Tanganku gemetaran saat memegang ponselnya. Emosiku serasa meluap. Rasanya tak ingin marah. Namun, istri mana yang suka melihat suaminya dengan perempuan lain. Apalagi masih dengan perempuan yang sama. Nafasku serasa tersengal. Kucoba untuk menenangkan diri ini. Mas Hakim masih tidur. Jika kubangunkan, ia akan sangat marah. Tapi hatiku serasa kacau. Pantas saja ia terus mengecek ponselnya. Tapi, ia seolah tak takut aku melihat ini. Apa dia terlalu sibuk, sampai lupa dengan foto. Dimana perasaannya menyakitiku seperti ini? Aku seakan tak dianggapnya lagi. Entah alasan seperti apa lagi yang dia buat. "Sudah bangun, Mas?"Pagi itu mas Hakim sudah bangun. Aku tidur di atas sofa. Rasanya enggan aku tidur dekat dengannya. Perasaanku teramat kacau."Ya. Kenapa kau tidur disini?" Tanya Mas Hakim."Aku hanya ingin disini saja.""Tumben. Tak biasanya kau tidur disini.""Mas.""Apa?""Ada yang ingin kutanyakan. Tapi nanti saja. Aku harus bersiap kerja pagi ini.""Ya."Setelah aku mempersiapk
Sikap mas Hakim membuatku tak berani lagi. Aku menjadi sangat takut padanya. Terpaksa aku harus diam. Tak bisa minta penjelasan lagi. Sementara ia terus bersikap seperti itu. Mas Hakim dengan bebasnya dengan perempuan lain. Sedangkan aku harus memilih diam.Salah satu caraku menghilangkan sedih dengan bekerja. Kulupakan semua itu. Kucoba ikhlaskan sikap mas Hakim. Biarlah kupendam sendiri. Jika aku bicara, takkan pernah dipedulikan. Keluarga mas Hakim sangat suka dengan Cynthia. Apalagi mbak Namira. Aku hanya bisa pasrah. Jika kutunjukkan sikapku yang menentang, aku akan dicap tak baik. Takkan ada yang bisa kuharapkan. Disini aku sendiri, tak ada yang membela. Itulah sebab aku hanya bisa terima. "Wah, Mbak Tazkiyah. Sibuk sekali nampaknya." Ujar Ilmi."Iya. Hehe, ini harus diselesaikan." Jawabku."Seberapa banyak, Mbak?""Lumayan. Harus selesai tepat waktu.""Mbak Tazkiyah hebat. Merangkap istri dan karyawan pula.""Kamu cepat cari istri. Kapan nikahnya? Haha.""Nantilah, Mbak. Masih
"Ada apa, Ilmi?"Ilmi tampak keluar dari area tempat kerja. Seperti ada yang ingin dia temui. Meja kerjaku sebelah dengannya. Jadi aku selalu sadar gerak-gerik Ilmi. Lalu ia kembali muncul di ruangan kerja."Ada yang mau bertemu denganku, Mbak." Ucap Ilmi."Siapa? Orang perusahaan?""Bukan.""Keluargamu?""Chyntia.""Wah, enak dong ketemu mantan.""Aku tak nyaman saja. Takut rekan kerja lain banyak menanyakan lagi.""Bilang saja adikmu. Kamu bilang sendiri begitu kan?""Yah. Tapi tak enak kalau dia sering kemari.""Hah sering?""Yah, Mbak.""Mungkin dia kangen sama kamu.""Dia itu kalau lagi tak ada teman saja baru menemuiku.""Memang Cynthia belum dapat pengganti kamu? Maksudnya kekasih.""Belum, Mbak. Mungkin aku belum tahu saja sama pasangan barunya.""Oh gitu.."Tak lama Cynthia muncul. Ia membawa tas ransel dengan mengenakan almamater. "Kak Ilmi!""Cynthia."Aku tersentak saat melihat ia masuk. Rasa tak percaya ini Cynthia. Tapi keperluannya kemari ingin bertemu Ilmi. Kulihat ia
Aku seperti kayu yang rapuh. Tak kokoh lagi untuk mencintainya. Mas Hakim selalu memberi tekanan batin. Batinku terasa hancur. Sangat tak berperasaan sekali dia. Walaupun sejujurnya harapanku luas padanya. Tapi ia mematahkan keinginanku untuk bertahan.Prang!Mas Hakim sangat kesal. Ia memecahkan gelas di atas meja. Aku heran, dia cemburu buta padaku? Sementara ia sesuka hatinya membuatku cemburu. Ia bertindak lebih buruk dari yang kubayangkan. Setiap bertemu, ia berubah sikap. Semarah itu dia. Tuhan, selama ini aku bersabar. Bahkan, harga diriku sebagai istri ia runtuhkan. "Mas, kamu kenapa?" Tanyaku."Tanyakan sendiri pada dirimu sendiri! Dasar kamu tak menghargai suami. Pantas saja kau betah kerja disana!""Astaghfirullah. Mas, jangan berprasangka buruk dulu padaku!"Mas Hakim pergi berlalu. Ia membanting pintu. Aku sangat terluka dengan sikapnya. Ia mudah sekali cemburu dan marah padaku. Saat Zaky kemari pun, ia melakukan hal yang sama."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ada a
Aku tak habis pikir. Mas Hakim bisa setega itu. Semalaman aku menangis. Tak hentinya aku mengeluarkan air mata. Mas Hakim tak merasa iba padaku. Pikiran jahat seperti apa yang membuat ia seperti ini. Rasanya aku ingin menghilang. Tak ingin lagi aku ada disini. Seharian aku tak makan. Hari ini pun aku hanya di rumah. Minggu ini kantor tutup. Kemudian aku berjalan. Hendak pergi untuk mandi. Namun, tiba-tiba pandanganku kabur. Aku tak sanggup berjalan. Badanku terasa lemah. Nafasku sesak pula. Begitu sakit kurasakan hingga terlalu dalam. Mataku terbuka, aku melihat mas Hakim berada di depanku. Tanpa sadar, aku sudah terbaring di kasur."Mas.." "Kamu pingsan tadi. Jangan nambah banyak penyakit. Uangku tak cukup buat berobat. Bayangkan pengeluaran kita sudah banyak. Belum lagi bayar sewa rumah." Hardik Mas Hakim."Mas takut jika aku sakit? Namun yang kau khawatirkan hanyalah uang. Bukan sebaliknya kesehatanku?""Sudahlah. Kamu tak usah banyak bicara. Aku tak mau kamu pingsan lagi sepert
Semua kisah ini menjadi hikmah dalam hidupku. Ujian yang datang kuarungi dengan sabar. Hingga tiba waktunya aku dapat bahagia. Mungkinkah selama ini suamiku ingin punya keturunan. Sampai ia bisa berbuat buruk kemarin. Aku tetap sabar apapun itu Kenyataannya. "Kamu butuh makan apa?" Tanya Mas Hakim. Aku terdiam sejenak. Hanya melongo mendengar ia bertanya. Tak biasanya mas Hakim menanyakan ini. Bahkan jarang, itulah sebabnya aku heran. "Butuh makan, maksudnya Mas?" Tanyaku kembali."Kamu mau makan apa?""Aku lagi kepingin makan yang asem, Mas.""Asem? Rujak maksudnya?""Ya.""Kalau bisa kamu jangan makan yang pedas. Tak baik buat kandunganmu. Kamu harus jaga kandunganmu. Jangan sampai keguguran lagi. Ingat, kandunganmu itu lemah.""Ya, Mas.""Kamu jangan capek-capek dulu. Harus istirahat total di rumah!""Istirahat total?""Ya.""Bagaimana kerjaanku, Mas?""Oh iya. Kamu bisa minta cuti gak?""Gak bisa kayaknya. Aku kan masih baru.""Kalau aku kasih pilihan. Kamu mau fokus dengan ka
Akhirnya aku menjalani hari seperti biasa. Sudah beberapa hari ini aku tak masuk kerja. Mas Hakim pulang malam. Namun, kepulangannya tak setiap malam lagi. Ia benar-benar menepati janjinya . Kini ia banyak meluangkan waktunya. Tak seperti dulu lagi. Soal pekerjaanku, aku hanya bisa pasrah. Aku memberi alasan sakit pada pimpinan. Kurasa takkan lama disana. Firasatku pekerjaan ini takkan bertahan. Mas Hakim telah mengekangku untuk bekerja disana. Mas Hakim pulang larut malam. Tak biasanya gelagatnya seperti orang bingung. Apa karena ia kelelahan. Ia telah membantuku selama ini. Beberapa tugas rumah yang berat, mas Hakim melakukannya. Kadang aku tak tega dengannya. "Mas baru pulang?""Ya."Aku melihat mas Hakim langsung mengambil handuk. Tampaknya ia hendak mandi. "Mas mau mandi?""Ya gerah.""Sudah hampir jam 9 malam. Mas mau kumasakkan air hangat untuk mandi?""Biar aku saja. Kamu istirahat. Jangan kecapekan atau banyak pikiran!""Ya."Rasanya sulit, saat ini masih mengganjal pikira
Aku merasa tak bisa melanjutkan hubungan ini. Hampir setiap hari muncul keinginanku untuk berpisah. Namun, aku harus memikirkannya lagi. Masih ada hati yang harus aku jaga. Keluargaku bisa malu jika aku pisah. Sebelum itu, aku harus minta saran dari orang tuaku. Ayahku, dialah yang akan kutanyakan. Tentang bagaimana nasibku ini. Siang ini saat tak ada mas Hakim, aku berniat menelpon ayahku. Niatku ingin menceritakan semua padanya. Aku harus minta nasehat darinya. Akan tetapi, aku masih belum siap mengungkapkan keinginan bercerai. Keluargaku akan malu. Bila semua orang tahu aku akan bercerai. Apalagi kondisiku tengah mengandung. Aku semakin curiga dengan mas Hakim. Ia seperti memiliki hubungan dengan murid privatnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam.""Ayah. Bagaimana kabarnya sekarang?""Alhamdulillah baik-baik saja. Kamu bagaimana disana?""Alhamdulillah. Walau keadaan apapun, tetap aku jalani Ayah.""Kenapa jawabanmu seolah meragukan?""Aku tak kenapa.""Ada yang kamu tutupi se