Ani mengarahkan pisaunya tinggi-tinggi dan mengarahkan nya ke arah Dena. Bersamaan dengan itu, semua orang yang ada di sana berteriak dengan ngeri!"Tidak!" Yana menjerit dan melompat ke arah Ani lalu menggigit tangan Ani yang memegang pisau. Aaarghhh!Bersamaan dengan itu Bagas segera melompat pula ke arah Ani dan Yana. Ani melepaskan Dena mendadak. Bagas dengan cepat menangkap Dena yang menangis kencang. Mama Bagas segera memeluk erat cucunya. Sementara itu Ani berhasil menjambak rambut Yana dan menggulingkan nya di lantai. Ani menindih Yana yang bertubuh kurus dan mencekik nya. Sementara itu Yana berusaha mencakar wajah Ani. Setelah Bagas memastikan Dena dipeluk oleh Mamanya, dia segera menghambur ke arah Yana dan Ani yang sedang berkelahi.Bagas mendorong bahu Ani sehingga Ani terpelanting ke belakang. Tidak cuma itu, Bagas sekarang menduduki Ani sambil menekan kedua pergelangan tangan perempuan itu ke lantai."Lepaskan saya Pak Bagas! Dunia ini tidak pernah adil bagi saya! L
Yana masih membuka salah satu daun pintunya dan tidak mengijinkan tamunya untuk masuk, saat Bagas menyusul sang istri. "Akhirnya kalian kesini?" tanya Bagas melalui bahu Yana yang ada di hadapannya. Tampak dua orang dan satu orang anak berusia empat tahun berdiri di depan pintu masuk rumah Bagas. "Saya mohon cabut laporan untuk Ani, Pak!" seru seorang perempuan yang berusia tua. "Oh, ya? Kenapa saya harus mencabut nya?" tanya Bagas. "Apa kalian gila? Kalian sudah memenjarakan perempuan yang mempunyai anak balita!" seru seorang laki-laki yang datang bersama dengan perempuan berusia tua itu. "Siapa sih yang datang? Kok nggak disuruh masuk?" tanya Mama Bagas menyusul menantu dan anaknya."Loh, kamu?""Anita! Bebaskan menantu saya. Saya mohon!" seru perempuan tua itu dengan intonasi memelas. Mama Bagas mengerutkan dahinya. "Dita? Ayo masuk dulu. Kebetulan kalian datang. Ada yang sangat penting ingin kukatakan padamu."Mertua dan suami Ani berpandangan. "Baiklah. Asal kamu mau memb
Yana menyeringai saat mendengar seorang lelaki yang mengatakan hal buruk tentang dirinya. Tapi dia tidak bisa marah, karena hal tersebut adalah fakta. "Hei, jaga ya mulut kamu! Yana memang tidak sudah tidak mempunyai rahim. Lalu apa kaitannya dengan kamu? Yana jauh lebih bahagia daripada Ani, istri kamu yang mempunyai suami gendeng!" "Astaga, jaga mulut kamu dong! Bu, ayo pulang saja. Kita kesini hanya untuk dihina saja. Nggak sudi aku kesini! Huh, apalagi kalau ketemu orang seperti mereka dan ngemis-ngemis biar mencabut laporan untuk Ani. Nggak sudi lah!""Ya sudah. Kalian silakan pulang saja. Suami dan mertua yang nggak tahu diri seperti kalian bikin mata sakit!" seru Bagas. "Oke!" seru Satria sambil berdiri dan berkacak pinggang."Aku juga tidak sudi melihat kamu lagi. Semoga kita tidak bertemu lagi."Satria dan Ibunya pun bergegas meninggalkan rumah Bagas, membuat Bagas menghela nafas. "Kok ada yang lelaki seperti itu. Sudah mengandalkan istri untuk cari uang, eh, pas istrinya
"Katakan saja. Apapun yang bisa kulakukan, akan kulakukan untuk kamu. Yang penting aku benar-benar bisa lepas dari mantan suami sekaligus bisa hidup baru dengan anakku." "Aku hanya ingin kalau kamu keluar dari penjara, kamu harus jalani hidup kamu dengan baik. Dan jangan menjadi pelakor lagi. Lupakan semua masa lalu dan kenangan buruk. Hiduplah dengan benar. Apa kamu bisa?" tanya Yana seraya menatap wajah Ani antusias. Ani menatap Yana dengan berkaca-kaca. "Apa benar kamu mau membantuku dengan syarat seperti itu?" Yana mengangguk dengan tegas. "Tentu saja. Memang kenapa dengan syarat seperti itu?" "Syarat itu terlalu mudah. Aku pastikan aku akan menjalani hidup baruku dengan baik kalau aku bisa keluar dari penjara dan aku bisa lepas dari mertua serta suami ku." "Benarkah? Apa kamu mau berjanji?" "Tentu saja. Tapi bolehkah aku tahu, kenapa kamu memberikanku bantuan seperti ini?" Yana menghela nafas dan tersenyum. "Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, bukan? Kesempata
"Kamu kenapa?!! Nggak jadi tidur?" tanya Bagas saat Yana keluar dari kamar utama menuju ke kamar sang anak. Yana menggeleng lalu duduk di samping suaminya. "Kemarin aku sudah mencabut laporan ke kantor polisi."Yana pun lalu menceritakan semua yang dialaminya kemarin. Bagas dan Mamanya dengan antusias menyimak. "Ya sudah. Kalau itu keputusan kamu. Aku dukung. Aku setuju kok kita menyewa jasa pengacara untuk membantu Ani sesuai keinginan kamu," tukas Bagas. "Tapi masalah nya, barusan mantN suami Ani telepon.""Hah? Telepon kamu? Dia bilang apa?""Dia ngancem aku biar nggak bantuin Ani. Dia memang ingin nikah lagi, tapi dia juga tetap menginginkan nafkah dari Ani.""Ya Tuhan, egois banget ya. Lalu kamu jawab apa?" tanya Mama Bagas. "Yah, aku jawab sampai jumpa di pengadilan agama. Lalu telepon nya ku tutup.""Yah, benar sih. Enggak usah kamu ladenin dan kalau perlu blokir saja daripada mengganggu.""Kamu sudah nyari pengacara untuk kasus Ani?" tanya Bagas. Yana menggeleng. "Kamu
Ani menggigil melihat wajah penuh amarah Satria. Teringat beberapa kenangan saat dia mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Satria sebelum dia bekerja di rumah Yana. "Apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan memukuliku lagi? Pukul saja lagi! Biar semua tahu kalau kamu pelaku KDRT. Sekalian ada saksi dan bukti untuk melaporkanmu ke polisi." Satria mendelik dan segera menyeret Reyhan ke menjauh dari ibunya. "Kesini kamu! Dasar anak tidak tahu diuntung! Kenapa kamu malah mau ikut dengan Ibumu yang mantan napi itu. Mau jadi apa kamu?" tanya Satria kencang. Namun manik mata Reyhan yang jelas menunjukkan tanda dia ketakutan membuat Ani berani menentang Satria. Reyhan yang tangan mungilnya nya ditarik sang ayah berusaha tetap menggenggam tangan sang Ibu. "Tidak. Reyhan akan ikut aku! Aku ibunya, Mas. Aku sudah lama tidak bertemu dengan anakku sendiri. Cukup kamu membuatku sebagai sapi perah!" Ani memeluk anaknya dan membuat mantan suaminya bertambah murka. "Tidak! A
Pengacara yang datang bersama Yana segera memandang ke arah seluruh orang yang berkerumun di sekitarnya. "Kalian telah mengetahui keributan ini. Dan sekarang lihatlah punggung anak ini yang penuh dengan luka!" seru pengacara itu seraya memperlihatkan punggung Reyhan pada beberapa orang yang berkerumun. Beberapa orang mendelik dan tercengang dengan bekas luka di punggung Reyhan. "Apa kalian selaku tetangga di sekitar korban tidak melihat adanya KDRT atau penyiksaan yang dilakukan pada anak ini?" Beberapa orang berpandangan lalu menggeleng serempak. "Maaf, kami tidak mau ikut campur, Pak," sahut salah seorang lelaki bertubuh pendek. Pengacara itu mengerutkan keningnya. "Saya akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Kalau kalian terbukti sudah melihat dan menyaksikan KDRT terhadap anak ini tapi mendiamkannya saja, kalian bisa juga saya laporkan pada polisi dan Komnas perlindungan anak dan wanita," tukas pengacara itu tegas. Suasana hening sejenak. "Oh, tetap tidak ada yang mau menga
"Astaghfirullah! Bu, apa Ibu mendengar suara di depan panti?" tanya Ani cemas. "Ibu dengar, Nak." "Lalu apa yang harus Ani lakukan?" "Kamu di sini saja. Biar ibu yang menemui tamunya." Ibu panti yang sudah berumur 63 tahun itu mengelap kedua tangannya dengan serbet kotak-kotak merah yang tergantung di dinding sebelah sink lalu bergegas meninggalkan dapur. "Bu, jangan pergi sendiri! Aku ikut!" seru beberapa orang perempuan yang mengenakan celemek. Bagian staf dapur. "Jangan, kalian di sini saja. Bahaya!" "Tidak. Kita hadapi sama-sama, Bu." "Seharusnya kita memakai jasa satpam untuk menjaga gerbang depan." Ibu panti itu menoleh pada Ani. "Uang darimana untuk membayar satpam, An? Kamu tahu sendiri kalau uang dari donatur hanya cukup untuk makan ala kadarnya dan membayar sekolah anak-anak." Ani menatap kedua mata ibu panti asuhan yang telah dianggap nya ibu sendiri. "Jangan cemas, Bu. Ani akan mencari cara untuk menghasilkan uang lebih banyak dan mendayagunakan anak-anak panti."