Siang itu ada yang meneleponku. Lantas aku mengangkatnya. Ternyata dari perusahaan tekstil tempatku melamar kerja. Aku melamar kerja sebagai admin. Aku diterima setelah melewati proses. Padahal sudah hampir dua bulan. Nyatanya aku dipanggil sekarang.Rasa ragu pun muncul. Khawatir mas Hakim tak mengizinkan. Ia sudah teramat kecewa kemarin. Aku bingung meyakinkannya. Bagaimana caranya biar diizinkan? Aku benar-benar tak ingin kehilangan kesempatan ini."Mau kupijat, Mas?""Tak usah. Nanti saja.""Yah. Mas mau minum kopi?""Teh saja.""Ya."Berulang kali aku mencoba mengambil hatinya. Berharap besok diizinkannya kesana. Sayang bila disia-siakan kesempatan ini. "Mas, aku ada permintaan. Mudah-mudahan Mas Hakim mengizinkanku. Aku minta maaf pula bila kemarin mengecewakanmu." Ungkapku."Kamu mau apa?" "Aku.."Bismillah. Semoga mas Hakim mengizinkanku. Aku tak ingin gagal lagi. Sungguh aku benar-benar ingin bekerja. Supaya mas Hakim tak terlalu lelah mencari nafkah. Sebagai istri, aku ing
Pulang kerja aku kembali melakukan kewajiban istri. Aku menyiapkan makan malam untuk mas Hakim. Kubuatkan ia air teh hangat. Saat ia istirahat, kupijat ia yang kelelahan. Dalam benakku, teramat menyayanginya. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Tak ingin rasanya ia menyakitiku lagi. Apalagi melihat hal yang tak mengenakkan. Aku tak ingin ada yang mengganggu keharmonisan rumah tangga kami. "Sudah, Mas.""Terima kasih.""Ya.""Bagaimana tempat kerjamu sekarang?""Alhamdulillah baik.""Aku tak mau kamu seperti kemarin. Tiba-tiba saja berhenti kerja.""Ya, Mas.""Kamu tahu kan akibatnya kalau kamu ingkar?""Iya.""Aku takkan mengizinkan lagi kamu bekerja. Percuma kalau kamu berhenti terus. Hanya membuang waktu saja."Aku mengangguk, raut wajahku langsung murung. Sebisa mungkin aku bisa bertahan disini. Aku sudah berusaha yang terbaik. Termasuk banyak mengenal rekan kerja disana. Malam itu, mas Hakim telah tertidur lelap. Ia tampak lelah sekali. Kuselimuti badannya agar tak kedinginan
Tanganku gemetaran saat memegang ponselnya. Emosiku serasa meluap. Rasanya tak ingin marah. Namun, istri mana yang suka melihat suaminya dengan perempuan lain. Apalagi masih dengan perempuan yang sama. Nafasku serasa tersengal. Kucoba untuk menenangkan diri ini. Mas Hakim masih tidur. Jika kubangunkan, ia akan sangat marah. Tapi hatiku serasa kacau. Pantas saja ia terus mengecek ponselnya. Tapi, ia seolah tak takut aku melihat ini. Apa dia terlalu sibuk, sampai lupa dengan foto. Dimana perasaannya menyakitiku seperti ini? Aku seakan tak dianggapnya lagi. Entah alasan seperti apa lagi yang dia buat. "Sudah bangun, Mas?"Pagi itu mas Hakim sudah bangun. Aku tidur di atas sofa. Rasanya enggan aku tidur dekat dengannya. Perasaanku teramat kacau."Ya. Kenapa kau tidur disini?" Tanya Mas Hakim."Aku hanya ingin disini saja.""Tumben. Tak biasanya kau tidur disini.""Mas.""Apa?""Ada yang ingin kutanyakan. Tapi nanti saja. Aku harus bersiap kerja pagi ini.""Ya."Setelah aku mempersiapk
Sikap mas Hakim membuatku tak berani lagi. Aku menjadi sangat takut padanya. Terpaksa aku harus diam. Tak bisa minta penjelasan lagi. Sementara ia terus bersikap seperti itu. Mas Hakim dengan bebasnya dengan perempuan lain. Sedangkan aku harus memilih diam.Salah satu caraku menghilangkan sedih dengan bekerja. Kulupakan semua itu. Kucoba ikhlaskan sikap mas Hakim. Biarlah kupendam sendiri. Jika aku bicara, takkan pernah dipedulikan. Keluarga mas Hakim sangat suka dengan Cynthia. Apalagi mbak Namira. Aku hanya bisa pasrah. Jika kutunjukkan sikapku yang menentang, aku akan dicap tak baik. Takkan ada yang bisa kuharapkan. Disini aku sendiri, tak ada yang membela. Itulah sebab aku hanya bisa terima. "Wah, Mbak Tazkiyah. Sibuk sekali nampaknya." Ujar Ilmi."Iya. Hehe, ini harus diselesaikan." Jawabku."Seberapa banyak, Mbak?""Lumayan. Harus selesai tepat waktu.""Mbak Tazkiyah hebat. Merangkap istri dan karyawan pula.""Kamu cepat cari istri. Kapan nikahnya? Haha.""Nantilah, Mbak. Masih
"Ada apa, Ilmi?"Ilmi tampak keluar dari area tempat kerja. Seperti ada yang ingin dia temui. Meja kerjaku sebelah dengannya. Jadi aku selalu sadar gerak-gerik Ilmi. Lalu ia kembali muncul di ruangan kerja."Ada yang mau bertemu denganku, Mbak." Ucap Ilmi."Siapa? Orang perusahaan?""Bukan.""Keluargamu?""Chyntia.""Wah, enak dong ketemu mantan.""Aku tak nyaman saja. Takut rekan kerja lain banyak menanyakan lagi.""Bilang saja adikmu. Kamu bilang sendiri begitu kan?""Yah. Tapi tak enak kalau dia sering kemari.""Hah sering?""Yah, Mbak.""Mungkin dia kangen sama kamu.""Dia itu kalau lagi tak ada teman saja baru menemuiku.""Memang Cynthia belum dapat pengganti kamu? Maksudnya kekasih.""Belum, Mbak. Mungkin aku belum tahu saja sama pasangan barunya.""Oh gitu.."Tak lama Cynthia muncul. Ia membawa tas ransel dengan mengenakan almamater. "Kak Ilmi!""Cynthia."Aku tersentak saat melihat ia masuk. Rasa tak percaya ini Cynthia. Tapi keperluannya kemari ingin bertemu Ilmi. Kulihat ia
Aku seperti kayu yang rapuh. Tak kokoh lagi untuk mencintainya. Mas Hakim selalu memberi tekanan batin. Batinku terasa hancur. Sangat tak berperasaan sekali dia. Walaupun sejujurnya harapanku luas padanya. Tapi ia mematahkan keinginanku untuk bertahan.Prang!Mas Hakim sangat kesal. Ia memecahkan gelas di atas meja. Aku heran, dia cemburu buta padaku? Sementara ia sesuka hatinya membuatku cemburu. Ia bertindak lebih buruk dari yang kubayangkan. Setiap bertemu, ia berubah sikap. Semarah itu dia. Tuhan, selama ini aku bersabar. Bahkan, harga diriku sebagai istri ia runtuhkan. "Mas, kamu kenapa?" Tanyaku."Tanyakan sendiri pada dirimu sendiri! Dasar kamu tak menghargai suami. Pantas saja kau betah kerja disana!""Astaghfirullah. Mas, jangan berprasangka buruk dulu padaku!"Mas Hakim pergi berlalu. Ia membanting pintu. Aku sangat terluka dengan sikapnya. Ia mudah sekali cemburu dan marah padaku. Saat Zaky kemari pun, ia melakukan hal yang sama."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ada a
Aku tak habis pikir. Mas Hakim bisa setega itu. Semalaman aku menangis. Tak hentinya aku mengeluarkan air mata. Mas Hakim tak merasa iba padaku. Pikiran jahat seperti apa yang membuat ia seperti ini. Rasanya aku ingin menghilang. Tak ingin lagi aku ada disini. Seharian aku tak makan. Hari ini pun aku hanya di rumah. Minggu ini kantor tutup. Kemudian aku berjalan. Hendak pergi untuk mandi. Namun, tiba-tiba pandanganku kabur. Aku tak sanggup berjalan. Badanku terasa lemah. Nafasku sesak pula. Begitu sakit kurasakan hingga terlalu dalam. Mataku terbuka, aku melihat mas Hakim berada di depanku. Tanpa sadar, aku sudah terbaring di kasur."Mas.." "Kamu pingsan tadi. Jangan nambah banyak penyakit. Uangku tak cukup buat berobat. Bayangkan pengeluaran kita sudah banyak. Belum lagi bayar sewa rumah." Hardik Mas Hakim."Mas takut jika aku sakit? Namun yang kau khawatirkan hanyalah uang. Bukan sebaliknya kesehatanku?""Sudahlah. Kamu tak usah banyak bicara. Aku tak mau kamu pingsan lagi sepert
Semua kisah ini menjadi hikmah dalam hidupku. Ujian yang datang kuarungi dengan sabar. Hingga tiba waktunya aku dapat bahagia. Mungkinkah selama ini suamiku ingin punya keturunan. Sampai ia bisa berbuat buruk kemarin. Aku tetap sabar apapun itu Kenyataannya. "Kamu butuh makan apa?" Tanya Mas Hakim. Aku terdiam sejenak. Hanya melongo mendengar ia bertanya. Tak biasanya mas Hakim menanyakan ini. Bahkan jarang, itulah sebabnya aku heran. "Butuh makan, maksudnya Mas?" Tanyaku kembali."Kamu mau makan apa?""Aku lagi kepingin makan yang asem, Mas.""Asem? Rujak maksudnya?""Ya.""Kalau bisa kamu jangan makan yang pedas. Tak baik buat kandunganmu. Kamu harus jaga kandunganmu. Jangan sampai keguguran lagi. Ingat, kandunganmu itu lemah.""Ya, Mas.""Kamu jangan capek-capek dulu. Harus istirahat total di rumah!""Istirahat total?""Ya.""Bagaimana kerjaanku, Mas?""Oh iya. Kamu bisa minta cuti gak?""Gak bisa kayaknya. Aku kan masih baru.""Kalau aku kasih pilihan. Kamu mau fokus dengan ka