akan menghubunginya lewat chat. Dia mencebik lalu melemparkan benda pipih itu ke kasur.Nadine teringat saat perjalanan tadi. Janu memaksa untuk mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Janu fokus menyetir dengan santai, sementara Nadine berpura-pura bermain ponsel. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka benar-benar canggung."Kamu cantik."
'Ada stalker ternyata.'Begitu isi pesan yang masuk di ponsel Nadine. Gadis itu melihat berkali-kali, memastikan apa memang benar Janu yang mengirimnya. Dia masih mencoba menerka apa maksud dari lelaki itu."Ehem."Nadine menoleh saat mendengar suara Niken, rekan kerjanya sesama teller."Sstttt ... diem, Kak," bisik Nadine."Beresin kerjaan dulu, baru chatting-an," tegur Niken.Sikap Nadine itu kalau sampai terlihat atasan mereka itu bisa bahaya. Apalagi kalau salah menghitung uang nasabah, bisa nombok mereka."Siapa sih yang nge-chat? Dari tadi senyum mulu," tanya Niken."Dokter Janu."Nadine menghentikan aktivitasnya kemudian menggeser duduk agar berdekatan dengan Niken.Mendengar nama Janu disebut, Niken juga ikut menghentikan aktivitasnya. Wanita itu
Janu memeluk wanita berbaju hitam yang dipanggilnya mama. "Ma, sorry lama.""It's ok, Sayang. Kita nungguin, kok."Dua wanita paruh baya itu saling berpandangan dan mengangguk."Kenalin ini, Sasa. Putri semata wayang Tante." Si ibu berbaju kuning yang bernama Reina itu memperkenalkan.Janu mengulurkan tangan dan berkenalan dengan gadis yang bernama Sasa itu."Sasa ini masih single, loh. Cocok ya sama Janu. Sama-sama free." Reina mulai berpromosi."Eh, iya."Janu mengangguk karena sudah tahu apa maksud dari pertemuan ini. Perjodohan dan dia menjadi malas."Yuk, kita langsung pilih gaun aja. Biar gak lama. Habis ini kita makan," usul Sarah.Tak lama, mereka tampak
Mobil berhenti di sebuah rumah mungil tetapi asri. Janu baru saja mematikan mesin, ketika seorang wanita patih baya keluar dengan tergesa-gesa dan membuka pagar. "Ini pasti calon ibu mertua," batin Janu. Keluarga Nadine terlihat sederhana tetapi berkecukupan. Janu yakin mereka pasti tidak punya ART, karena itu mamanya yang membukakan pintu."Mama gak usah gitu juga kali," sungut Nadine saat keluar dan menghampiri mamanya. "Mama pengen liat, siapa cowok yang nganter kamu pulang," bisik Ratih."Mama jangan norak, deh," ucap Nadine sembari
Janu memarkirkan mobilnya di belakang. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung. "Pagi, Dokter."Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Janu melintas. Dia hanya menganggukkan kepala dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum.Senyum Janu memang langka dan mahal. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda sebagian pulau di Kalimantan. Laki-laki itu sendiri tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.Seperti biasa, Janu ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggo