Theo menyeringai, mendekatkan wajahnya ke arah Felicia. Ia hanya berniat jahil, tapi malah melihat Felicia menutup mata dengan bibir agak dimajukan seolah menunggu dicium.Theo terbelalak. Jangan bilang … ‘itu’ yang dipikirkan oleh Felicia adalah hal mesum? Wah, Theo tak menduga.Namun, karena tak mau membuat Felicia menunggu, Theo pun mengecup bibir Felicia. Theo menyentuh pipi Felicia, mencium sang kekasih dengan lembut.Ciuman lembut Theo berlanjut, dan Felicia pun membalasnya dengan senang hati. Pikiran Felicia masih membayangkan hal mesum yang akan terjadi setelah ini.Felicia menyambutnya, mengalungkan tangan ke leher Theo, menarik Theo agar semakin mendekat. Namun, tiba-tiba … Theo malah mengakhiri ciuman mereka!Felicia merasa heran sekaligus agak kecewa. Ia membuka matanya, menatap Theo dengan tatapan bertanya-tanya.“Kenapa berhenti?” tanya Felicia dengan suara lirih.Theo tersenyum melihat raut wajah Felicia. “Ayo kita berlanjut melakukan ‘itu’,” ajaknya.“Melakukan ‘itu’ a
Tak lama, Felicia mendengar tawa kecil dari luar. Tanpa diberitahu, ia langsung tahu siapa yang melakukan ini padanya, dan suara tawa siapa itu.Sang pelaku menyeringai, kemudian kembali tertawa. “Haha! Rasakan itu!”Sophia berjalan pergi dari sana. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia meletakkan sesuatu di depan kamar mandi, sebuah papan yang berisi informasi bahwa toilet itu sedang diperbaiki. Memang terkadang ada yang seperti itu, tapi kali ini toiletnya sudah baik-baik saja.Sophia sengaja melakukannya agar tak ada satupun orang yang ke toilet itu, dan Felicia tak akan diselamatkan oleh siapapun. Wah … ia puas sekali hanya dengan memikirkannya.Setelah ini, Sophia yakin Felicia akan meminta putus dari Theo, karena tak ingin mengalami kejadian seperti ini lagi.Dan, sebenarnya Sophia sudah memikirkan ide ini sejak kemarin-kemarin, mengurung Felicia di bilik kamar mandi.“Tolong buka pintunya!” teriak Felicia sejak tadi. “Ada orang di sini!”Felicia mencoba tetap tenang meski detak
Felicia berusaha tersenyum kepada Theo, tak ingin membuat Theo khawatir.Dan, tiba-tiba Theo memeluk Felicia dengan erat, merasa sangat bersyukur bahwa Felicia baik-baik saja.“Kenapa kamu bisa terkunci di dalam sana?” tanya Theo dengan nada khawatir.Felicia menunduk, “Itu ... ulah Sophia. Dia yang mengunci aku di bilik kamar mandi.”Theo terkejut, meskipun tidak sepenuhnya. Karena saat menonton rekaman CCTV, ia pun merasa curiga kepada Sophia.“Aku … nggak tahu salahku di mana. Tapi, Sophia udah keterlaluan ke aku dua kali!” adu Felicia, tak tahan lagi. Ia mendongak, menatap Theo. “Waktu itu, saat aku terjatuh ke kolam renang, itu juga karena Sophia.”Mendengar pengakuan Felicia, Theo langsung mendidih, merasa marah. Wajahnya berubah serius dan memerah. Ia tak bisa membiarkan Sophia terus berbuat seenaknya.“Aku yakin Sophia memperlakukanku seperti itu karena dia menyukaimu, The," ucap Felicia.Theo menghela napas panjang. “Aku akan mengurus ini nanti. Sekarang, kamu harus makan dan
Theo merasa darahnya berhenti mengalir mendengar pernyataan Martin. Matanya membulat, mulutnya terbuka tanpa suara.“Barusan … Papa bilang apa?” tanya Theo.Sorot mata Martin langsung menajam. “Apa Papa harus mengulanginya lagi?”“E-enggak perlu.”Theo seketika gugup, ia menunduk sesaat. Martin paling tak suka jika harus mengulangi ucapannya, tipe pria yang maunya benar-benar diperhatikan jika sedang berbicara."Papa ingin menjodohkan aku dengan Sophia?" gumam Theo, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Martin. Ia tentu mendengar ucapan Martin, tapi hanya ingin memastikannya lagi.“Ya, ini untuk masa depan perusahaan. Sophia berasal dari keluarga yang berpengaruh, bisnis Papanya Sophia nggak kalah dengan Papa. Pernikahanmu dengan Sophia, itu ide bagus yang bisa memperkuat kerja sama kita,” tegas Martin.Martin memperhatikan Theo lamat-lamat, masih dengan raut dinginnya.“Memangnya Sophia mau menikah sama aku?” Theo berusaha untuk menolak, ia harus mencari alasan untuk menolaknya.
Tiba di apartemennya, Theo merasa tubuhnya lelah dan pikirannya kacau. Ia berjalan masuk dengan langkah lunglai, langsung menuju sofa panjang dan menjatuhkan diri di sana.Pikiran tentang pertemuannya dengan Martin terus menghantui Theo. Bayangan wajah sang Papa yang dingin dan kata-kata yang menusuk membuat Theo merasa tercekik.Theo menutup matanya, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan masa kecilnya yang penuh tekanan dan kekerasan kembali muncul, membuatnya semakin terguncang.Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponselnya dan menelepon Felicia. Ia membutuhkan Felicia, setidaknya dengan mendengar suara Felicia pun cukup.Untungnya, Felicia mengangkat panggilan tak lama kemudian.[Halo, The?] sapa Felicia dari seberang sana.“Feli …” panggil Theo dengan suara lemah.[Kamu kenapa?]Theo terdiam. Sepertinya Felicia merasa ada yang aneh, makanya Felicia bertanya begitu.“Aku … habis menemui Papa.”[Pak Martin?! Astaga! Kenapa kamu menemui Papamu?!]Theo bisa mendengar nada
Theo menggenggam erat tangan Felicia ketika mereka berjalan bersama ke parkiran.“Kamu nggak malu punya pacar seperti aku?” tanya Theo tiba-tiba.Mendengar pertanyaan itu, Felicia langsung berhenti melangkah.“Kenapa kamu bertanya begitu? Memangnya kamu memalukan?” Felicia mengerjap heran.“Aku … nggak normal. Kamu dengar sendiri tadi kata psikiater itu.”Felicia maju selangkah, mendekat kepada Theo lalu menyentuh wajah kekasih berondongnya itu.“The, dengar aku. Ada masalah kesehatan mental bukan berarti enggak normal, itu normal banget. Kamu sedang sakit, itu yang benar. Dan aku yakin kamu akan sembuh.”Felicia tersenyum lembut kepada Theo. Saat ini Theo sedang menunduk, agak cemberut sambil menatap genggaman tangan mereka, lalu Theo memainkan jari-jari tangan Felicia.Melihat tingkah Theo membuat Felicia ingin tertawa. Terkadang Theo masih bertingkah seperti anak kecil, sungguh menggemaskan.“Kamu harus percaya diri di depan Papamu. Kamu itu ganteng,” puji Felicia. Ia menangkup waj
"Kalian berdua akan menjadi pasangan yang sempurna,” kata Martin sambil menatap Theo dan Sophia bergantian.“Benar sekali,” angguk Regina, Mama tiri Theo itu tampak sangat setuju.Sedangkan Theo, masuk duduk dengan kaku di kursinya. Malam ini terasa mencekam untuknya.Theo menelan ludah dengan susah payah, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Theo ingin sekali menolak perjodohan ini, ia sedang mempersiapkan diri.Theo tahu ia harus mencoba berani menghadapinya. Ia ingin bahagia dengan caranya sendiri, dan bersama Felicia, bukan Sophia.“Papa, aku … nggak bisa,” ucap Theo, pelan namun tegas.Ruangan itu seketika menjadi hening. Semua mata, termasuk Sophia yang tadi tersenyum ceria, kini tertuju pada Theo dengan tatapan terkejut.“Theo!” seru Sophia, ia pikir Theo datang ke sini karena mau menerima dijodohkan dengannya. Padahal, ia sudah senang sekali, tapi ternyata Theo malah menolaknya. Apa ini karena ‘wanita itu’? Si Felicia?"Apa maksudmu, Theo?" tanya Martin dengan nada ya
“Kenapa kamu diam saja?” tanya Martin.“Ma-maaf, Pak,” gugup Felicia. Saking terkejutnya, ia sampai terdiam cukup lama.Felicia duduk kaku di kursi empuk ruangan CEO, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdetak kencang.Martin masih menatapnya dengan mata tajam, seolah-olah mencoba menembus setiap lapisan dirinya. Felicia merasa seperti rusa yang tertangkap dalam sorotan lampu mobil, tak berdaya dan mulai merasa takut.“Jadi, kamu pacar Theo?” tanya Martin dengan nada dingin, mengulangi pertanyaan yang membuat Felicia merasa terjebak.Felicia menelan ludah. Kalau ia berbohong, sepertinya urusannya akan jadi panjang. Bisa saja Martin yang berduit ini sudah mencari tahu tentangnya dan Theo, jadi sebaiknya ia jujur ‘kan?“I-iya, Pak,” jawab Felicia akhirnya, suaranya terbata-bata.Martin masih bersandar di kursinya. “Apa yang kamu inginkan dari Theo? Uang? Jabatan? Kamu pasti hanya akan memanfaatkan Theo yang merupakan anak CEO ‘kan? Karena kamu tahu kalau Theo adalah anak saya.”