Share

Isi Hati Bella

Sebelumnya sudah pada tahu kan namaku Bella, aku sangat beruntung sekarang ada seseorang yang mau menampungku meski belum tahu masalahku keluar dari rumah dan bahkan diusir. Aku bahkan tidak pernah menyangka pada diriku bisa melakukan hal buruk yang bisa meruntuhkan semua impianku, masa depanku, kebahagiaanku.

Aku terus menatap kopi di hadapanku, kopi yang hampir mirip dengan susu. Kalau tidak salah Kakek Pion menyebutnya Piccolo cofee. Atau apalah itu, aku masih sangat asing dengan nama-nama kopi di sini.

Sesekali aku mengaduk kopi milikku, melihat pelanggan yang beragam aktivitas membuatku tersenyum. Terlebih lagi saat aku melihat pelanggan yang tengah mengerjakan tugas kuliahnya.

Aku tersenyum kecil, sejak dulu aku ingin kuliah namun tidak sempat karena perihal biaya setelah Mama meninggal dunia. Terkadang ingin menangis saat teringat pada Mama, Ayah benar kalau Mama masih di sini mungkin dia akan merasa sangat malu mempunyai anak nakal sepertiku.

Selama aku hidup sebelum kejadian itu, aku selalu di pandang baik oleh tetangga dan keluarga. Namun semuanya lenyap dalam satu malam yang bahkan aku saja tidak ingat kejadiannya.

"Bella, kenapa tidak habiskan kopimu? Apa kurang manis?" suara itu sontak membuat lamunanku kabur. Aku mengerjapkan mataku.

"T, tidak kakek, Pas kok." Jawabku.

Namun Kakek Pion ikut duduk di sampingku sambil menghela napasnya.

"Kamu, kalau ada masalah bisa cerita ke kakek. Kakek kan sudah bilang?" ucapnya.

Andai kakek tahu, aku sangat ingin menceritakan masalahku. Namun aku tidak berani, aku ingin tetap kakek tidak tahu apa-apa. Aku terlalu takut.

"Aku tidak apa-apa, kakek. Apa wajah cantikku terlihat seperti orang tertekan?" Aku tersenyum lebar dan menaik turunkan alis.

"Pembohong!" ujar Kakek. Aku langsung merubah ekspresi wajahku dan  memanyunkan mulutku. Kakek Pion memang tidak bisa di bohongi.

"Apa maksudmu, kakek?! Aku kan anak yang ceria."

"Biasanya anak ceria kalau tiba-tiba diam, itu artinya dia sedang ditimpa masalah." Jawabnya membuatku terdiam.

"Kakek seorang psikologi ya? Atau dukun?" tebakku, kakek Pion malah tertawa renyah.

"Aku serius tahu!" tegurku.

"Kau ini memang seperti anak kecil, ya." Lirih Kakek.

Kakek berdiri dari tempatnya, "Kakek mau kemana?" tanyaku.

"Ada cucian!" ujarnya.

Sontak aku langsung berdiri dan berjalan lebih dulu ke tempat cucian, "Ini biar Bella yang kerjakan, kakek hitung uang saja di kasir. Kasir nggak ada yang jaga loh, kakek mau uangnya hilang?" sambarku.

"Dasar, Bella!" ujar Kakek lalu berbalik arah menuju kasir.

"Entah apa yang kamu perbuat hingga diusir dari keluarga, padahal kau itu anak yang manis." Ucap kakek sendirian namun masih terdengar samar-samar olehku.

Kakek, jangan pandang aku terlalu baik. Aku takut berada di luar dugaanmu. Bahkan kenyataan pahit itu memang iya, aku sangat buruk sebenarnya.

"Jangan lupa nanti makan siang." Peringat Kakek.

"Siap, Pak bos!" jawabku yang masih di depan wastafel.

"Oh iya, Bella. Jangan lupa ya nanti beli beberapa persediaan makanan yang kurang." Suruh Kakek.

"Baik, kakek. Bella belikan saat selesai mencuci." Ujarku.

Aku mencuci dengan sedikit santai, Kakek mengerti dan selalu menganggapku sebagai anak kecil. Aku tidak paham. Namun dia membuat aku merasa punya keluarga baru, dia sudah seperti kakek kandungku sendiri. Bahkan mirip dengan kakekku yang kini rumahnya jauh dariku.

Selesai mencuci, aku menyimpan hasil cucian ke tempatnya masing-masing. Aku kembali ke dekat kasir dan Kakek memberikanku beberapa lembar uang serta kertas bertuliskan beberapa bahan yang harus di beli.

"Ini saja, kan kakek?" tanyaku.

"Iya, kenapa? Apa kebanyakan?"

"Nggak dong, Bella kan strong!" ujarku sambil mengangkat kedua tangan seperti superhero.

"Iya deh, strong iya. Hebat." Puji Kakek.

Entah mengapa, aku merasa seperti... Hidup dengan kakek kandungku sendiri. Dan diurus oleh kakek kandungku.

"Bella belanja dulu," pamitku sambil melepas celemek yang terpasang di sebagian badanku.

"Hati-hati!" teriak kakek.

"Iya kakek!" ujarku.

Jangan sampai aku mengecewakan kakek! Aku harus giat menjaganya dan cafe.

Sampai di minimarket, aku membaca beberapa bahan yang harus di beli. Seperti susu kental, gula, cappucino, beberapa sayuran... Aku tidak tahu kakek akan menyajikan menu baru seperti apa, tapi seingatku tidak ada makanan yang melibatkan sayuran di menu cafe.

Aku melihat beberapa sayuran wortel yang tersisa satu, aku meraihnya. Namun tangan orang lain juga ikut menyentuh wortel tersebut.

"Hey! Aku duluan yang ambil." Tegurku.

"Apaan sih lo? Gue duluan!" ucapnya tak mau kalah.

Lihatlah wajah garangnya terlihat, gadis ini memang cantik dengan rambut panjangnya, namun matanya menatap tajam padaku.

"Kau orang kaya kan? Kau bisa mencari wortel di tempat lain!"

"Nggak! Cuman di minimarket ini yang sayurannya masih segar. Lo aja yang ngalah sana!" sewotnya.

"Bella duluan!"

"Gue!"

"Bella!"

"Gue!"

"Stop!" seseorang yang entah kapan sudah berada di tengah-tengah antara aku dan gadis garang ini. Kami berdua sontak berhenti berdebat.

"Cuman perihal sayur doang, emang ada apa sih sama wortel?" tanyanya.

"ITU BAGUS BUAT MATA!!!" pekikku dan gadis garang ini secara bersamaan tepat  di telinganya.

"Bagus buat mata apanya?" tanyanya.

"Bagus agar bisa tahu kalau orang kedua yang menemukan sesuatu harus mengalah pada orang pertama!" ucapku dengan penuh tekanan. Aku mengerutkan dahiku melirik sinis pada gadis garang di hadapanku.

"Lo aja tuh yang ngalah, lo orang kedua!" ujarnya.

"Dasar gila! Aku yang pertama menemukan wortel ini." Ujarku sambil pelan-pelan mengambil wortelnya.

"Kalau itu wortel berharga buat lo berdua, mending lo pada buka wortelnya terus bagi dua."

"Gak bisa! Ini punya kakekku!"

"Gak bisa! Ini punya Tuan saya!"

Jawaban kami hampir sama dan di ucapkan secara bersamaan. Gadis pengikut dasar! Tidak creative!

"Eits! Wortel di tanganku, artinya sudah hak milikku." Jawabku.

Aku berjalan dengan gaya membelakangi gadis tadi yang berusaha merebut wortel ini dariku, memang gila! Harusnya orang kaya sepertinya malah lebih paham soal peraturan dan sopan santun.

Aku mencari susu kaleng yang ditulis di kertas ini. Tidak ada.

Saat aku mencarinya di rak sebelah yang paling atas, baru terlihat. Ada jajaran susu kaleng dengan merek yang sama. Aku berjingjit agar bisa meraih susu itu, namun tidak sampai. Bahkan aku sampai meloncat-loncat. Namun tetap tidak sampai.

Aku mengerutkan keningku, meneguk salivaku sendiri, aku berkacak pinggang lalu tangan kananku menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali.

Aku memikirkan cara agar bisa mengambil susu kaleng itu, namun tidak bisa! Susu kaleng itu di taruh di tempat yang sangat tinggi. Aku berusaha berjingjit lagi, dan hasilnya sama. Tetap tidak bisa.

Satu tangan meraih susu kaleng tanpa beban dari belakangku, yang kulihat di tangannya menggunakan gelang hitam. Lalu dia memberikan susunya padaku tanpa aku berbalik, maksudku, aku masih membelakanginya!

Aku tersenyum senang, namun saat aku membalikkan badan ternyata...

#Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status