Aku membuka lemari kecil yang ada dekat ranjang. Mengelus benda yang selalu menemanikudisaat rasa itu tiba.Perlahan aku membuka pakaianku. Disaat-saat perasaan itu mengebu, aku melempar alat itu ke ranjang. Terduduk dengan tangan meremas rambut."Aaarrrgggh!"Aku meraung menahan rasa sakit yang datang seiring rasa yang aku coba tahan. Perlahan bangkit menuju mobil, obat-obatanku masih tersimpan disana. Rasa sakit ini benar-benar menusuk-nusuk dari dalam. Tertatih aku sampai dan bergegas membuka mobil lalu meraih tas hitam yang selalu aku bawa-bawa.Ya Allah, Astaghfirullah ...Aku pun meneguk satu buah obat dan duduk didalam mobil untuk sesaat, merasai sakit yang mulai sedikit demi sedikit menghilang.Ponsel disaku celana berbunyi, Athaya!Astaga! aku lupa tadi Pak Ryan memintaku untuk membuat laporan."Ndra! kamu dimana? Pak Ryan marah-marah!""Aku lupa, Ta. Tadi, langsung pulang karena sakit kepalaku kambuh.""Ah, kamu gimana sih! Pak Ryan nanyain laporan yang kamu buat? sudah jad
"Kalau begitu menurut Mama, Mama urus anak Mama ini sendirian. Mama tak pernah mau mendengarkan kata orang, tak usah Mama menikahi dia dengan perempuan mana pun, kasian. Kalau hanya akan menyakiti hati saja." Mbak Widya mulai melemah."Bersyukur kamu bisa menikah dengan Melody, jika istri kamu bukan dia. Mungkin aib kamu sejagat raya orang sudah tahu!" lanjut Mbak Widya.Dia menatapku tajam lalu meninggalkan rumah dengan membawa amarah. Aku kembali meremas rambutku. Kenapa masalah ini makin runyam."Sudahlah, Ndra. Kamu ga usah khawatir. Penyakit kamu ga bahaya, kok. Nanti juga sembuh. Kalau udah pulih, sepuluh perempuan seperti Melody bisa Mama carikan untuk kamu." Mama duduk disampingku lalu mengusap punggungku lembut. Tapi, bukan kenyamanan yang aku rasakan, justru hati makin tak tenang.***Aku kembali kerumah Mama. Kata Mama sampai aku mendapatkan pengganti Melody, Mama yang akan menjagaku. Aku terenyuh, tapi bukan itu yang kuinginkan. Usia bukan usia anak-anak lagi, kebutuhan ju
POV Melody."Kamu yakin tak mau pulang, Mel" tanya Salwa, gadis itu baru saja pulang kerja."Bukan tak mau, Wa.Tapi, belum. Aku pasti akan pulang dan menyelesaikan semuanya. Saat ini aku hanya ingin memantapkan hati, apakah kembali atau mengakhiri." Salwa meneguk minuman yang baru saja dia tuang."Ternyata hidup berumah tangga itu, rumit ya Mel?"Aku terkekeh, sedari dulu Salwa selalu enggan untuk membahas masa depan. Katanya semua laki-laki sama. Ibu Salwa ditinggalkan Ayahnya saat mereka masih kecil-kecil. Dan tak pernah lagi menampakkan diri hingga sekarang."Sebenarnya tak rumit, jika kita bisa berpikir sederhana. Mempelajari ilmu rumahtangga seperti yang Rasullullah ajarkan. Namun, banyak yang menikah tapi hanya sebatas status lalu berbuat sesukanya, seolah pernikahan itu hanyalah sebuah kebersamaan tanpa melibatkan Allah di dalamnya. Padahal kan menikah adalah ibadah terpanjang dan terlama. Andai masing-masing pasangan bisa menyelaraskan tujuan, tentu tak akan rumit. Tapi, inda
"Ya ampun, Salwa." "Maaf, Mel. Aku ga tega, pasti Ayah kamu mengkhawatirkan kamu. Aku tak punya Ayah, Mel. Ayah kamu sudah seperti Ayahku sendiri."Aku bangkit lalu meraih tubuh Salwa dalam pelukan. Suaranya mulai bergetar, aku yakin Salwa akan menangis."Sudah, cup cup!aku ga marah kok. Hayuk, duduk sini, ngobrol bareng."Wajah Salwa kembali ceria. Dia menuruti pintaku. Obrolan hangat pagi itu membuat hatiku yang rapuh kembali kuat, aku tak sendiri. Ayah selalu ada untukku. Berkali-kali Ayah minta maaf, ayah berpikir saat Mas Hendra berterus terang pada Ayah, beberapa waktu lalu itu, dia akan berubah. Tapi, nyatanya dia sama sekali tak mengubah sikapnya.Baru setelah Salwa berangkat kerja, Ayah menjelaskan padaku kelainan dan penyebab suamiku seperti itu. Ada perasaan kasian, dan kembali. Tapi, aku harus memastikan jika Mas Hendra itu tak seperti yang kulihat di hotel. Aku belum begitu yakin, bisa saja dia membohongi Ayah.Ayah yang memutuskan tinggal di rumah kenalannya hampir tiap
Besok adalah jadwal sidang pertama kami, agenda mediasi. Sama sekali tak berharap Mas Hendra datang, agar proses cerai bisa cepat selesai. "Kamu sudah yakin, Mel?" tanya Salwa pagi ini."Yakin! tak ada yang membuatku ragu untuk menyelesaikan rumah tangga ini. Setelah semua berakhir, aku akan memulai hidup yang baru." jawabku mantap."Oh, ya, semalam aku tanya Kak Hamzah, lusa kamu coba datang aja ke kantornya. Kak Hamzah akan merekomendasikan kamu pada atasannya."Seketika mataku berbinar. Jika aku diterima, aku akan menjadikan batu loncatan saja. Bagaimanapun, sekantor degan laki-laki yang pernah melamarku, tak akan baik-baik saja buat hatiku kelak."Makasih banyak, ya, Wa.""Sama-sama. Yuk, kita istirahat, biar besok kamu lebih fresh. Btw, besok kamu sama siapa?""Nanti aku akan diantar oleh Ayah, Wa.""Syukurlah, soalnya aku tak bisa ijin buat nganterin kamu. Anak-anak lagi ujian, aku menjadi pengawas disana.""Iya, gapapa, aku paham kok, Bu guru."Kami pun saling melempar senyum,
Degub jantung terus meningkat tak beraturan. Tak terbayang sama sekali semua akan berakhir seperti ini. Padahal perasaanku mulai tumbuh subur pada Mas Hendra."Gimana rasanya berumah tangga, Mel?" tanya perempuan bernama Nada itu. Mata kami beradu di spion depan. Namun, dia lekas mengalihkan dan kembali fokus menatap jalanan."Ga tau, Mbak. Aku hanya sebatas menjadi istri dalam status bukan menjadi istri dalam hatinya." jawabku sumbang."Sudahlah, Mel. Tak perlu bersedih lagi, semua salah Ayah. Kita akhiri tanpa perlu mengingat lagi.""Iya, Ayah ..." sahutku lemah."Kalau boleh tau Mbak Nada ini siapa, Ayah?" tanyaku .Ayah saling pandang dengan perempuan itu. Sejenak menghela napas dalam-dalam."Nanti akan aku kasih tau. Saat ini kamu fokus aja dengan persidangan nanti." sahut Mbak Nada makin membuatku penasaran. Tapi, apa yang dia katakan ada benarnya. Hari ini akan menjadi hari bersejarah buatku. Kami sampai tepat pukul sembilan. Aku bergegas turun, begitu juga dengan Ayah dan Mba
"Kamu mau bekerja, Dek?" tanyanya mengulang kalimatku.Aku mengangguk cepat. Tekadku sudah bulat, aku ingin mandiri meski sudah punya suami. Setidaknya aku punya cara untuk mengalihkan perasaan saat menunggu Mas Hendra mengubah kebiasaannya dengan sempurna.Dia menghembuskan napas panjang. Entah lelaki ini keberatan atau malah senang, aku tak akan lagi mengusik harinya nanti."Baiklah, jika itu yang Adek inginkan." jawabnya pelan.Mendengar itu, semua tampak lega, kecuali aku tentunya. Hatiku terasa hambar sudah. Tak ada harapan lagi yang kubumbung tinggi. Rumah tangga hanya status, sama seperti setahun ini. Akhirnya gugatan cerai itu resmi di cabut. Aku kembali pulang ke rumah, semua ikut menemani. Tentu saja tanpa Mama. "Hendra, besok kita langsung berobat saja. Mbak akan tunda kepulangan ke Bandung. Kalau melody tak bisa mengantarkan, biar Mbak dan Papa yang akan menemani kamu." ujar Mbak Widya, setelah kamu sampai dirumah.Aku memang mengatakan bahwa besok akan mendatangi perusa
Malam itu kami bicara dari hati ke hati. Mas Hendra juga jujur jika dia dipecat dari kantor karena sibuk mencariku seminggu ini. Ada sedikit sesal dihati, tapi aku yakin soal rejeki Allah pasti akan mencukupi untuk kami.***Pagi ini kami bersiap hendak kerumah Ustadz yang di rekomendasikan oleh Mbak Widya. Baru saja hendak mengunci pintu, ponsel Mas Hendra berbunyi. "Siapa, Mas?""Rasti."dia menatapku dengan tatapan heran."Tumben dia nelpon, Mas." desisnya.Lelaki itu mengangkat panggilan dari Rasti, Namun dia mengaktifkan speakernya."Hendra ... kamu bisa kesini, ga? aku butuh kamu banget, Ndra. Mas Yogi mengancam akan membun*hku, Ndra." suara isakan Rasti terdengar jelas olehku. Mas Hendra menatapku. Tapi, wajahnya biasa saja, tidak menunjukkan ke khawatiran pada mantan rekan kerjanya itu."Memang kamu ada masalah apalagi sama Yogi?""Dia menuduh, anak yang aku kandung kemarin itu bukan anaknya. Dia menyangka itu anak kamu, Ndra! makanya dia marah besar."Wajah Mas Hendra berubah