Share

Bab 2 (Pernikahan Macam Apa Ini)

Sial, itulah kalimat yang cocok menggambarkan takdir yang dialami Hanan kini. Ia menangis tersedu-sedu, meskipun tahu, jika menangis sampai air mata kering tak akan mengubah segalanya. Namun, setidaknya membantu mengacaukan penampilan dirinya.

'Brengsek, sialan! Kenapa kesialan selalu mengikutiku? Tak bisakah aku bisa melakukan hal apa pun tanpa paksaan? Seperti anak gadis pada umumnya? Zaman sudah modern, tapi punya orang tua masih kuno. Bahkan yang menikah saling cinta saja bisa berujung perceraian, apalagi aku yang gak mencintai dia sama sekali? Tidak! aku sama sekali tak ingin menjadi janda di malam pertama, Tuhan!' batin Hanan.

Kini, Hanan yang pongah dan bersikeras menolak perjodohan dengan Naufal satu jam lalu akhirnya kalah. Ia duduk di depan meja rias, MUA sedang sibuk memoles wajah sendu dan mata sembab Hanan. Tubuhnya sudah dibalut kebaya putih.

"Mbak, jangan nangis terus. Masa pengantin mukanya sembab gitu," ucap sang MUA.

"Ini hari tersial seumur hidupku, asal Mbak tau saja, aku gak mau nikah sama calonku. Ini pernikahan paksa! Mbak tau gak? gimana rasanya menikah dengan cara dipaksa seperti ini? sangat menyakitkan, mereka semua jahat. Terutama mamaku, selalu egois dan ingin semua keinginannya dituruti olehku." Curhat Hanan.

"Gak papa diawali keterpaksaan, lalu terbiasa. Ucapan adalah doa, jangan ngomong begitu, Mbak. Aku doa kan semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warohmah."

Ah, enggan sekali Hanan menerima doa baik dari sang MUA. Andai ini bukan pernikahan paksaan, andai sang mempelai pria bukan Naufal, mungkin Hanan akan bahagia mendengarnya. Terlalu enggan dan berat untuk menjalani semuanya. Dunia memang tak berpihak pada Hanan.

"Mbak, kalau misalnya aku kabur sebelum ijab kabul gimana?" tanya Hanan.

Sang MUA terkejut mendengar ucapan Hanan yang menurutnya sangat konyol. "Mbak, istighfar, jangan ngomong gitu."

"Biar viral, kayak di televisi itu," ucap Hanan asal. Padahal ia sama sekali tak sungguh-sungguh dengan ucapannya.

Sang MUA hanya mampu menggelengkan kepalanya. Lebih memilih diam saja, melanjutkan pekerjaannya. Toh, ia datang kemari untuk mengurus keperluan pengantin, bukan menjadi tempat curhat.

"Cantik, benar-benar sempurna. Kalau jarang pakai make up, sekali dipoles begini manglingin." Puji sang MUA ketika tugasnya selesai.

Tepat pukul sembilan pagi terdengar dari ruang tamu Naufal sedang melangsungkan ijab kabul, menyebut namanya. Jantung Hanan berdetak kencang. Apalagi ketika semua saksi berseru "sah". Tangis Hanan kembali pecah, bukan terharu, melainkan masih tak percaya dengan semua yang terjadi.

"Hanan, ayo keluar!" ajak sang mama, tersenyum manis, bahkan sangat manis pada putri satu-satunya. Tentu saja bahagia, karena keinginannya sudah terwujud.

Hanan malas menanggapi ucapan sang mama. Semua orang di sekelilingnya ternyata bahagia dengan derita yang kini dirasakannya.

"Cium tangan kanan suaminya, Nak," titah Syahreza ketika Hanan sudah duduk di samping Naufal.

Apa yang bisa dilakukan Hanan? Tentu saja menurut, tidak mungkin menolak, ia masih menggunakan akal sehatnya. Tidak mungkin mempermalukan keluarga besar Naufal, terumaz kedua orang tuanya.

"Gak nyangka kalau kita berjodoh." Naufal menggandeng tangan Hanan menuju pelaminan, tentu saja untuk menerima tamu undangan.

Hanan benar-benar tidak peduli anggapan tamu undangan tentang dirinya, yang sama sekali tidak tersenyum ketika para tamu menjabat tangannya. Toh, memang ia tidak bahagia dengan pernikahan itu.

"Anak Ibu benar-benar cantik, semoga bahagia." Amora naik ke atas pelaminan, memeluk tubuh Hanan dan memberikan sebuah kado.

"Jangan merasa menang, aku tak akan sudi kau menguasai harta papaku!" balas Hanan.

"Selamat ya, sayang, Papa pulang dulu. Berbahagialah bersama suamimu." Syahreza mencium pipi Hanan.

Enggan sekali berbasa-basi dengan beragam manusia. Hanan meletakan kado dari Amora begitu saja. Kini giliran kedua orang tua Naufal berpamitan.

"Sayang, kamu sekarang adalah putri Mami. Berbahagialah bersama Naufal, jika ada sifatnya yang tak mengenakkan hatimu, tolong dimaklumi. Dia sekarang milikmu, pastikan tetap ada untukmu." Pesan sang mami mertua. Tentu saja Hanan hanya mengangguk.

***

Acara telah usai, Hanan termenung di ujung ranjang. Ia tak peduli kemana perginya Naufal setelah berganti baju. Mengingat pertemuan tidak sengaja dengan Naufal yang sangat tidak meninggalkan kesan baik. Ditumpakan segelas capuccino dan berujung adu mulut.

"Jalan pakai mata dong!" bentak Hanan kala itu.

"Jalan pakai kaki, bego kok dipelihara!" balas Naufal kala itu.

"Amit-amit berjodoh sama orang kayak kamu!"

Miris, ternyata mereka benar-benar berjodoh. Bertemu kembali di pelaminan. Benar-benar mengesalkan.

Drt...drt...

Lamunan Hanan buyar ketika ponsel Naufal di atas nakas bergetar. Awalnya ia berusaha untuk acuh, namun rasa penasaran begitu menggebu-gebu.

[Selamat atas pernikahanmu, wahai sang pemilik hati]

Sebuah pesan singkat via W******p dari kontak yang tak diberi nama oleh Naufal, hanya emoticon hati yang retak. Eh, siapa dia?

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status